PERMULAAN KEKRISTENAN DI JAWA
TENGAH UTARA:
Jemaat-Jemaat Perdana di GKJTU
Oleh: Chlaodhius Budhianto
Pendahuluan
Perjumpaan orang-orang Jawa dengan Kekristenan, telah dimulai sejak abad 16,
yaitu ketika orang-orang kristen dari Portugis datang ke Pulau Jawa. Dalam kurun
waktu 1585-1598, di Kerajaan Blambangan terdapat orang-orang Jawa yang
dibaptis.[1] Kekristenan perdana itu merupakan buah dari
pekerjaan ordo Fransiskan dari gereja Katolik Roma. Akan tetapi, kekristenan
perdana ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1599, adipati kerajaan Pasuruhan
menyerang, meruntuhkan dan mengislamkan Blambangan.[2] Dalam penyerangan
tersebut adipati Pasuruhan menghancurkan tempat kediaman orang-orang Kristen di
Blambangan, sehingga kekristenan perdana ini musnah.
Kekristenan baru muncul kembali di antara orang-orang Jawa pada abad 19.
Kali ini yang berjasa besar dalam proses pekabaran Injil adalah orang-orang
Protestan yaitu orang awam Indo-Eropa, penginjil Jawa, dan misionaris Eropa.
Yang pertama, berjasa besar dalam menanamkan Injil; sementara yang kedua
berjasa besar dalam menyebarluaskan Injil, dan yang ketiga—karena
otoritasnya—berjasa dalam menuai orang-orang Kristen Jawa. Berkat kerja sama di antara ketiga kelompok
tersebut, di seantero pulau Jawa terbentuklah pusat-pusat kekristenan protestan
yang perdana.
Sejarah yang
sangat menentukan bagi GKJTU terjadi di daerah Semarang, Salatiga, Kendal dan
Keresidenan Pekalongan.
1.
Semarang
Pada Tahun 1753
VOC (Vereengde Oost-Indische Compagnie)
membangun sebuah gereja Indische Kerk
di Semarang.[3] Jemaatnya terdiri dari
orang-orang Eropa dan para serdadu VOC yang berasal dari Indonesia Timur. Ketika didirikan
pada tanggal 20 Maret 1602, VOC mendapat mandat dari gereja Protestan di
Belanda untuk menyebarkan iman Kristen. Mandat tersebut sejalan dengan isi
pasal 36 Pengakuan Iman Belanda yang
bunyinya: “Juga jabatan itu (=tugas pemerintah) meliputi: mempertahankan
pelayanan yang Gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh
penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan Anti-Kristus dan
berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang.”[4] Akan tetapi, VOC
mengingkari mandat tersebut. Gereja di Semarang (dan juga ditempat-tempat lain)
dilarang keras untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Jawa. Pendeta yang
ditugaskan di sana dikekang dengan ketat. Peranannya dibatasi pada pelayanan
rohani bagi anggota gereja tersebut.
Kesadaran untuk mengabarkan Injil bagi orang-orang Jawa di Semarang baru
muncul setengah abad kemudian. Pada tahun 1815,
London Missonary Society (LMS) bekerjasama dengan Netherlands Missionary
Society (NMS/NZG) mengutus seorang missionaris, bernama G. Bruckner, ke
Semarang. Sesampainya di Semarang, Bruckner dipaksa VOC untuk bekerja di Gereja
Indische Kerk, sehingga kenginannya untuk mengabarkan injil
kepada orang-orang Jawa tidak terwujud. Setahun kemudian Brukner meninggalkan
pekerjaannya itu dan memusatkan perhatiannya pada usaha penerjemahan Alkitab
Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Jawa.[5]
Missionaris lain
yang dikirim oleh NMS ke Semarang adalah W. Hoezoo. Hoezoo tiba di Semarang
pada pada tanggal 13 November 1849. Ia tinggal di Mlaten. Setelah enam bulan belajar
bahasa Jawa dengan Brukner, Hoezoo mulai bekerja mengabarkan Injil. Hoezoo adalah misionaris “tukang baptis.”
Artinya, orang-orang Jawa yang berhasil dikristenkan (dibaptis) oleh Hoezoo,
bukanlah buah pemberitaan Injil yang dilakukannya, namun buah pekerjaan orang
lain.
Ketika Hoezoo memulai pekerjaannya, di Semarang telah ada orang-orang Jawa
yang mendengar dan tertarik dengan kekristenan. Mereka itu dikumpulkan Hoezoo
dan diberi pengajaran agama Kristen di sebuah gereja yang didirikannya pada
tahun 1852 di Mlaten, Semarang. Pada perayaan Natal tahun 1852, Hoezoo berhasil
membaptis 10 orang Jawa dan setahun kemudian (1853), jumlah warga baptisan
bertambah 9 orang lagi.[6]
Sejak tahun 1864, Hoezoo tidak bekerja sendirian lagi. Ia dibantu oleh
seorang penginjil Jawa yang berasal dari Jawa Timur. Nama penginjil itu adalah Asa Kiman, salah seorang
murid Jallesma. Asa Kiman tergolong ke dalam penginjil Jawa yang pandai dan
menjadi salah seorang pelopor bagi pengembangan teologi kontekstual di Jawa.
“Kadang-kadang Asa menghabiskan waktu luangnya untuk membuat karangan-karangan
kecil yang diperdengarkan di lingkungan teman-temannya. Dan ia berlatih dalam melagukan tembang yang diperlukan untuk itu.”[7] Salah satu karya Asa Kiman yang sampai sekarang masih
tersimpan adalah sebuah tembang yang diterjemahkan oleh Hoezoo ke dalam bahasa
Belanda. Tembang tersebut berjudul Wekstem.
Ontwaakt en staat spodig op (Suara Membangunkan. Bangunlah dan Cepat
Bangkit)
Dalam karangan
tersebut Asa Kiman mewartakan Yesus sebagai guru ngelmu yang kudus dan tanpa dosa serta berperan sebagai
juruselamat.[8] Asa Kiman, mengajak orang-orang Jawa untuk bangkit dan
mencari ngelmu yang akan menunjukkan
jalan menuju suatu negeri yang abadi. Negeri itu digambarkan sebagai negeri
yang subur dan makmur, yang di mana-mana serba murah dan tempat didapatkannya
keadilan dan damai. Negeri yang abadi itu hanya bisa dimasuki setelah manusia
meninggal dunia. Pintu masuk ke dalam negeri itu adalah Nabi Ngisa Rohoellah.
Sangat
disayangkan bahwa upaya Asa Kiman untuk mengkontekstualisasikan injil dengan
budaya Jawa, tidak disertai dengan sikap-sikap yang positif terhadap orang dan
budaya Jawa. Asa Kiman menganggap orang
Jawa sebagai orang “yang paling hina karena kebodohannya dan kemalasannya dalam
mencari ngelmu.”[9] Sikap dan gaya berpakaian Asa juga terlalu
kebarat-baratan, sehingga menyebabkan orang-orang Jawa yang Islam menaruh
kebencian terhadap kekristenan dan menghalang-halangi kegiatan pekabaran injil
di Semarang.[10] Bahkan, orang-orang Kristen Jawa di
Semarang, juga melakukan pemboikotan.[11] Akibat dari hal ini, perkembangan kekristenan di
Semarang menjadi sangat terhambat.
Selama kurang lebih empat puluh tahun pekerjaannya di Semarang,[12] Hoozoe hanya mampu membangun jemaat yang beranggotakan
120 orang[13] sebagian orang Jawa dan sebagian orang Cina.
Pekabaran
Injil NZG di Semarang berakhir pada tahun 1898. Pada tahun tersebut, NZG
menyerahkan kegiatan pekabaran Injil di Semarang dan juga jemaat yang didirikan
oleh Hoezoo di Mlaten kepada badan Misi Salatiga Zending. Jemaat Hoezoo inilah
yang sekarang mentransformasikan dirinya sebagai GKJTU Jemaat Semarang 1
(satu). Hal itu berarti GKJTU jemaat Semarang 1 adalah jemaat yang pertama kali
tumbuh dilingkup GKJTU.
2.
Salatiga
Kegiatan
Pekabaran Injil wilayah Salatiga,
dipelopori oleh seorang perempuan bernama E.J. Le Jolle-de Wildt. Perempuan ini lahir di Amsterdam pada tanggal
2 Maret 1824 dengan nama Elizabeth Jacoba de Wildt.
Pada masa
mudanya, de Wildt hidup penuh dengan tekanan dan penderitaan. Di usianya yang
keenam ia harus menjalani hidup di pengungsian. Ketika ia berusia 16 tahun
kedua orang tuanya meninggal dunia sehingga ia harus bekerja keras untuk
menghidupi dirinya. Pada tahun 1841, ia memutuskan untuk pergi ke Jawa dengan
maksud menemui saudaranya yang bekerja di Jawa Timur dan mengadu nasib di sana.
Keberangkatannya ke Jawa, mempertemukan de Wildt dengan seorang kepala
pasukan Belanda bernama Le Jolle. Keduanya kemudian menikah dan memutuskan
untuk hidup di Belanda. Akan tetapi,
pada tahun 1849, keluarga itu kembali ke Salatiga dan bekerja sebagai
administrator di perkebunan kopi.
Ny. Le Jolle-de Wildt memulai aktifitas pekabaran injilnya pada tahun 1853.
Aktifitas tersebut didorong oleh sebuah pengalaman rohani di mana dia merasa
mendapatkan panggilan Tuhan secara khusus. Le Jolle-de Wildt menceritakan
panggilan tersebut demikian: "Di
sana dalam kesunyian, suara kasih begitu mendesak, Tuhan sejak lama sudah
berusaha untuk membangunkan iman di hati saya. Satu perasaan berdosa saya yang
mendalam membuat saya jatuh terduduk. Ketika saya kemudian membuka Alkitab saya
menemukan Joh. 14 muncul ayat yang luar biasa: ‘Barangsiapa percaya kepada
Allah, percaya juga kepadaKu’ Menghibur dan memberankan jiwa saya dan memenuhi
saya dengan damai sejahtera, yang melampaui segala akal”.[14] Pengalaman tersebut mendorong Le Jolle-de
Wildt untuk memberitakan Injil kepada orang-orang Jawa, sebab “orang-orang Jawa juga mempunyai jiwa yang
seharusya diselamatkan oleh Yesus, kalau tidak mau sesat untuk selamanya.” [15]
Aktifitas Pekabaran Injil Le Jolle-de Wildt di mulai di daerah Simo dekat
Salatiga. Pada waktu itu Simo berada di wilayah Kerajaan Solo dan termasuk ke
dalam tanah pemerintah.[16] Oleh karena itu tidak mengherankan jika Le
Jolle-de Wildt menghadapi beberapa hambatan, baik itu hambatan yang datang dari orang Jawa, dari
diri Le Jolle-de Wildt sendiri, maupun dari pemerintah Hindia-Belanda. Adapun hambatan-hambatan itu adalah sebagai berikut:[17]
a)
Hambatan Psikologis. Pada waktu itu orang jawa sangat
takut dengan orang Belanda. Rupanya, para pendahulu Le Jolle-de Wildt di
Perkebunan itu berlaku berlaku sewenang-wenang dan kejam terhadap orang-orang
Jawa. Karena itu, ketika Le Jolle-de Wildt mencoba untuk mendekati orang-orang
Jawa di perkebunan tersebut, mereka menjadi ketakutan.
b)
Hambatan Bahasa. Masalah bahasa juga menghambat Pekabaan
Injil yang dilakukan Le Jolle-de Wildt. Ia hanya bisa berbahasa Melayu
(cikal-bakal bahasa Indonesia) dan tidak bias bahasa jawa. Akibatnya, ia
mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-oang Jawa di perkebunan
kopi tersebut.
c)
Hambatan Politik. Sebagai bagian dari wilayah Kerajaan
Solo, Simo termasuk ke dalam daerah yang dengan susah payah berhasil
ditenangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda setelah sebelumnya sempat terjadi
gejolak akibat perang Diponegoro (1825-1830). Sebagai yang demikian itu,
Pemerintah Belanda sangat ketat dalam menjalankan kebijakannya untuk membatasi
aktifitas Pekabaran Injil. Pemerintah khawatir aktifitas Pekabaran Injil akan
membangkitkan fanatisme dikalangan Islam terutama di antara para
pemimpin-pemimpinnya sehingga akan kembali menyulut konflik di dalam masyarakat
Jawa yang pada gilirannya akan merugikan kepentingan-kepentingan Belanda.
d)
Hambatan sosio-ekonomis. Pada masa pemerintahan Belanda,
orang-orang Jawa selalu menundukkan dirinya kepada orang-orang Belanda. Bila
mereka menjadi kristen mereka akan
merasa sederajad dengan orang-orang Belanda. Di masa depan, perasaan sederajad
itu akan merugikan kepentingan Pemerintah Hindia-Belanda. Jika orang Jawa yang
menjadi Kristen sadar akan hak-hak social-ekonomi mereka, corak hubungan antara
orang Jawa dan Belanda yang berkarakter feudalistik-paternalistik dikhawatirkan
akan berubah. Untuk mencegah hal itu,
perbedaan agama antara orang Jawa dan orang Belanda harus terus dipertahankan.
e)
Hambatan
keagamaan. Jika pemerintah Hindia Belanda memberi ijin kepada zending-zending
Protestan, maka ijin yang sama juga perlu diberikan kepada misi Katholik. Jika zending
Protestan dan Katholik sama-sama melakukan aktifitas Pekabaran Injil, hal itu
akan menyebabkan kebingungan dan konflik, sebab konflik berkepanjangan antara
Protestan dan Katholik masih berlangsung di Belanda.
Sama seperti Hoezoo, Le Jolle-de Wildt juga tidak bekerja sendirian. Untuk
mengatasi hambatan psikologis dan kebahasaan Le Jolle-de Wildt mengirim surat
kepada Ds. Jellesma. Dalam suratnya itu, Le Jolle-de Wildt meminta supaya
Jellesma bersedia mengirim salah seorang muridnya untuk membantu aktifitas
Pekabaran Injil Le Jolle. Jellesma kemudian mengutus muridnya yang bernama
Petrus Sadoyo, yang kemudian mengajar di “perceel” keluarga D.D. Le Jolle.
Dalam arti ini Petrus Sadoyo adalah saudara seperguruan dari Asa Kiman.
Berbeda dengan Asa Kiman, saudara seperguruannya, yang sempat meninggalkan dokumen-dokumen
sejarah, Petrus Sadoyo sama sekali tidak meninggalkan dokumen sejarah. Oleh
karena itu karya Petrus Sadoyo dalam mendampingi Le Jolle-de Wildt sulit untuk
digambarkan. Salah satu sumber mengatakan bahwa Petrus Sadoyo tidak semata-mata
mengabarkan Injil. Ia juga mengajar baca tulis bagi orang-orang Jawa di
perkebunan tersebut. Di samping itu Petrus Sadoyo juga diberi kepercayaan yang
sangat besar oleh Le Jolle-de Wildt, yaitu sebagai pemimpin dan pelayan jemaat.
Dalam hubungannya dengan Petrus Sadoyo, Le Jolle-de Wildt berperan sebagai
mentor yang mendukung dari belakang, membina dan menasehati. Setiap akhir pekan
kedua orang itu bertemu untuk membicarakan satu tema Alkitab yang kemudian
dikotbahkan Petrus Sadoyo pada kebaktian minggu. [18]
Jika informasi itu benar, maka kerjasama antara Le Jolle-de Wildt dan
Petrus Sadoyo ini merupakan sesuatu yang sangat baru pada masa itu. Keduanya
secara tidak langsung telah merobohkan tembok-tembok feodalistik-paternalistik.
Usaha Petrus Sadoyo untuk mengajar baca tulis kepada para pekerja perkebunan
juga merupakan sesuatu yang menarik. Jika dikaitkan dengan konteks
sosio-politik saat itu, tampaknya usaha Petrus Sadoyo itu bukan semata-mata
demi kepentingan praktis keagamaan (supaya orang Jawa bisa membaca kitab Suci).
Tindakan Petrus Sadoyo untuk mengajar baca tulis juga menggambarkan adanya
kesadaran emansipatif dikalangan orang-orang Jawa dalam hubungannya dengan
orang Belanda.
Berkat kerjasama antara Le Jolle-de Wildt dan Petrus Sadoyo sejumlah orang Jawa
menjadi percaya. Pada tahun 1855 “jemaat perdana” di wilayah Salatiga ini
berhasil melaksanakan baptisan perdananya. Baptisan itu dilayani oleh
misionaris Hoezoo dari Semarang dan diikuti oleh 12 orang.[19] Pada tahun 1856
dan 1857 terjadi baptisan lagi sehingga jumlah orang Kristen mencapai 50 orang.
Lewat pertolongan dari Hoezoo pula, Le Jolle-de Wildt mendapat ijin dari
pemerintah untuk membuka sebuah hutan di dekat Salatiga dan dijadikan sebagai
perkebunan dan perkampungan. Pada masa sekarang perkampungan itu disebut dengan
Nyemoh dan terletak di desa Wonorejo, kab. Semarang. Ada 50 orang Kristen yang
pindah ke perkampungan tersebut.
Pada tahun 1856 suami Le Jolle-de Wildt, meninggal dunia. Peristiwa ini
memaksa Le Jolle-de Wildt pulang ke Belanda dan meninggalkan jemaat Nyemoh yang
masih baru. Sepeninggal Le Jolle-de
Wildt, jumlah jemaat di Nyemuh turun secara drastis, yaitu tinggal 19 orang.
Ada banyak usaha
untuk menjelaskan penyebab dari penurunan tersebut. Th. Sumartana menyatakan
bahwa penyebab dari penurunan itu adalah kondisi geografis yang tidak
mendukung. Nyemoh adalah daerah yang kering dan tidak subur sehingga
menyebabkan jemaat Kristen tidak sanggup untuk bertahan di sana. Sebagian dari
mereka mengikuti Petrus Sadoyo ke Mojowarno, sebagian lagi pindah ke
daerah-daerah yang didiami oleh orang Kristen, seperti tegal.[20]
Penjelasan lain diberikan oleh Partonadi, yang menyatakan bahwa kelimapuluh
jemaat itu, tidak mempunyai hak hidup lagi diperkebunan yang ditinggalkan oleh
Le Jolle-de Wildt.[21]
Sebuah penjelasan yang menarik diberikan oleh C. Gossweiller. Menurutnya
penurunan itu terjadi karena adanya konflik antara Petrus Sadojo dan Hoozoe
(serta missionaries-misionaris Eropa lainnya), yang berdampak pada diusirnya
Petrus Sadojo dari Nyemoh. Konflik itu dipicu oleh keberanian Petrus Sadoyo
untuk memberkati sendiri jemaatnya yang menikah. Menurut Gossweiler, keberanian
itu adalah sebuah keterpaksaan: “seandainya tidak dilayani Petroes, pasangan itu harus
menunggu kedatangan si misionaris untuk beberapa bulan. Petroes berpikir bahwa
untuk menjaga kesusilaan, yang selama ini sudah ditonjolkan oleh jemaat,
penantian semacam itu merupakan sesuatu yang mungkin berbahaya.”
Alasan
keterpaksaan memang sebuah penjelasan yang menarik dan masuk akal. Akan tetapi
penjelasan semacam itu mengabaikan jaringan yang ada dikalangan para penginjil
Jawa.[22] Dalam jaringan
ini, para penginjil Jawa bisa datang dan pergi dari satu jemaat ke jemaat
lainnya. Jaringan semacam itu membuka kesempatan bagi Petrus Sadoyo untuk menjalin
kontak dengan para penginjil-penginjil Jawa lainnya, terutama Kyai Ibrahim
Tunggul Wulung dan Kyai Sadreach. Waktu Le Jolle-de Wildt masih hidup, Tunggul
Wulung dan Saderach, punya hubungan yang sangat baik.[23] Di
tambah lagi Kyai Saderach dan Petrus Sadoyo sama-sama murid Jallesma. Dari Kiai
Ibrahim Tunggul Wulung dan Kyai Sadreach inilah, Petrus Sadoyo mendapatkan
berbagai ide untuk tidak tergantung pada Hoozoe.[24] Dan lagi, ketika
bersama dengan Le Jolle-de Wildt, Petrus Sadoyo mendapatkan pengalaman yang
sangat berharga berupa emansipasi. Oleh karena itu, sepeninggal le Jolle, Petrus
Sadoyo segera mengambil inisiatif untuk mengurus sendiri jemaatnya.
Keberaniannya sebagai imam dalam perkawinan adalah bukti dari kemandirian
Petrus Sadojo.
a.
Alasan Kemandirian. Alasan ini dibangun berdasarkan pada
adanya jaringan dikalangan para penginjil Jawa.[25] Dalam jaringan ini, para penginjil Jawa bisa
datang dan pergi dari satu jemaat ke jemaat lainnya. Jaringan semacam itu
membuka kesempatan bagi Petrus Sadoyo untuk menjalin kontak dengan para
penginjil-penginjil Jawa lainnya, terutama Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kyai
Sadreach. Waktu Le Jolle-de Wildt masih hidup, Tunggul Wulung dan Saderach,
punya hubungan yang sangat baik.[26] Di
tambah lagi Kyai Saderach dan Petrus Sadoyo sama-sama murid Jallesma. Dari Kiai
Ibrahim Tunggul Wulung dan Kyai Sadreach inilah, Petrus Sadoyo mendapatkan
berbagai ide untuk tidak tergantung pada Hoozoe.[27] Dan lagi, ketika
bersama dengan Le Jolle-de Wildt, Petrus Sadoyo mendapatkan pengalaman yang
sangat berharga berupa emansipasi. Oleh karena itu, ketika Hoozoe lama tidak
datang ke Nyemoh, Petrus Sadoyo mengambil inisiatif untuk mengurus sendiri
jemaatnya.
Sangat disayangkan, kemandirian yang diupayakan oleh
Petrus Sadojo itu, tidak disukai Hoozoe.
Petrus Sadoyo kemudian diusir dari Nyemoh dan kembali ke Mojowarno.
Akibat lebih jauh dari tragedi ini adalah terhambatnya pertumbuhan jemaat lokal
yang mandiri di Jawa. Sampai berpuluh-puluh tahun, jemaat-jemaat yang mulai
tumbuh terus hidup dibawah bayang-bayang para misionaris eropa.
Jemaat di Nyemoh baru mendapatkan pemimpinnya kembali pada tahun 1869,
yaitu ketika jemaat Ermelo di Belanda mengutus Reijer de Boer ke Nyemoh. Di
bawah kepemimpinan Reijer de Boer Jemaat di Nyemoh terus bertumbuh dan pada
masa kini bertransformasi menjadi GKJTU Jemaat Wonorejo.
3.
Kendal dan Keresidenan Pekalongan
Jemaat-jemaat Kristen yang kemudian menjadi
jemaat-jemaat GKJTU di wilayah Kendal dan Keresidenan Pekalongan bermula dari
pekabaran Injil yang dilakukan oleh Kyai Sadrach dan para murid-muridnya.
Kyai Sadrach termasuk ke dalam penginjil Jawa yang
sangat berbakat dan kaya dengan pengalaman. Ia punya kemampuan bicara yang
istimewa dan mampu menarik khalayak Ramai.[28] Sebelum menjadi
Kristen, ia pernah belajar di Sekolah Alquran dan seorang guru Ngelmu. Setelah
menjadi Kristen Ia belajar pada beberapa missionaries yang ada di Jawa, seperti
Jallesma dan juga para penginjil Jawa lainnya seperti Kyai Ibrahim Tunggul
Wulung.
Setelah bertahun-tahun
berkelana untuk berguru dan mengabarkan Injil, Sadrach memutuskan untuk menetap
di Karangjasa, yang berada diwilayah Keresidenan Bagelen. Di sana Sadrach
membangun sebuah jemaat Kristen yang merdeka. Dan dalam perkembangan
selanjutnya, Karangjasa menjadi pusat jemaat Sadrach, penentu kebijakan dan
strategi pekabaran Injil.
Sadrach mengabarkan Inijil
lewat system paguron dan metode debat
umum. Sistem dan metode ini sudah sangat umum dikalangan para pencari ngelmu di Jawa. Dalam upayanya untuk
mendapatkan ngelmu yang lebih tinggi,
para pencari ngelmu biasa berdiskusi
satu sama lain. Selanjutnya, pihak yang kalah dalam diskusi itu menjadi
pengikut dari pihak yang menang. Di tangan Sadrach, system dan metode ini
ternyata sangat effektif. Banyak pencari ngelmu
yang berhasil dikalahkan Sadrach dan menjadi pengikut-pengikutnya. Kiai
Ibrahim, Kiai Kasanmetaram, Kiai Karyadikrama dan Kiai Wiradikrama adalah
beberapa nama yang berhasil dikalahkan Sadrach dalam debat umum dan menjadi
pengikut-pengikut pertamanya.
Kecuali hal tersebut, Kiai
Sadrach juga mengembangkan sebentuk kekristenan local di Jawa. Kiai Sadrach
mengambil nilai-nilai kultural Jawa untuk memperkaya kekristenan. Hasilnya
Kekristenan Sadrach benar-benar njawani.
Karakter njawani tersebut dapat dilihat dari:
1.
Pengorganisasian. Jemaat-jemaat
Sadrach diorganisir seturut dengan nilai-nilai tradisional Jawa, terutama dalam
bentuk sistem paguron dan pesantran tradisional. Dalam sistem ini,
Kyai Sadrach adalah guru/imam tertinggi. Di bawah Sadrach ada guru-guru/
imam-imam lain yang diangkat Sadrach. Sadrach dan imam-imam yang lain menjalin
hubungan dengan para jemaatnya lewat suatu hubungan yang disebut sebagai
hubungan antara guru dan murid.
2.
Tempat Ibadah. Sadrach dan
Jemaatnya membangun tempat ibadah mereka dengan sangat sederhana dan
memanfaatkan bahan-bahan yang ada disekitar mereka. Bangunan itu mirip dengan langgar atau masjid dan dibangun dihalaman rumah seorang imam.
3.
Pakaian yang
digunakan dalam ibadah adalah pakaian tradisional Jawa, seperti sarung, surjan
dan blankon.
4.
Jemaat Sadrach menggubah pengakuan Iman dan Doa Bapa
Kami dalam bentuk tembang. Pengakuan Iman dan doa bapa kami selanjtunya dipakai
dalam peribadatan, termasuk dzikiran atau ibadah pada hari Kamis malam.
5.
Jemaat-jemaat Sadrach tidak hidup terpisah dengan
masyarakat Jawa lainnnya. Mereka mengembangkan adat-istiadat—misalnya,
perkawinan, kehamilan, kelahiran, sunat dan kematian—yang mirip dengan adat
istiadat masyarakat jawa lainnya.
Berbekal dengan kemampuannya
yang istimewa dan pengikut-pengikutnya yang setia, Sadrach perlahan namun
pasti, menjadi guru ngelmu yang baru.
Dalam jangka waktu setahun di Karangjasa, ia telah berhasil mengumpulkan
sekitar seratus pengikut dan berhasil membangun sebuah gedung gereja sendiri.
Pengikut-pengikut Sadrach, tergolong
pengikut-pengikut yang aktif. Mereka dengan gembira berbagi berita injil,
menceritakan pengalaman dan iman baru mereka kepada siapapun yang mereka
jumpai. Hasilnya pertumbuhan jumlah orang yang bertobat sangat besar dan keluar
dari batas-batas wilayah Karangjasa.
Pada tahun 1873, Yakub, salah seorang pengikut
Sadrach mengabarkan Injil di daerah Kendal, yang termasuk ke dalam wilayah
Keresidenan Semarang. Di sana ia berhasil mendirikan dua jemaat. Satu di
Pidodo, dekat sungai Bodri dan satunya lagi di Srendeng. Pada tahun1893, jumlah orang
Kristen di Srendeng dan Pidodo mencapai 200 orang. Kyai Sadrach, sesekali
mengunjungi kedua jemaat ini.
Ketika badan misionaris Salatiga
Zending, Pdt. Heller ditempatkan di Kendal, Kyai Sadrach menyerahkan
pemeliharaan jemaat di Srendeng dan Pidodo kepada Pdt. Heller. Akan tetapi, penyerahan itu tidak berlangsung lama.
Pada tahun 1893, Kyai Sadrach terlibat konflik dengan para missionaries NGZV
yang berbuah pada putus hubungan Kyai Sadrach dengan NGZV. Sekalipun Pdt.
Heller bukan misionaris NGZV, ia terkena getah dari konflik tersebut. Jemaat
Kyai Sadrach di Kendal banyak yang tidak percaya pada Pdt. Heller. Hanya
sebagian kecil saja yang percaya pada Pdt. Heller dan dirawatnya sampai tahun
1907.
Pengikut-pengikut Kyai Sadrach juga mengabarkan
Injil di wilayah Keresidenan Pekalongan. Dalam kaitanya dengan GKJTU, patut
dicatat keberadaan jemaat-jemaat di daerah Pemalang yaitu: Pulosari, Batur Sari
dan Kandanggotong. Orang-orang Kristen di ketiga jemaat ini, tidak memilih Kiai
Sadrach maupun NGZV, namun lebih memilih diasuh oleh misionaris-misionaris
Salatiga Zending.
4.
Penutup
Sampai di sini menjadi jelas bahwa sejarah awal
jemaat-jemaat yang kemudian tergabung di GKJTU tidak tumbuh dari satu titik. Jemaat-jemaat
tersebut tumbuh dari beberapa titik yang terpisah-pisah secara geografis. Pada
tahap selanjutnya, titik-titik tersebut dijalin dan diasuh oleh badan Misi
Salatiga. Dalam proses tersebut, tiga kelompok, yaitu orang Indo-Eropa,
Penginjil Jawa dan Missionaris Eropa bahu membahu dalam menanam,
menyebarluaskan dan dan menuai. Akan tetapi kerjasama itu tidak bisa berjalan
abadi. Upaya-upaya penginjil Jawa untuk mandiri dan mengakarkan Injil dalam
kebudayaan Jawa, justru tidak disukai. Hal ini terjadi terutama pada kasus
Petrus Sadoyo dan Kekristenan Sadrach. Seandainya semangat emansipatif dan
mandiri dari Petrus Sadoyo dan Kyai Sadrach tidak dikebiri oleh “Penuai-Penuai”
Eropa, barangkali Kekristenan di Jawa tidak dicibir sebagai “Jawa Dhurung, Jawa Dhurung.”
[1]Menurut Muller-Krueger jumlah
orang-orang Jawa yang di Baptis dalam kurun waktu tersebut mencapai ratusan. Lih.
Muller-Krueger, Sedjarah Geredja di
Indonesia,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), hal. 27
[2] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di
Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 44;
[3]Gereja ini sekarang menjadi
Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) Imanuel Semarang. Lih. Muller
Krueger Sedjarah Geredja . . .,
[4]Aritonang, Sejarah Perjumpaan . . . hal. 49-50
[5]Usaha
ini diselesaikan Bruckner pada tahun 1830/31.
[6]
Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa (Yogyakarta:
TPK, 1995), hal. 50
[7]
Hoezoo, sebagaimana dikutip oleh Alle Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah lahirnya Teologi
Protestan di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunun g Mulia1997), hlm. 57
[8] Ibid, hal. 58-59
[9] Ibid
[10]Sumartana, Mission at The Crossroads: Indigeneus Churches, European Missionaries,
Islamic association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1994), hal. 25
[11]Alle
Hoekema, Berpikir . . . hal. 58
[12]Menurut Sumartana, waktu yang
dihabiskan oleh Hoezoo untuk menuai 120 orang tersebut adalah 20 tahun. Penulis meragukan informasi Sumartana ini.
Sebab, Hoezoo bekerja di Semarang, sampai tahun 1896, yaitu saat ia meninggal
dunia.
[13]Jumlah
tersebut didasarkan dari informasi yang diberikan oleh Sumartana. Informasi
tersebut berbeda dengan data yang diberikan oleh Wolterbeek. Menurut catatan
Wolerbeek, jumlah orang yang berhasil di “tuai” oleh Hoezoo adalah 44 orang
[14] LP3K, Pengantar Sejarah Gereja Kristen Jawa tengah Utara (Permulaan Misi
GKJTU), (Salatiga: Sinode GKJTU, tt), hal.3
[15] Ibid
[16] Sumartana, Mission at . . . hal. 19
[17] LP3K, Pengantar . . hal. . 2-3,
Sumartana, Mission at . . .19
[18] LP3K, Pengantar . . . hal. 4-5
[19]LP3K, p. 4. Menurut Sumartana dan
Wolterbeek, jumlah orang yang dibaptis oleh Hozoe pada saat itu adalah 10
orang.
[20] Sumartana, Mission at . . . hal. 19
[21] Penjelasan Partonadi tersebut
ditempatkan dalam konteks ketika jemaat Le-Jolle masih berada di Simo, jadi
sebelum mereka pindah ke Nyemoh. Karena itu penjelasan ini cukup lemah.
[22] C. Gulliot, Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: Grafiti Press,
1985), hal, 27
[23] Alle Hoekma, Berpikir dalam . . .hal. 66
[24] Ketika Kiai Sadrach berhasil
mendirikan jemaat Kristen yang merdeka di Karangjoso, Ia juga memposisikan
dirinya sebagai seorang imam yang meresmikan dan memberkati pernikahan
jemaatnya.
[25] C. Gulliot, Kiai Sadrach: . . . 27
[26] Alle Hoekma, Berpikir dalam . . .hal. 66
[27] Ketika Kiai Sadrach berhasil
mendirikan jemaat Kristen yang merdeka di Karangjoso, Ia juga memposisikan
dirinya sebagai seorang imam yang meresmikan dan memberkati pernikahan
jemaatnya.
[28] S. Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar-Akar
Kontekstualnya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 71
Hallo, saya marshela dari ilmu sejarah uns mau bertanya mengenai tulisan ini, saya harus berkomunikasi lewat mana ya? Terimakasih
BalasHapus