Selasa, 19 November 2013

Agama: antara yang Sakral dan Profane



Agama: antara yang Sakral dan Profane
Oleh: Chlaodhius Budhianto

Pada umumnya orang yang awam dengan studi agama-agama cenderung memahami agama secara fenomenologis. Perspektif ini memahami agama dari berbagai gejala keagamaan yang nampak atau dihayati dalam kehidupan keseharian mereka. Jika pengetahuan keseharian tentang agama ini diperinci, akan ditemukan beberapa unsur dari agama. Agama terdiri atas sejumlah keyakinan seperti keyakinan akan adanya Tuhan, dewa-dewa, atau mahluk-mahluk lain yang mengatasi manusia. Termasuk di dalam keyakinan tersebut adalah nilai-nilai yang menetapkan tingkahlaku yang baik dan yang buruk.  Di dalam agama juga terdapat tempat-tempat pemujaan, ada orang-orang yang melakukan pemujaan, baik itu secara pribadi maupun secara kolektif. Ketika orang-orang beragama ditanyai “untuk apa mereka beribadah?” Berbagai jawaban akan ditemukan. Ada yang mengatakan “supaya  lebih dekat dengan yang diyakininya (misalnya Tuhan).” Yang lain lagi mengatakan: “supaya mendapatkan penghiburan dan penguatan.” Ada juga yang mengatakan “supaya mendapatkan berbagai petunjuk dari Tuhan.” Pendeknya,di dalam agama ada suatu interaksi antara yang dipercayai dan yang mempercayai; dan dalam hubungan tersebut orang percaya mendapatkan pengalaman keagamaan yang bermakna bagi kehidupannya. Di dalam agama interaksi tidak hanya terjadi antara orang percaya dan yang dipercayai, tetapi juga di antara orang percaya sendiri.
Ketika berbagai unsur agama yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari itu disatukan, Agama tidak lain adalah sebuah institusi sosial. Agama merupakan suatu system yang memungkinkan setiap umat beragama berinteraksi, baik itu dengan Yang Maha Tinggi maupun dengan sesama umat percaya, menurut ketentuan-ketentuan yang ada di dalam agama tersebut. Dalam arti ini agama merupakan suatu fenomena social. Ia merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat manusia—lewat apa yang oleh Berger disebut dengan eksternalisasi—untuk menjawab berbagai kebutuhan eksistensialnya.[1] Agama lahir dari masyarakatnya sebagai suatu bentuk kesadaran bersama (consciousness collective) dari para penciptanya. Sebagai yang demikian itu, agama memiliki sifat profane. Agama berada ditengah-tengah dunia yang profane dan dibentuk oleh dunia yang profane itu. Di dalam agama berbagai persoalan historis kultural masyarakatnya hadir.
Akan tetapi agama bukan semata-mata suatu fenomena sosial yang bersifat profane. Bagi para penganutnya agama diyakini berasal dari Yang Maha Tinggi (ultimate being).” “Yang Maha Tinggi” dipercaya telah memberikan Wahyu-Nya kepada manusia. Selanjutnya, wahyu Illahi itu dijadikan sebagai dasar bagi bangunan agamanya. Dari persepktif ini agama dapat dilihat sebagai institusi Illahi. Lewat Wahyu-Nya, Yang Maha Tinggi mencari manusia dan mengumpulkan mereka sehingga terciptalah agama.[2] Karena berasal dari “Yang Maha Tinggi” agama dipandang sebagai institusi sakral, (suci) yang berbeda dengan bidang-bidang kehidupan yang lain.
Sakral dan profane, keduanya berbaur di dalam agama. Agama tidak hanya terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimaman, kredo, pedoman hidup, dan ultimate concern dan persoalan terkait lainnya. Di dalam agama berbagai persoalan historis-kultural yang melekat pada kehidupan manusia juga hadir. Dari studi historis-empiris terhadap fenomena agama diperoleh pehamaman bahwa berbagai “kepentingan” (interest) manusiawi sangat mewarnai ajaran dan batang tubuh agama. Di dalam agama, keberadaan yang sakral dan yang profane, ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Keduanya muncul secara serentak dalam kebudayaan manusia, seperti halnya manusia yang tidak hanya mahluk social, tetapi juga mahluk religious. Perdebatan mana yang lebih dahulu, antara yang social dan religious, tidak akan menyelesaikan masalah. Sakaralitas dan Profanitas agama dapat dibedakan tapi tak dapat dipisahkan. Manusia menghidupi agama dengan realitas sakral dan profan secara bersamaan.
Berkelindannya yang sakral dengan profane pada akhirnya menjadikan pendekatan teologi saja tidak mencukupi untuk memahami agama. Pendekatan teologis yang mempresaposisikan wahyu illahi sebagai alasan keberadaan (raison d’etre) agama,dan menjadikan iman sebagai titik tolak penyelidikannya hanya melihat sisi yang sakral dari agama. Pendekatan yang melulu teologis terhadap agama, tidak saja mengabaikan ke-profane-an agama. tetapi juga mengabaikan pondasinya sendiri yaitu sifat-sifat dari iman. Iman yang merupakan tanggapan manusia atas wahyu Illahi,[3] memang sesuatu yang bersifat pribadi. Akan tetapi iman juga bersiat social dan cultural. Iman selalu tumbuh dan dihayati dalam suatu komunitas dan budaya tertentu. Sekalipun diyakini bahwa iman muncul dari suatu pengalaman religious yang personal, iman tidak pernah lepas dari ‘campur tangan’ komunitasnya. Pengalaman religious, selalu dialami dalam tradisi religious tertentu dan diungkapkan dalam bahasa-bahasa komunitasnya.[4] 
Ketika ke-profan-an menjadi bagian yang yang hakiki di dalam agama, ke-profan-an itu juga perlu dilihat, sehingga agama bisa dipahami secara menyeluruh. Pertanyaanya adalah apakah teologi punya kapasitas untuk itu ? Saya rasa teologi tidak punya. Paling banter kemampuan teologi untuk melihat ke-profan-an agama diperoleh dari ilmu-ilmu lain. Dengan kata lain, teologi perlu belajar pada ilmu-ilmu agama lainnya. Kesediaan untuk belajar dari ilmu-ilmu lain mutlak diperlukan supaya teologi bisa melihat agama secara kritis-realistis.



[1] Peter Berger, Langit Suci Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial LP3ES: 1991
[2] Bdk. Dengan Al Andang , Agama yang Berpijak dan Berpihak, (Yogyakarta: Kanisius 1998),  p. 44
[3] Pemahaman akan iman yang semacam ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman Kristen
[4] Bdk. Nico Syukur Diester, Pengantar Teologi (Yogyakarta/Jakarta: Kanisius/BPK Gunung , 1991) p. 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar