Subversifitas dalam Perjamuan Kudus
Oleh: Chlaodhius Budhianto
Pendahuluan
Gereja-gereja di Indonesia
memahami Perjamuan Kudus atau ekaristi sebagai sesuatu yang kudus. Kekudusan di dalam
Perjamuan Kudus, bukan saja terlihat dari istilah “perjamuan kudus,” tetapi juga terlihat dalam pelaksanaannya. Sebagai
sesuatu yang kudus, Perjamuan Kudus dilaksanakan dengan berbagai ketentuan yang
tujuan utamanya adalah menjaga kekudusan Perjamuan Kudus. Salah satu ketentuan
tersebut ialah bahwa Perjamuan Kudus hanya boleh diikuti oleh orang-orang
tertentu, yaitu orang-orang suci atau orang-orang yang telah disucikan. Dengan
ketentuan semacam ini, maka orang-orang berdosa tidak diperkenankan ikut dalam
perjamuan kudus. Jika orang-orang berdosa ingin mengikuti perjamuan kudus,
mereka harus menyucikan dirinya terlebih dahulu.
Oleh gereja-gereja di
Indonesia, kekudusan atau kesucian orang-orang yang terlibat di dalam Perjamuan
Kudus itu, lebih banyak dipahami dalam pengertian yang
spiritualistik-individualistik. Artinya kekudusan dalam Perjamuan Kudus lebih
dipahami sebagai sesuatu yang terkait dengan persoalan hubungan pribadi manusia
dengan Tuhan. Kekudusan dalam Perjamuan Kudus amat jarang dan bahkan tidak
pernah dikaitkan dengan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan~seperti
kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan.
Pemahaman Perjamuan Kudus yang
semacam itu, bukan saja telah menjauhkan orang-orang berdosa dari Perjamuan
Kudus. Tetapi juga memperlihatkan bahwa di tangan gereja Perjamuan Kudus telah
dijinakkan dan diperalat untuk mempertahankan kondisi-kondisi
sosial-kemasyarakatan yang penuh dengan kemiskinan, penindasan dan
ketidakadilan. Dengan memahami Perjamuan Kudus sebagai sesuatu yang kudus
seperti itu gereja telah mengebiri karakter Perjamuan Kudus yang subversif.
Subversifitas dalam Perjamuan Kudus.
Di Indonesia istilah subversif
telah dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Ini dikarenakan istilah
tersebut sering dikonotasikan dengan ideologi komunis yang dilarang pemerintah,
atau berkaitan dengan sikap-sikap yang anti pemerintah. Oleh karena itu, bagi
orang-orang yang terlibat dalam gerakan subversif, penjara dan bahkan hukuman
mati merupakan tempat yang layak baginya. Secara etimologis, istilah subversif
berasal dari bahasa latin vertere (menumbangkan)
dan sub (dari bawah). Dari situ
istilah subversif dapat dipahami sebagai suatu gerakan dari bawah yang diharapkan dapat menghasilkan perubahan yang
radikal dalam tata susunan masyarakat.
Perjamuan
Kudus sesungguhnya juga bersifat subversif. Secara historis, Perjamuan Kudus
berhubungan erat dengan perayaan paskah yahudi yaitu perayaan akan keberhasilan
bangsa Yahudi dalam menumbangkan sistem politik dan ekonomi bangsa Mesir yang
memperbudak mereka.
Kecuali
aspek historis tersebut Perjamuan Kudus yang dipraktekkan oleh Yesus sendiri
juga memperlihatkan aspek subversif dari Perjamuan Kudus. Melalui Perjamuan
Kudus Yesus mencoba meruntuhkan tatanan sosial-kemasyarakatan yang hierarkis
dan di-langgeng-kan oleh politik kekudusan para pemimpin agama Yahudi. Dalam
suatu tatanan sosial yang hierarkis, kekudusan, perjamuan makan bersama
(ekaristi) merupakan jamuan makan yang mempunyai makna dan kepentingan sosial
tertentu. Oleh karena itu pelaksanaannya diatur dengan pelbagai
ketentuan-ketentuan. Pada masa Yesus, ketentuan-ketentuan tersebut
dijustifikasikan oleh agama, yaitu sistem (dan politik) kekudusan.
Aturan-aturan tersebut bukan saja menentukan apa saja yang boleh dimakan dan
bagaimana harus menyiapkannya, tetapi juga mengatur dengan siapa orang boleh
makan bersama. Berpangkal pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka
orang-orang di masa Yesus tidak akan bersedia makan dengan sembarang orang.
Orang dari kelas atas tidak akan bersedia makan dengan orang dari kelas bawah,
pemimpin agama tidak sudi duduk semeja dengan orang berdosa untuk bersantap
bersama.
Oleh Yesus,
Perjamuan Kudus tidak dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada di
masyarakat. Di dalam Perjamuan Kudus-Nya, Yesus duduk semeja dengan para sampah masyarakat. Orang-orang berdosa,
para perempuan, orang-orang cacat duduk bersama dan bersantap dengan Yesus dan
orang-orang “suci” yang bersedia mengikut Yesus. Perjamuan
Kudus yang diselenggarakan Yesus tidak ada ketentuan: “Stop! orang berdosa
dilarang ikut.” Semua orang, apapun kelas sosialnya, berdosa dan tidak berdosa,
asalkan mereka bersedia hadir dan bersantap bersama dalam Perjamuan Kudus
dipersilahkan ikut. Tidak ada yang
tersisih di dalam Perjamuan Kudus yang diselenggarakan oleh Yesus. Bahkan,
seekor anjing sekalipun diijinkan untuk hadir dan bersantap walaupun hanya
mendapatkan remah-remah (bdk. Mrk. 7:1-30). Ada egalitarianisme dalam Perjamuan Kudus yang diselenggarakan Yesus.
Hal lain
yang menjadi penanda bagi subversifitas dalam Perjamuan Kudus adalah terjadinya
pembauran antara yang ‘sakral’ dan yang ‘profan’. Hal ini ditegaskan oleh
Robert McAfee Brown berikut: “saat di mana komunitas kristiani (dengan segala
perbedaan yang ada) mewartakan ‘kehadiran nyata Kristus bukanlah saat untuk
mengabaikan dunia di luar, melainkan saat untuk melibatkan diri dengan dunia,
dengan jalan memanfaatkan ciptaan-ciptaan yang ada”.
Roti dan
anggur yang disantap dalam Perjamuan Kudus dapat dinikmati berkat
kegiatan-kegiatan seperti menanam, menyiram, menuai, memasak, menjual, membeli
dan sebagainya. Semua kegiatan ini bersifat ekonomi dan dalam
pendistribusiannya bersifat politis. Dalam liturgi yang adalah sakral, Perjamuan
Kudus senantiasa terkait dengan aspek-aspek profan yaitu ekonomi dan politik.
Di dalam Perjamuan Kudus aspek sakral dan profane menyatu. Tidak ada dikotomi
diantara keduanya.
Perjamuan Kudus dan Pembebasan Masyarakat
Menyatunya
yang sakral dan pofane dalam Perjamuan Kudus ini telah mendorong gereja perdana
untuk senantiasa mengaitkan Perjamuan Kudus dengan realitas-realitas sosial
ekonomi diluar meja perjamuan (bdk.Kis. 2: 43-47). Orang kristen perdana
merayakan Perjamuan Kudus dengan disertai komitmen yang kuat terhadap orang-orang
miskin. Pada masa itu, ada kesadaran dalam diri orang-orang kristen perdana
bahwa makanan yang ada di meja perjamuan ‘berteriak’ menuntut diupayakannya
makanan yang cukup di meja-meja lain di dunia. Dengan ambil bagian pada makanan
yang ada di meja perjamuan, orang disadarkan untuk mengupayakan suatu perubahan
masyarakat yang memungkinkan tersedianya makanan dan minuman yang cukup, bukan
hanya bagi sekelompok kecil orang melainkan bagi semua orang di bumi.
Oleh karena itu, pada masa kini, ketika umat beriman
yang hadir di dalam Perjamuan Kudus tidak memikirkan kegelisahan yang dialami
oleh masyarakat kebanyakan, maka unsur Perjamuan Kudus yang essensial menjadi
hilang. Tanpa kehendak untuk memikirkan nasib umat manusia yang dihimpit oleh
berbagai dosa sosial dan struktural, perayaan Perjamuan Kudus berubah menjadi
perayaan yang dikutuk oleh nabi Amos ketika ia berkata “Aku membenci, Aku
menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu” (Amos
5:21).
Perayaan Perjamuan Kudus perlu dibarengi oleh
tindakan-tindakan subversive untuk menumbangkan berbagai system kehidupan yang
tidak adil dan menggantikannya dengan suatu tatanan kehidupan sosial yang
berjangkar dalam nilai-nilai Kerajaan Allah, yaitu persaudaraan yang saling
mengasihi dan penuh dengan keadilan. Bagaimana agar perayaan Perjamuan Kudus
mampu menumbuhkembangkan praksis pembebasan masyarakat yang berbasis pada
nilai-nilai kerajaan Allah ? Praksis pembebasan masyarakat semacam itu
membutuhkan tiga prinsip: kritis, kreatif
dan saling menopang.
Perayaan Perjamuan Kudus merupakan sebuah perayaan
yang bersifat mengenang. Di satu sisi peristiwa perjamuan kudus adalah
peristiwa di mana umat percaya mengenang persekutuannya dengan Kristus di
saat-saat terakhir kehidupannya di Bumi. Di sisi lain, di saat yang bersamaan
dengan yang pertama, orang percaya juga diingatkan akan kegagalan persekutuan
umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pengenangan yang pertama, karena itu
merupakan kritik profetis dari pengenangan yang kedua. Ketika orang percaya
mengenang persekutuannya dengan Kristus, umat percaya ingin meng-kritis-i kenyataan hidup di masyarakat
yang tidak bersekutu dan terpecah belah oleh ketidaksamaan dan ketidakadilan.
Dari sini, umat percaya kemudian di dorong untuk bertindak kreatif untuk memperbaiki kehidupan sehari-hari. Pengalaman umat
percaya yang telah dipersatukan di dalam perjamuan kudus, memotivasi orang
percaya untuk mewujudkan pengalaman persekutuan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari yang konkret sehingga persekutuan yang sejati berdasarkan
persaudaraan universal benar-benar terwujud.
Prinsip yang ketiga, saling menopang, ingin mengatakan bahwa antara Perjamuan Kudus dan
praksis pembebasan masyarakat merupakan dua hal yang berkaitan satu dengan yang
lain. Persekutuan orang percaya yang mengikuti perjamuan kudus sebenarnya
merupakan tanda dan sekaligus sakramen Kerajaan Allah. Kedalaman makna
Perjamuan Kudus memberikan sebuah orientasi yang sangat penting untuk semua
tindakan keadilan di dunia. Oleh karena itu perayaan Perjamuan Kudus seharusnya
selalu berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas akan persaudaraan yang sejati
dan berkeadilan.
Penutup
Sebagai sesuatu yang
subversif, pada awalnya perayaan ekaristi senantiasa disertai dengan komitmen
untuk pembebasan masyarakat. Ia dilaksanakan sebagai sebuah kenangan bagi
pembebasan perbudakan ekonomi dan politik, sebagai wahana untuk membangun
persaudaraan yang egaliter, serta komitmen untuk senantiasa bersikap adil
kepada mereka-mereka yang miskin. Karakter yang membebaskan dari ekaristi ini
hanya bisa menjadi nyata manakala ekaristi dibebaskan dari segala
piranti-piranti kekudusan yang spiritualistik-individualistik. Sebab
piranti-piranti tersebut hanya akan menjinakkan ekaristi dan menjadi alat yang
membenarkan berbagai rezim yang menindas.
Daftar Pustaka
Borgias, Fransiscus, “Teologi Makanan: Menyimak Kitab Suci Sebagai Kritik
Kebudayaan” dalam Forum Biblika no.
18 th. 2005 hlm. 24-45
den Heyer, C.J., Perjamuan Tuhan:
Studi Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi
Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997).
Dussel, Enrique, The Bread of the
Eucharistic celebration as a Sign of Justice in the community in Mary
Collins and David Power (Eds.), Can we
always celebate the eucharist, concilium 152 (New York: Seabury) 1982 56-68
Soetomo, Greg., Ekaristi dan Pembebasan dalam Konteks
Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
Wardaya, Baskara T, Spiritualitas dan
Pembebasan Refleksi atas Iman Kristiani
dan Praksis Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar