Selasa, 19 November 2013

Subversifitas dalam Perjamuan Kudus

Subversifitas dalam Perjamuan Kudus
Oleh: Chlaodhius Budhianto

Pendahuluan
Gereja-gereja di Indonesia memahami Perjamuan Kudus atau ekaristi  sebagai sesuatu yang kudus. Kekudusan di dalam Perjamuan Kudus, bukan saja terlihat dari istilah perjamuan kudus,” tetapi juga terlihat dalam pelaksanaannya. Sebagai sesuatu yang kudus, Perjamuan Kudus dilaksanakan dengan berbagai ketentuan yang tujuan utamanya adalah menjaga kekudusan Perjamuan Kudus. Salah satu ketentuan tersebut ialah bahwa Perjamuan Kudus hanya boleh diikuti oleh orang-orang tertentu, yaitu orang-orang suci atau orang-orang yang telah disucikan. Dengan ketentuan semacam ini, maka orang-orang berdosa tidak diperkenankan ikut dalam perjamuan kudus. Jika orang-orang berdosa ingin mengikuti perjamuan kudus, mereka harus menyucikan dirinya terlebih dahulu.
Oleh gereja-gereja di Indonesia, kekudusan atau kesucian orang-orang yang terlibat di dalam Perjamuan Kudus itu, lebih banyak dipahami dalam pengertian yang spiritualistik-individualistik. Artinya kekudusan dalam Perjamuan Kudus lebih dipahami sebagai sesuatu yang terkait dengan persoalan hubungan pribadi manusia dengan Tuhan. Kekudusan dalam Perjamuan Kudus amat jarang dan bahkan tidak pernah dikaitkan dengan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan~seperti kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan.
Pemahaman Perjamuan Kudus yang semacam itu, bukan saja telah menjauhkan orang-orang berdosa dari Perjamuan Kudus. Tetapi juga memperlihatkan bahwa di tangan gereja Perjamuan Kudus telah dijinakkan dan diperalat untuk mempertahankan kondisi-kondisi sosial-kemasyarakatan yang penuh dengan kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan. Dengan memahami Perjamuan Kudus sebagai sesuatu yang kudus seperti itu gereja telah mengebiri karakter Perjamuan Kudus yang subversif.

Subversifitas dalam Perjamuan Kudus. 
Di Indonesia istilah subversif telah dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Ini dikarenakan istilah tersebut sering dikonotasikan dengan ideologi komunis yang dilarang pemerintah, atau berkaitan dengan sikap-sikap yang anti pemerintah. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang terlibat dalam gerakan subversif, penjara dan bahkan hukuman mati merupakan tempat yang layak baginya. Secara etimologis, istilah subversif berasal dari bahasa latin vertere (menumbangkan) dan sub (dari bawah). Dari situ istilah subversif dapat dipahami sebagai suatu gerakan dari bawah yang diharapkan dapat menghasilkan perubahan yang radikal dalam tata susunan masyarakat.
Perjamuan Kudus sesungguhnya juga bersifat subversif. Secara historis, Perjamuan Kudus berhubungan erat dengan perayaan paskah yahudi yaitu perayaan akan keberhasilan bangsa Yahudi dalam menumbangkan sistem politik dan ekonomi bangsa Mesir yang memperbudak mereka.
Kecuali aspek historis tersebut Perjamuan Kudus yang dipraktekkan oleh Yesus sendiri juga memperlihatkan aspek subversif dari Perjamuan Kudus. Melalui Perjamuan Kudus Yesus mencoba meruntuhkan tatanan sosial-kemasyarakatan yang hierarkis dan di-langgeng-kan oleh politik kekudusan para pemimpin agama Yahudi. Dalam suatu tatanan sosial yang hierarkis, kekudusan, perjamuan makan bersama (ekaristi) merupakan jamuan makan yang mempunyai makna dan kepentingan sosial tertentu. Oleh karena itu pelaksanaannya diatur dengan pelbagai ketentuan-ketentuan. Pada masa Yesus, ketentuan-ketentuan tersebut dijustifikasikan oleh agama, yaitu sistem (dan politik) kekudusan. Aturan-aturan tersebut bukan saja menentukan apa saja yang boleh dimakan dan bagaimana harus menyiapkannya, tetapi juga mengatur dengan siapa orang boleh makan bersama. Berpangkal pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka orang-orang di masa Yesus tidak akan bersedia makan dengan sembarang orang. Orang dari kelas atas tidak akan bersedia makan dengan orang dari kelas bawah, pemimpin agama tidak sudi duduk semeja dengan orang berdosa untuk bersantap bersama.
Oleh Yesus, Perjamuan Kudus tidak dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada di masyarakat. Di dalam Perjamuan Kudus-Nya, Yesus duduk semeja dengan para sampah masyarakat. Orang-orang berdosa, para perempuan, orang-orang cacat duduk bersama dan bersantap dengan Yesus dan orang-orang suci yang bersedia mengikut Yesus. Perjamuan Kudus yang diselenggarakan Yesus tidak ada ketentuan: “Stop! orang berdosa dilarang ikut.” Semua orang, apapun kelas sosialnya, berdosa dan tidak berdosa, asalkan mereka bersedia hadir dan bersantap bersama dalam Perjamuan Kudus dipersilahkan ikut.  Tidak ada yang tersisih di dalam Perjamuan Kudus yang diselenggarakan oleh Yesus. Bahkan, seekor anjing sekalipun diijinkan untuk hadir dan bersantap walaupun hanya mendapatkan remah-remah (bdk. Mrk. 7:1-30). Ada egalitarianisme dalam Perjamuan Kudus yang diselenggarakan Yesus.  
Hal lain yang menjadi penanda bagi subversifitas dalam Perjamuan Kudus adalah terjadinya pembauran antara yang ‘sakral’ dan yang ‘profan’. Hal ini ditegaskan oleh Robert McAfee Brown berikut: “saat di mana komunitas kristiani (dengan segala perbedaan yang ada) mewartakan ‘kehadiran nyata Kristus bukanlah saat untuk mengabaikan dunia di luar, melainkan saat untuk melibatkan diri dengan dunia, dengan jalan memanfaatkan ciptaan-ciptaan yang ada”.
Roti dan anggur yang disantap dalam Perjamuan Kudus dapat dinikmati berkat kegiatan-kegiatan seperti menanam, menyiram, menuai, memasak, menjual, membeli dan sebagainya. Semua kegiatan ini bersifat ekonomi dan dalam pendistribusiannya bersifat politis. Dalam liturgi yang adalah sakral, Perjamuan Kudus senantiasa terkait dengan aspek-aspek profan yaitu ekonomi dan politik. Di dalam Perjamuan Kudus aspek sakral dan profane menyatu. Tidak ada dikotomi diantara keduanya.

Perjamuan Kudus dan Pembebasan Masyarakat
Menyatunya yang sakral dan pofane dalam Perjamuan Kudus ini telah mendorong gereja perdana untuk senantiasa mengaitkan Perjamuan Kudus dengan realitas-realitas sosial ekonomi diluar meja perjamuan (bdk.Kis. 2: 43-47). Orang kristen perdana merayakan Perjamuan Kudus dengan disertai komitmen yang kuat terhadap orang-orang miskin. Pada masa itu, ada kesadaran dalam diri orang-orang kristen perdana bahwa makanan yang ada di meja perjamuan ‘berteriak’ menuntut diupayakannya makanan yang cukup di meja-meja lain di dunia. Dengan ambil bagian pada makanan yang ada di meja perjamuan, orang disadarkan untuk mengupayakan suatu perubahan masyarakat yang memungkinkan tersedianya makanan dan minuman yang cukup, bukan hanya bagi sekelompok kecil orang melainkan bagi semua orang di bumi.
Oleh karena itu, pada masa kini, ketika umat beriman yang hadir di dalam Perjamuan Kudus tidak memikirkan kegelisahan yang dialami oleh masyarakat kebanyakan, maka unsur Perjamuan Kudus yang essensial menjadi hilang. Tanpa kehendak untuk memikirkan nasib umat manusia yang dihimpit oleh berbagai dosa sosial dan struktural, perayaan Perjamuan Kudus berubah menjadi perayaan yang dikutuk oleh nabi Amos ketika ia berkata “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu” (Amos 5:21).
Perayaan Perjamuan Kudus perlu dibarengi oleh tindakan-tindakan subversive untuk menumbangkan berbagai system kehidupan yang tidak adil dan menggantikannya dengan suatu tatanan kehidupan sosial yang berjangkar dalam nilai-nilai Kerajaan Allah, yaitu persaudaraan yang saling mengasihi dan penuh dengan keadilan. Bagaimana agar perayaan Perjamuan Kudus mampu menumbuhkembangkan praksis pembebasan masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai kerajaan Allah ? Praksis pembebasan masyarakat semacam itu membutuhkan tiga prinsip: kritis, kreatif dan saling menopang.
Perayaan Perjamuan Kudus merupakan sebuah perayaan yang bersifat mengenang. Di satu sisi peristiwa perjamuan kudus adalah peristiwa di mana umat percaya mengenang persekutuannya dengan Kristus di saat-saat terakhir kehidupannya di Bumi. Di sisi lain, di saat yang bersamaan dengan yang pertama, orang percaya juga diingatkan akan kegagalan persekutuan umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pengenangan yang pertama, karena itu merupakan kritik profetis dari pengenangan yang kedua. Ketika orang percaya mengenang persekutuannya dengan Kristus, umat percaya ingin meng-kritis-i kenyataan hidup di masyarakat yang tidak bersekutu dan terpecah belah oleh ketidaksamaan dan ketidakadilan. Dari sini, umat percaya kemudian di dorong untuk bertindak kreatif untuk memperbaiki kehidupan sehari-hari. Pengalaman umat percaya yang telah dipersatukan di dalam perjamuan kudus, memotivasi orang percaya untuk mewujudkan pengalaman persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari yang konkret sehingga persekutuan yang sejati berdasarkan persaudaraan universal benar-benar terwujud.
Prinsip yang ketiga, saling menopang, ingin mengatakan bahwa antara Perjamuan Kudus dan praksis pembebasan masyarakat merupakan dua hal yang berkaitan satu dengan yang lain. Persekutuan orang percaya yang mengikuti perjamuan kudus sebenarnya merupakan tanda dan sekaligus sakramen Kerajaan Allah. Kedalaman makna Perjamuan Kudus memberikan sebuah orientasi yang sangat penting untuk semua tindakan keadilan di dunia. Oleh karena itu perayaan Perjamuan Kudus seharusnya selalu berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas akan persaudaraan yang sejati dan berkeadilan.
  
Penutup
Sebagai sesuatu yang subversif, pada awalnya perayaan ekaristi senantiasa disertai dengan komitmen untuk pembebasan masyarakat. Ia dilaksanakan sebagai sebuah kenangan bagi pembebasan perbudakan ekonomi dan politik, sebagai wahana untuk membangun persaudaraan yang egaliter, serta komitmen untuk senantiasa bersikap adil kepada mereka-mereka yang miskin. Karakter yang membebaskan dari ekaristi ini hanya bisa menjadi nyata manakala ekaristi dibebaskan dari segala piranti-piranti kekudusan yang spiritualistik-individualistik. Sebab piranti-piranti tersebut hanya akan menjinakkan ekaristi dan menjadi alat yang membenarkan berbagai rezim yang menindas.


Daftar Pustaka
Borgias, Fransiscus, “Teologi Makanan: Menyimak Kitab Suci Sebagai Kritik Kebudayaan” dalam Forum Biblika no. 18 th. 2005 hlm. 24-45
den Heyer, C.J., Perjamuan Tuhan: Studi Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997).
Dussel, Enrique, The Bread of the Eucharistic celebration as a Sign of Justice in the community in Mary Collins and David Power (Eds.), Can we always celebate the eucharist, concilium 152 (New York: Seabury) 1982 56-68
Soetomo, Greg., Ekaristi dan Pembebasan dalam Konteks Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
Wardaya, Baskara T, Spiritualitas dan Pembebasan Refleksi atas Iman  Kristiani dan Praksis Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar