Agama: antara yang Sakral dan Profane
Oleh: Chlaodhius Budhianto
Pada umumnya orang yang awam dengan studi agama-agama
cenderung memahami agama secara fenomenologis. Perspektif ini memahami agama
dari berbagai gejala keagamaan yang nampak atau dihayati dalam kehidupan
keseharian mereka. Jika pengetahuan keseharian tentang agama ini diperinci,
akan ditemukan beberapa unsur dari agama. Agama terdiri atas sejumlah keyakinan
seperti keyakinan akan adanya Tuhan, dewa-dewa, atau mahluk-mahluk lain yang
mengatasi manusia. Termasuk di dalam keyakinan tersebut adalah nilai-nilai yang
menetapkan tingkahlaku yang baik dan yang buruk. Di dalam agama juga terdapat tempat-tempat
pemujaan, ada orang-orang yang melakukan pemujaan, baik itu secara pribadi
maupun secara kolektif. Ketika orang-orang beragama ditanyai “untuk apa mereka
beribadah?” Berbagai jawaban akan ditemukan. Ada yang mengatakan “supaya lebih dekat dengan yang diyakininya (misalnya
Tuhan).” Yang lain lagi mengatakan: “supaya mendapatkan penghiburan dan
penguatan.” Ada juga yang mengatakan “supaya mendapatkan berbagai petunjuk dari
Tuhan.” Pendeknya,di dalam agama ada suatu interaksi antara yang dipercayai dan
yang mempercayai; dan dalam hubungan tersebut orang percaya mendapatkan pengalaman
keagamaan yang bermakna bagi kehidupannya. Di dalam agama interaksi tidak hanya
terjadi antara orang percaya dan yang dipercayai, tetapi juga di antara orang
percaya sendiri.
Ketika berbagai unsur agama yang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari itu disatukan, Agama tidak lain adalah sebuah institusi
sosial. Agama merupakan suatu system yang memungkinkan setiap umat beragama
berinteraksi, baik itu dengan Yang Maha Tinggi maupun dengan sesama umat
percaya, menurut ketentuan-ketentuan yang ada di dalam agama tersebut. Dalam
arti ini agama merupakan suatu fenomena social. Ia merupakan salah satu bentuk
kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat manusia—lewat apa yang oleh Berger
disebut dengan eksternalisasi—untuk menjawab berbagai kebutuhan
eksistensialnya.[1]
Agama lahir dari masyarakatnya sebagai suatu bentuk kesadaran bersama (consciousness collective) dari para
penciptanya. Sebagai yang demikian itu, agama memiliki sifat profane. Agama berada ditengah-tengah dunia yang profane dan dibentuk oleh dunia yang profane itu. Di dalam
agama berbagai persoalan historis kultural masyarakatnya hadir.
Akan tetapi agama bukan semata-mata suatu fenomena sosial
yang bersifat profane. Bagi para penganutnya agama diyakini berasal dari Yang
Maha Tinggi (ultimate being).” “Yang
Maha Tinggi” dipercaya telah memberikan Wahyu-Nya kepada manusia. Selanjutnya,
wahyu Illahi itu dijadikan sebagai dasar bagi bangunan agamanya. Dari
persepktif ini agama dapat dilihat sebagai institusi Illahi. Lewat Wahyu-Nya,
Yang Maha Tinggi mencari manusia dan mengumpulkan mereka sehingga terciptalah
agama.[2]
Karena berasal dari “Yang Maha Tinggi” agama dipandang sebagai institusi sakral, (suci) yang berbeda dengan
bidang-bidang kehidupan yang lain.
Sakral dan profane, keduanya berbaur di dalam agama.
Agama tidak hanya terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimaman, kredo, pedoman hidup, dan ultimate concern dan persoalan terkait
lainnya. Di dalam agama berbagai persoalan historis-kultural yang melekat pada
kehidupan manusia juga hadir. Dari studi historis-empiris terhadap fenomena
agama diperoleh pehamaman bahwa berbagai “kepentingan” (interest) manusiawi
sangat mewarnai ajaran dan batang tubuh agama. Di dalam agama, keberadaan yang
sakral dan yang profane, ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Keduanya
muncul secara serentak dalam kebudayaan manusia, seperti halnya manusia yang
tidak hanya mahluk social, tetapi juga mahluk religious. Perdebatan mana yang
lebih dahulu, antara yang social dan religious, tidak akan menyelesaikan
masalah. Sakaralitas dan Profanitas agama dapat dibedakan tapi tak dapat
dipisahkan. Manusia menghidupi agama dengan realitas sakral dan profan secara
bersamaan.
Berkelindannya yang sakral dengan profane pada
akhirnya menjadikan pendekatan teologi saja tidak mencukupi untuk memahami
agama. Pendekatan teologis yang mempresaposisikan wahyu illahi sebagai alasan
keberadaan (raison d’etre) agama,dan
menjadikan iman sebagai titik tolak penyelidikannya hanya melihat sisi yang sakral
dari agama. Pendekatan yang melulu teologis terhadap agama, tidak saja
mengabaikan ke-profane-an agama. tetapi
juga mengabaikan pondasinya sendiri yaitu sifat-sifat dari iman. Iman yang
merupakan tanggapan manusia atas wahyu Illahi,[3]
memang sesuatu yang bersifat pribadi. Akan tetapi iman juga bersiat social dan
cultural. Iman selalu tumbuh dan dihayati dalam suatu komunitas dan budaya
tertentu. Sekalipun diyakini bahwa iman muncul dari suatu pengalaman religious
yang personal, iman tidak pernah lepas dari ‘campur tangan’ komunitasnya.
Pengalaman religious, selalu dialami dalam tradisi religious tertentu dan
diungkapkan dalam bahasa-bahasa komunitasnya.[4]
Ketika ke-profan-an menjadi bagian yang yang hakiki di
dalam agama, ke-profan-an itu juga perlu dilihat, sehingga agama bisa dipahami
secara menyeluruh. Pertanyaanya adalah apakah teologi punya kapasitas untuk itu
? Saya rasa teologi tidak punya. Paling banter
kemampuan teologi untuk melihat ke-profan-an
agama diperoleh dari ilmu-ilmu lain. Dengan kata lain, teologi perlu belajar
pada ilmu-ilmu agama lainnya. Kesediaan untuk belajar dari ilmu-ilmu lain
mutlak diperlukan supaya teologi bisa melihat agama secara kritis-realistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar