Masyarakat
Post-Nation-State Dan Demokrasi
Deliberatif
Suatu Usaha Berteologi Sosial Dalam Konteks Masyarakat Post-Nation-State
Oleh: Chlaodhius
Budhianto
1. Pendahuluan
Dewasa
ini, tiada kata yang paling sering diucapkan kecuali Globalisasi. Hampir setiap
hari ia menghiasi mass media, baik itu cetak maupun elektronik. Ia juga menjadi
buah bibir banyak orang, mulai dari pejabat sampai pedagang kecil di
pasar-pasar tradisional. Namun demikian, bukan berarti kalau istilah ini jelas
dengan sendirinya.
Sebagai sebuah istilah yang
merujuk pada sebuah realitas, globalisasi merupakan istilah yang maknanya masih
diperdebatkan banyak pihak. Menurut Giddens, ada dua kelompok yang terlibat
dalam perdebatan tersebut.[1] Pertama
kelompok skeptis, kelompok ini memandang globalisasi dan realitas yang
ditunjuknya sebagai omong kosong, ia hanya mitos. Bagi mereka apa yang terjadi
sekarang ini sesungguhnya hanya melanjutkan hal-hal yang telah terjadi di masa
lalu. Misalnya, sejak zaman Romawi telah ada kontak antara bangsa Roma dan
Cina, pada abad ke 14 Christopherus Columbus dan Vasco de Gama telah
melanglangbuana dan berkontak dengan bangsa-bangsa lain; lalu disusul oleh
gelombang kolonialisme. Kedua kelompok radikal atau hiperglobalis,
mereka melihat globalisasi adalah riil. Ia ada dalam beberapa dekade ini dan
telah mengubah dunia secara total dan radikal. Sebenarnya, diantara kedua
kelompok tersebut, ada kelompok ketiga yang turut meramaikan perdebatan.
Kelompok ini yang merupakan poros tengah mengakui bahwa globalisasi memang
telah terjadi di waktu lampau, namun globalisasi yang terjadi pada masa ini tak
bisa dibandingkan dengan globalisasi yang terjadi di masa lalu. Perbedaan itu
tidak terlepas dari keluasan, kekuatan, kecepatan, dan dampak yang
ditimbulkannya.
Terlepas dari perdebatan mengenai
kapan globalisasi dimulai, namun yang jelas globalisasi merupakan realitas yang
benar-benar terjadi saat ini. Ia datang dan melibas apa saja yang mencoba
menghadangnya. Tidak terkecuali Nation-state. Di hadapan globalisasi,
nasib nation-state tidak jauh berbeda dengan nasib agama ketika
berhadapan dengan sekulerisasi. Sebagaimana sekuleriasi telah menelanjangi
kekuasaan agama atas diri manusia, pun demikian dengan nasib nation-state. Oleh
Globalisasi nation-state telah digerogoti sedemikian rupa sehingga ia
kehilangan monopolinya dalam membentuk dan menentukan kehidupan setiap
warganya. Tidak puas menggerogoti, globalisasi juga memaksa nation-state untuk
mentransformasikan dirinya dalam apa yang disebut dengan post-nation-state.
Tulisan ini bermaksud mengkaji fenomena
post-nation-state dan mencoba melihat berbagai kemungkinan yang bisa
dimainkan agama, khususnya gereja dalam post-nation-state.
2. Masyarakat
Post-Nation-State: Masyarakat Yang High-Risk
Selama
berabad-abad, nation-state selalu dipahami dalam batas-batas teritorial.
Nation-state baik dalam pengertian tradisional maupun modern selalu
menyertakan dimensi teritorial sebagai komponen utamanya. Teritorial telah
dijadikan sebagai frame of reference untuk memahami apa itu nation-state.
Dimensi ini juga telah membentuk kedirian seorang warga negara dari suatu nation-state
tertentu. Hidup manusia, aktifitasnya, kesosialannya, serta identitasnya,
terbentuk dalam batas-batas teritorial.
Di era
globalisasi batas-batas teritorial itu telah dinafikan. Lewat ilmu pengetahuan
dan teknologi komunikasi yang berkembang begitu pesatnya, batas-batas
teritorial mengalami deteritorialisasi.[2]
Duniapun berubah. Batas-batas ke-nation-state-an tidak mampu menahan
arus pergaulan antar bangsa. Orang dari berbagai suku, ras, etnis, agama dan
kebangsaan, dapat dengan mudah bergaul dan berinteraksi. Berbagai peristiwa
yang terjadi dibelahan bumi yang terpisah jauh dengan mudah dan cepat menyebar
dan mempengaruhi orang atau peristiwa di tempat yang lain. Deteritorialisasi
menjadikan dunia seperti sebuah perkampungan kecil yang dihuni oleh suatu
masyarakat kosmopolitan global.
Masyarakat
kosmopolitan global merupakan masyarakat post-nation-state. Masyarakat
ini tidak terikat oleh batas-batas teritorial suatu nation-state. Satu-satunya
batas teritorial ialah dunia itu sendiri. Keanggotaan masyarakat ini juga
kompleks: lintas nation-state dan multikultural.
Multikultural
sebagai karakter dari masyarakat post-nation-state, merupakan sesuatu
yang amat sulit didefinisikan. Memang secara normatif ia dapat didefinisikan
sebagai fakta keanekaragaman. Berhadapan dengan fakta keanekaragaman ini orang
lantas mengambil sikap-sikap tertentu, yang disebut multikulturalisme. Pada
tahap awal, banyak orang masih sepakat untuk mengambil sikap yang sama yaitu
mengakui fakta keanekaragaman. Namun selepas pengakuan, banyak orang mulai
tidak sepakat. Sebab, fakta multikultural ini tidak cukup hanya diakui.
Pengakuan itu perlu diwujudnyatakan dalam tindakan konkret. Ketika fakta
keanekaragaman menuntut tidak hanya sikap, namun juga tindakan konkret inilah
orang mulai tidak sepakat.
Paling
tidak ada ada dua sikap dalam memperlakukan fakta keanekaragaman. Kelompok
pertama ialah kelompok universalis-liberal.[3]
Kelompok ini mengambil sikap asimilasi. Menurut kelompok universalis ini,
segala perbedaan yang ada dalam keanekaragaman itu, sesungguhnya hanyalah kulit
luarnya saja. Oleh karena itu masing-masing kelompok hendaknya saling
menyesuaikan diri, sehingga universalitas yang menjadi essensi keberadaan
mereka bisa nampak dan berjalin kelin satu dengan yang lainnya sehingga
terciptalah sebuah kultur yang universal yaitu kultur global. Kultur global
merupakan suatu horizon pengalaman dan horison tentang pandangan dunia dan
nilai yang khas, otonom dan sekaligus menyatukan.[4] Ia
menjadi basis identitas masyarakat post-nation-state. Identitas bersama
yang membuat masyarakat Post-nation-state sebagai satu keluarga dunia.
Karena itu tujuan akhir dari kelompok ini ialah mentransformasikan
multikulturalitas menjadi monokultural. Kelompok universalis merupakan kelompok
yang amat dominan dalam masyarakat post-nation-state.
Kelompok
kedua adalah kaum komunitarian. Kelompok ini bersikap eksklusif. Bagi kelompok
ini setiap individu atau kelompok bangsa mempunyai adat kebiasaan, cita-cita
dan nilai-nilai hidup yang berbeda dan tak mungkin disatukan. Oleh karena itu
kaum komunitarian menuntut supaya keanekaragaman budaya diberi ruang yang
sebebas-bebasnya untuk mempraktekkan dan mewujudkan cita-cita hidupnya. Berbeda
dengan kaum universalis yang ingin menjadikan berbagai keanekaragaman yang ada
di bumi ini sebagai satu keluarga besar, kaum komunitarian ingin menciptakan
suatu masyarakat yang terkotak-kotak, yang terpisah satu dengan yang lainnya.
Dalam masyarakat post-nation-state, kelompok komunitarian sesungguhnya
merupakan kelompok yang marginal.
Adanya
dua bentuk sikap dalam menyikapi multikulturalisme ini pada gilirannya
menjadikan masyarakat post-nation-state ini senantiasa berada dalam
ketegangan. Ketegangan ini amat sulit untuk dijembatani, sebab kedua sikap yang
bertolak belakang itu sama-sama memutlakkan pendapat mereka. Yang satu
memutlakkan universalitas, yang lainnya memutlakkan partikularitas.
Selain
multikulturalisme yang bersifat paradoks tersebut, masyarakat post-natio-state
juga dikarakterkan sebagai hilangnya kedaulatan negara. Hilangnya
kedaulatan negara ini tidak terlepas dari proses deteritorialisasi. Jika pada
dulu negara selalu dipahami sebagai suatu kesatuan yang kesatuannya ditentukan
oleh batas-batas teritorial, maka dengan terdeteritorialisasikannya batas-batas
georgrafis, kesatuan negara kini ditentukan oleh keterjaringannya dengan
negara-negara lain diseluruh dunia.[5]
Akibatnya negara tidak lagi otonom.
Segala apa yang dilakukannya akan berdampak pada negara-negara lain dan
sekaligus ditentukan oleh mereka. Jika negara-negara di dunia menginginkan
demokrasi, perdagangan bebas atau yang lainnya, maka sebuah negara tidak bisa
menolaknya.
Ketidakotonomian
negara ini semakin diperparah oleh perusahaan-perusahaan multinasional.[6]
Perusahaan-perusahaan inilah yang seringkali mengatur kebijakan-kebijakan suatu
negara. Dengan dalih investasi, mereka menuntut supaya negara membuat
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka. Jika tidak negara itu akan
ditinggalkan. Dengan ancaman seperti ini tidak sedikit negara, khususnya negara
dunia ketiga, yang tunduk dan mengabdi pada korporasi-korporasi international.
Dengan dalih menarik para investor, para negara banyak yang tidak menghiraukan
nasib rakyatnya. Akibat dari kelakuan negara yang seperti ini, negara
kehilangan kredibilitasnya dihadapan warga negara. Kasus penggulingan rezim
Orde Baru tahun 1998 merupakan contoh konkret di mana kedaulatan sebuah negara
telah dipermainkan oleh korporasi-korporasi multinasional dan kredibilitas
pemimpin negara hilang.
Hilangnya
kredibilitas negara mau-tidak mau memaksa negara untuk kehilangan peran dalam
kehidupan post-nation-state. Dalam masyarakat post-nation-state ini, politik
negara tidak bermain, tidak ada parlemen dan tidak ada pemerintahan dunia.
Namun demikian tidak berarti kalau masyarakat post-nation-state ini
adalah masyarakat yang a-politis. Justru sebaliknya, masyarakat ini adalah
masyarakat yang high-politikcs. Sebab
di masyarakat post-nation-state ini terdapat ‘global players’ yang pada
dirinya sendiri a-politis namun dalam tindakan-tindakan mereka sangatlah
politis, sebab mereka juga turut membentuk gaya hidup, norma-norma dan nilai-nilai
masyarakat dunia.[7] Dan
karena itu para ‘global players’ bisa menjadi pusat orientasi bagi loyalitas
manusia. Kecuali itu para ‘global players’ juga punya kemampuan untuk
mendesakkan pengaruhnya ke dalam kebijakan-kebijakan publik suatu negara. Para pemain global ini terdiri atas gereja atau
organisasi keagamaan yang lainnya, organisasi nonpemerintah dan para pelaku
ekonomi, seperti telah disebutkan, perusahaan-perusahaan multinasional, IMF, dll.
Dengan
demikian dapat dilihat bahwa masyarakat post-nation-state merupakan
masyarakat yang trans-national, multikultural yang paradoks, tidak tunduk pada
negara national namun highs-politics. Masyarakat yang seperti ini
sesungguhnya merupakan masyarakat yang high-risk, masyarakat yang
beresiko tinggi.
Resiko
tinggi yang ada dalam masyarakat post-nation-state ini pertama-tama
muncul dari karakter multikultural yang paradoks. Resiko yang dimunculkan oleh
karakter ini tidak semata-mata dipicu oleh ketegangan bahkan konflik yang ada
diantara dua kelompok yang memahami multikulturalisme secara berbeda. Resiko
itu muncul oleh karena kedua belah pihak yang saling beroposisi itu
sesungguhnya bersifat ideologis. Kedua kelompok ini sama-sama menyembunyikan
sebuah realitas. Realitas itu ialah universalitas dan partikularitas yang
secara inheren hadir secara bersamaan dalam diri manusia. Kedua aspek ini merupakan
virtus (keutamaan) yang dianugerahkan oleh sang Khalik kepada manusia.
Dengan dimensi partikularitas, setiap pribadi, setiap kultur adalah unik dan
karena itu secara inheren~jadi bukan artifisial sebagaimana pandangan kaum
universalis~berbeda dengan yang lainnya. Sementara itu, dengan dimensi
universalitasnya, maka setiap individu, setiap kultur, bukan hanya berbeda~sebagaimana
ditonjolkan kaum komunitarian~tetapi juga punya titik-titik singgung dengan
yang lain, yang berbeda. Oleh karena itu pandangan kaum universalis maupun kaum
komunitarian merupakan suatu ideologi yang peyoratif, menyesatkan dan karena
itu mengalienasikan umat manusia.
Multikulturalisme
tidak saja mengalienasikan manusia dengan dirinya sendiri tetapi juga
mengalienasikan manusia dengan sesamanya. Sebab, baik kelompok universalis
maupun kelompok komunitarian, pada akhirnya terjebak ke dalam universalisme
palsu. Di satu sisi kaum universalis terjebak dalam universalitas yang
mekanistik. Universalitas yang mekanistik ini terjadi karena kultur global yang
diandaikannya merupakan kultur yang mau tidak mau harus diterima oleh manusia.
Berhadapan dengan kultur ini manusia tidak punya pilihan dan alternatif lain.
Manusia dipaksa menerima begitu saja kultur global ini dengan segala aspeknya:
kapitalisme liberal, pasar modal, teknologi, dan bahkan cara dan pandangan
hidupnya.[8]
Dengan demikian universalitas yang dicita-citakan kaum ini ialah universalitas
yang dipaksakan. Hal semacam menjadi jelas dari sikap kaum
universalis-adopsionis yang menganjurkan pada kelompok-kelompok budaya
minoritas untuk mengadopsi budaya mayoritas. Disamping itu, kultur Barat yang
begitu mendominasi kultur global, merupakan contoh konkrit dari adanya
universalitas yang mekanistik dan dipaksakan. Sebagai akibat dari universalitas
yang mekanistik dan dipaksakan itu ialah munculnya suatu relasi yang dominatif.
Dominasi yang kuat atas yang lemah, yang kaya atas yang miskin, Barat atas
Timur. Akibat lebih jauh dari pandangan kaum universalis ini ialah bahwa
kehidupan masyarakat post-nation-state adalah kehidupan tanpa
solidaritas.
Di sisi
lain kaum komunitarianis juga terjebak dalam universalitas perbedaan.
Sebagaimana telah diungkapkan kelompok ini begitu memutlakkan partikularitas.
Dengan pemutlakan seperti ini, komunitarianisme melahirkan suatu pandangan
bahwa segala yang berbeda itu ada demi untuk berbeda. Oleh karena itu, tepatlah
perkataan Sindhunata, bahwa “Perbedaan demi perbedaan itu akhirnya melahirkan
suatu individualisme masa. Artinya mereka ada tidak untuk saling berkomunikasi
dan saling memberi, tetapi untuk berbeda dengan yang lainnya. Dalam hal yang
terakhir itulah individu-individu yang merasa berbeda itu sesungguhnya adalah
sama”.[9]
Tanpa saling berkomunikasi, tanpa saling memberi, maka dunia yang dihasilkan
oleh kaum komunitarisnisme ini pada akhirnya tidak lebih baik dari dunia yang
akan dihasilkan oleh dunia kaum universalis. Dunia inipun sebuah dunia tanpa
solidaritas.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa masyarakat post-nation-state yang multikultural
ini, merupakan masyarakat yang senantiasa dihantui oleh keteralienasian diri,
hubungan yang dominatif dan masyarakat yang tanpa solidaritas.
Resiko
berikut yang harus ditanggung oleh manusia ialah risiko-risiko yang timbul
akibat ulah para pemain global (global-player). Para
pemain global sangatlah kompleks dan masing-masing dari mereka punya
kepentingan yang berbeda-beda. Sebagaimana yang dituntut oleh iklim
globalisasi, yaitu persaingan yang mengacu pada darwinisme sosial, para pemain
global ini juga terlibat dalam persaingan yang saling meniadakan. Sebagai
konsekuensi atas hal ini ialah tingkat ketegangan masyarakat semakin tinggi.
Jika negara sudah tidak lagi berdaya dan kehilangan pengaruhnya atas para
pemain global itu, siapa yang akan menjadi penengah atau pengendali dari iklim
persaingan yang kian hari kian meninggi itu ?
3. Demokrasi
Deliberatif: Sebuah solusi ?
Menjadi jelas bagi kita sekarang
bahwa sebagian persoalan yang mencuat dalam kehidupan masyarakat post-nation-state
ialah persoalan yang disebabkan oleh pandangan dan sikap yang diambil dalam
menghadapi fakta keanekaragaman atau dunia multikultural, serta masalah-masalah
yang muncul akibat hilangnya kedaulatan negara. Persoalannya sekarang ialah
bagaimana kita menjawab persoalan-persoalan ini ? adakah solusi yang bisa
menyembuhkan patologi masyarakat post-nation-state ini ? Untuk mencari
jawab akan persoalan ini, baiklah kita belajar pada Habermas, khususnya
konsepsinya tentang demokrasi deliberatif. Sebab demokrasi ini dikonstruksikan
oleh Habermas untuk mengembalikan kedaulatan negara yang telah tergerogiti dan
sekaligus untuk menjembatani ketegangan antara kaum universalis-liberal dan
kaum komunitarian. Oleh karena itu, adalah relevan untuk membicarakan demokrasi
deliberatif dalam konteks persoalan yang muncul dalam masyarakat post-nation-state.
Demokrasi deliberatif sesungguhnya
bukanlah sesuatu yang baru. Pada dasarnya, ia sama dengan demokrasi-demokrasi
yang lainnya. Sebab, demokrasi ini didasarkan pada pelbagai bentuk demokrasi
yang sudah ada dan persyaratan yang diandaikannyapun sama yaitu: hukum,
kebebasan, partai yang bersaing, pemilu secara berkala dlsb.[10]
Cuma, demokrasi deliberatif merupakan suatu upaya pemaksimalan
demokrasi-demokrasi konvensional serta bersifat lebih radikal oleh karena ia
ditempatkan dalam suatu kerangka politik yang universal yang melampaui
batas-batas politik negara nasional,[11]
politik yang terjadi dalam masyarakat post-nation-state.
Keradikalan dari demokrasi
deliberatif ini juga terlihat dari bagaimana negara dipahami. Negara dalam
wawasan yang traditional: sebagai satu-satunya pusat kekuasaan yang kepadanya
realitas-realitas yang lain~seperti individu, masyarakat, dan lembaga-lembaga
ekonomi (pasar)~harus tunduk, sudah tidak lagi relevan dalam konteks masyarakat
post-nation-state. Sebab sebagaimana telah diungkapkan, negara telah
kehilangan legitimitas (kedaulatan) dan kredibilitasnya. Atas dasar itu,
hakekat negara perlu dikonstruksikan kembali sehingga ia tetap relevan dalam
masyarakat post-nation-state.
Dalam demokrasi deliberatif, negara dipahami hanya sebagai salah satu
komponen dari sistem sosial yang berdiri sejajar dengan komponen sistemis
lainnya: ekonomi kapitalis (pasar).[12]
Dan keduanya, yaitu negara dan pasar, adalah subsistem-subsistem dari sistem
sosial yang merupakan reduksi atas kompleksitas tindakan-tindakan strategis
yang ada dan berakar di dalam masyarakat dan kebudayaan dalam pengertian yang
seluas luasnya yang disebut dengan lebenswelt (dunia kehidupan).
Sementara lebenswelt sendiri
terdiri atas tindakan-tindakan komunikatif yang merupakan elemen-elemen
solidaritas sosial.[13]
Atas dasar pemahaman yang seperti
itu, Habermas kemudian melihat negara, pasar dan masyarakat sebagai tritunggal.
Ketiganya berbeda, ketiganya mempunyai otonomi dan otoritas masing-masing.
Namun ketiganya adalah satu-kesatuan. Dan ketiganya saling membutuhkan.
Masyarakat membutuhkan negara untuk mengatasi berbagai pertikaian dan konflik
yang secara inheren terkandung dalam karakternya yang multikultural. Pasar juga
membutuhkan negara, sebab tanpa negara pasar tidak akan berkembang dan bisa
memunculkan aspek-aspek yang destruktif. Sementara, negara juga membutuhkan
masyarakat dan pasar, tanpa mereka negara tidak akan mampu untuk memainkan
perannya.
Masalahnya ialah dalam konteks post-nation-state,
negara telah kehilangan legitimasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya
di mata masyarakat dan dijadikan bulan-bulanan oleh pasar. Untuk mengatasi hal
ini, diperlukan sesuatu yang secara lagitimate mampu mengintegrasikan
negara, pasar dan masyarakat. Di manakah dan bagaimanakah sesuatu yang legitimate
itu bisa diperoleh ? Pertanyaan inilah yang menjadi persoalan utama dalam
demokrasi deliberatif.
Bagi Habermas, benteng terakhir
untuk mengembalikan legitimitas negara serta untuk mengintegrasikan negara dan
masyarakat disatu pihak dan negara dengan pasar dipihak lain adalah lewat suatu
hukum yang dibentuk lewat proses demokrasi yang deliberatif. Hanya melalui
demokrasi deliberatiflah hukum menjadi sesuatu yang legitim, sebab ia merupakan
produk dari tindakan-tindakan komunikatif yang secara inheren ada dalam lebenswelt.
Dalam demokrasi deliberatif,
hukum dibentuk lewat suatu proses diskursus yang terjadi di public sphere
(ruang publik). Public sphere ini
berada diantara political sphere dan private sphere, bersifat
informal, inklusif, ada kebebasan berbicara, berkumpul, partisipatif dan
mempunyai daya kritis. Ia terdiri atas organ-oragan penyedia informasi dan
perdebatan politis seperti surat
kabar dan jurnal, lembaga-lembaga diskusi politik, perkumpulan-perkumpulan
publik, rumah-rumah makan, warung-warung kopi, dan tempat-tempat publik lainnya
yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik. Dalam public sphere ini
masyarakat sipil (civil society) berkumpul untuk berdiskursus mengenai
berbagai persoalan kehidupan bersama.
Public sphere
merupakan suatu jaringan untuk mengkomunikasikan informasi dan berbagai
cara pandang yang berkaitan dengan berbagai persoalan yang ada di dalam
masyarakat.[14] Lewat
diskursus yang terjadi di dalam ruang publik, yang disebut public discourse (diskursus
publik), berbagai persoalan yang ada dimasyarakat diseleksi tingkat urgensinya,
dirumuskan, dicarikan beberapa alternatif pemecahannya, dan disodorkan kepada
negara sebagai bahan pertimbangan bagi pembuatan kebijakan dan hukum. Ruang
Publik juga menjadi tempat di mana keputusan-keputusan dan hukum-hukum yang
hendak diambil dan ditetapkan oleh otoritas politik terlebih dahulu dikaji dan
dikritisi oleh masyarakat. Tujuan akhir dari diskursus publik ini ialah
hukum-hukum dan berbagai kebijakan pemerintah semakin mendekati harapan pihak
yang diperintah. Dengan kata lain hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan yang
legitim. Perlu dicatat bahwa bagi Habermas, legitimitas hukum-hukum dan
kebijakan-kebijakan negara tidak terletak pada fakta bahwa ia didukung oleh
suara mayoritas, namun terletak pada apakah ia diperoleh secara fair dan
adil atau tidak. Agar bisa fair dan adil, ia harus didasarkan pada
alasan-alasan yang telah diuji dan dikritisi dalam diskursus yang terjadi di
ruang publik. Hanya hukum dan kebijakan publik yang diperoleh lewat cara inilah
yang legitim dan karenanya layak ditaati masyarakat.
Kecuali itu diskursus yang
terjadi dalam ruang publik juga menjadi alat di tangan masyarakat untuk mencari
norma-norma moral yang baru, norma-norma moral yang layak untuk dijadikan
pegangan bagi semua anggota masyarakat.[15]
Dalam kehidupan masyarakat post-nation-state, yang berciri multikultur,
diskursus ini penting mengingat, dalam masyarakat yang seperti ini, norma-norma
moral tradisional~yang biasanya bersifat komunitarian yang homogen~tidak
mungkin lagi diterapkan. Pun demikian dengan norma-norma moral yang pada
dirinya sendiri dianggap sebagai universal~seperti teori Hukum Kodratnya Thomas
Aquinas maupun Hukum Moralnya Kant yang sebagian besar mendasari sikap kaum
universalis~tidak bisa begitu saja diterapkan. Oleh karena yang
tradisional-komunitarian tidak lagi cocok, sementara yang dianggap universal
belum tentu universal, maka diperlukan suatu norma-norma moral yang baru yang
bisa menjembatani norma moral tradisional dan norma moral universal. Norma
moral ini juga harus berupa norma moral yang bisa mengikat semu kelompok yang
ada di dalam masyarakat.
Menurut Habermas, sebuah norma
moral hanya akan menjadi dan berlaku universal jika ia diuji dalam sebuah
diskursus publik di mana semua yang bersangkutan terlibat dan membahasnya. Yang
dicari dalam diskursus ini tidak terbatas pada norma moral mana yang sah dan
karena itu universal namun juga mencari berbagai dampak yang diperkirakan
muncul dan menghambat kepuasan setiap yang terlibat ketika norma-norma moral
itu disetujui dan dipraktikkan bersama. Setiap peserta juga wajib mengikuti
ketentuan-ketentuan dalam berdiskursus (etika berdiskursus). Pertama, diskursus
ini dilakukan dengan bebas dan tanpa paksaan. Kedua, setiap peserta
datang dengan tanpa pamrih. Satu-satunya pamrih yang adalah mencari apa yang
secara objektif baik bagi semua dan bukan mencari apa yang baik bagi diri
sendiri atau kelompoknya. Ketiga, Para
peserta datang dengan kesediaan untuk belajar, saling memahami, saling
menerima, dan saling memberi kritik. Jadi peserta kursus tidak datang dengan
pandangan yang sudah tidak bisa diganggu gugat. Keempat, Konsensus yang
telah dicapai harus dipraktekkan dalam kehidupan masing-masing.
Lewat diskursus yang seperti itu,
norma-norma moral yang dihasilkan merupakan suatu konsensus yang otentik.
Sebuah norma-norma moral universal dalam arti sebuah konsensus, yang bertumpu
pada nilai-nilai partikular masing-masing yang terlibat. Oleh karena proses
pembentukannya bebas dari dominasi, maka konsensus yang dihasilkanpun merupakan
konsensus yang bebas dari dominasi. Tidak ada yang kuat dan lemah, tidak ada
yang menang atau kalah dalam diskursus maupun konsensus yang dihasilkan.
Dengan demikian diskursus
merupakan sarana integrasi masyarakat. Lewat diskursus ini, perbedaan-perbedaan
diatasi namun bukan ditiadakan. Perbedaan-perbedaan ditransendensikan, guna
mencari titik-titik temu yang berguna bagi kehidupan bersama bagi masyarakat
yang multikultur. Pada titik ini, diskursus menjadi sarana dimana solidaritas
sosial dibangun. Bagi Habermas, solidaritas tidak secara intrinsik ada di dalam
masyarakat yang multikultural. Dalam masyarakat yang multikultur solidaritas
merupakan sesuatu yang harus dicari, ditemukan dan dibangun bersama.
Lebih jauh, Habermas juga
menyatakan bahwa solidaritas yang muncul dari suatu proses diskursus ini bukan
hanya mampu mengintegrasikan masyarakat yang ada dalam sebuah nation-state. Ia juga bisa diperkembangkan menjadi suatu
solidaritas yang seluas dunia jika masing-masing nation-state mampu mengubah kesadaran warganya bahwa
mereka juga anggota suatu masyarakat yang tidak dibatasi oleh batas-batas nation-state,
yang tanpa alternatif diundang untuk bekerjasama dan memperhatikan kepentingan
satu sama lain.[16] Jika
solidaritas seluas dunia ini terwujud, maka kekhawatiran terhadap kecenderungan
para global-player untuk
menerapkan prinsip-prinsip Darwinisme Sosial tak perlu dirisaukan.
Di samping menjadi sarana
integrasi dan pengembangan solidaritas di antara masyarakat yang multikultur,
produk lain yang dihasilkan oleh diskursus
yaitu hukum juga merupakan piranti yang amat penting bagi masyarakat,
negara dan pasar. Sebagaimana telah disebutkan, ketiga entitas adalah entitas
yang otonom dan mandiri. Meskipun ketiga entitas itu bersifat tritunggal, namun
dalam masyarakat post-nation-state diantara ketiganya terlibat
pertikaian yang mendalam. Yang satu ingin menghancurkan yang lain.
Dalam masyarakat yang post-nation-state
itu, hukum merupakan alat yang dibutuhkan untuk mengintegrasikan masyarakat dan
negara disatu pihak serta negara dan pasar dipihak lain. Sebab disamping
berdiri diatas negara dan masyarakat, hukum juga berdiri di atas negara dan
pasar. Sebagaimana telah disebutkan, hukum dan pasar merupakan dua subsistem
dari sistem sosial yang ada dan berakar dalam lebenswelt yang adalah
produsen hukum. Dan karena itu, negara
dan pasar diintegrasikan oleh hukum. Bukan itu saja, hukum yang legitim ini bisa
menggantikan peran negara tradisional, yaitu sebagai kekuatan politik tertinggi
untuk mengendalikan pasar sehingga ia tidak menampakkan aspek-aspek
destruktifnya.[17]
Sampai di sini menjadi jelas apa
yang ditawarkan oleh Habermas dalam mencoba mengatasi berbagai
persoalan-persoalan yang terjadi di era post-nation-state. Bagi
Habermas, persoalan-persoalan itu hanya bisa diatasi lewat mengembangkan suatu
kehidupan berdemokrasi yang deliberatif.
Pencarian
Habermas akan suatu kehidupan berdemokrasi yang deliberatif, kehidupan yang
sesuai dengan kehidupan masyarakat post-nation-state, betapun baiknya, bukanlah
tanpa menuai kritik. Pun demikian halnya dengan demokrasi deliberatif yang
dikonstruksikan oleh Habermas. Menurut B. Hari Juliawan,[18] salah satu
kelemahan mendasar, kelemahan yang menyembunyikan realitas, ialah bahwa
konstruksi Habermas mengenai solidaritas yang dibentuk dalam diskursus diruang
publik merupakan suatu solidaritas tanpa intimitas. Solidaritas yang tanpa
intimitas ini terjadi oleh karena ruang publik yang menjadi tempat dibentuknya
solidaritas itu bersifat plural dan tidak memiliki keakraban yang mendalam.
Dalam ruang publik ini, setiap individu, berbicara pada orang lain sebagai,
kurang lebih, orang asing. Keasingan ini bukan karena mereka belum pernah
ketemu, namun karena mereka tidak terikat oleh jalinan pemahaman bersama yang
kental atau oleh relasi-relasi bersama. Jalinan pemahaman bersama atau
relasi-relasi sosial ini harus mereka bentuk dan tidak ada dengan sendirinya.
Padahal tingkat keakraban yang mendalam hanya akan terjadi apabila jalinan
pemahaman bersama itu telah ada dan ini hanya ada dalam kelompok-kelompok
masyarakat yang nilai-nilai sosialnya bersikap homogen. Tiadanya tingkat keakraban yang mendalam di
ruang publik ini juga diakui sendiri oleh Habermas. Sadar akan hal ini Habermas kemudian menegaskan
bahwa masyarakat kompleks tidak mungkin disatukan oleh suatu konsensus
substantif mengenai nilai-nilai namun hanya melalui konsensus prosedur untuk
pemberlakuan hukum dan praktik kekuasaan yang legitim.[19] Akibatnya
gagasan Habermas mengenai solidaritas yang mampu mengintegrasikan masyarakat
yang luas, solidaritas yang tanpa intimitas, dipandang sebagai utopia yang
tidak perlu diharapkan terlalu banyak. Sebab jika terlalu banyak berharap
kepadanya, resiko untuk menanggung kekecewaaan terlalu besar.[20]
Menurut
hemat kami, solidaritas yang intim tidak hanya dibangun dari nilai-nilai sosial
yang sudah ada dan menjadi bagian kehidupan manusia atau masyarakat.
Solidaritas yang intim juga bisa dibangun lewat jalur lain yaitu lewat apa yang
disebut suatu keprihatinan bersama. Lewat sebuah keprihatinan bersama,
orang-orang yang memiliki nilai-nilai sosial yang berbeda bisa membangun sebuah
solidaritas yang intim. Dalam kehidupan bersama, keprihatinan bersama ini
biasanya muncul dari dimensi universalitas yang secara inheren ada dalam diri
setiap manusia maupun kelompok. Jika dikelola dengan baik maka tidak mustahil
sebuah solidaritas yang intim, solidaritas yang didasarkan pada konsensus
substantif dari suatu nilai-nilai akan terwujud. Tentu pengelolaan akan dimensi
universalitas ini tidak bisa dilakukan dengan mengabaikan dimensi
partikularitas yang ada dalam diri setiap manusia dan kelompok. Sebab, jika ini
yang dilakukan maka solidaritas yang dibentuk justru sebuah solidaritas yang
semu, solidaritas yang menindas.
Masih
terkait dengan solidaritas, harapan Habermas untuk memperluas solidaritas
sampai seluas dunia, merupakan suatu harapan yang terlalu tinggi. Harapan
tersebut amat sulit untuk direalisasikan. Apalagi seluas dunia seluas negarapun
harapan tersebut belum tentu terwujud.
Persoalan
lain yang muncul dari gagasan Habermas ialah harapannya yang terlalu tinggi
terhadap hukum yang dihasilkan lewat demokrasi deliberatif. Sebagaimana yang
telah dikemukakan, bagi Habermas hukum merupakan benteng terakhir bagi
integrasi sosial. Dengan kata lain, hukum menjadi kerangka acuan bagi manusia
dalam relasinya dengan yang lain, entah itu sesama maupun negara. Habermas
memang sadar bahwa hukum tidak selamanya bisa dijadikan sebagai kerangka acuan,
sebab sejarah telah membuktikan bahwa hukum seringkali mengalami distorsi.
Hukum seringkali disalah gunakan. Hukum dipakai sebagai sarana untuk
melegalisasikan berbagai tindak dehumanisasi. Sadar akan hal ini maka hukum
juga perlu dikontrol dan senantiasa diperbaharui lewat suatu diskursus publik.
Mekanisme kontrol dan pembaharuan ini akan menjamin hukum dari karat distorsi.
Disinilah
persoalan muncul. Dalam diskursus untuk mengontrol dan memperbaharui hukum, Habermas
mengandaikan bahwa semua pihak yang terlibat adalah peserta-peserta yang bebas,
tanpa paksaan dan tekanan. Mungkin! hal semacam tepat untuk jargon-jargon
akademis. Tetapi dalam realitas konkret, realitas keseharian, di mana ruang
publik yang menjadi tempat diskursus mendapat locus-nya, pengandaian seperti itu amat sulit terjadi. Apalagi
terjadi, dibayangkan saja tidak bisa. Bagaimana mungkin didunia yang
benar-benar tidak adil, dalam dunia yang memang benar-benar tidak seimbang,
terjadi suatu diskursus yang seimbang ? diskursus yang bebas, tanpa paksaan dan
tekanan ?
Mengharapkan
terjadinya suatu diskursus yang seimbang ditengah-tengah dunia yang tidak
seimbang, dapat diibaratkan sebagai pungguk yang merindukan bulan. Oleh karena
itu sistem yang telah dikonstruksikan Habermas untuk mengatasi berbagai problem
yang ada dalam dunia post-nation-state sesungguhnya
merupakan suatu sistem yang amat baik, namun untuk bisa mewujudkan tujuannya
bukan hal yang mudah, malah bisa jadi tidak mungkin.
Mengubah
sesuatu yang tidak mungkin menjadi sesuatu yang sedikit lebih mungkin inilah
yang seharusnya menjadi peran gereja dalam masyarakat post-nation-state ini.
4.
Penutup
: Teologi Sosial, Teologi yang berpihak pada Korban.
Terlepas
dari kelemahan-kelemahan yang ada, usaha Habermas patut dihargai. Bagaimanapun
Habermas telah mencoba untuk menyelamatkan kehidupan modern dengan globalisasi
dan masyarakat Post-nation-state-nya.
Habermas telah mencoba membangun sebuah sistem kehidupan dimana manusia bisa
berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah guna mengatasi berbagai persoalan
yang mengancam hidup dan dunianya. Apa yang telah diupayakan oleh Habermas ini
tentu patut untuk diapresiasi dalam kehidupan konkret oleh siapa saja yang
prihatin dengan kehidupan saat ini. Pun tidak terkecuali gereja, jika ia ingin
tetap menjadi ‘garam dan terang’ dunia.
Tanpa gereja sedia untuk prihatin dengan dunia dan tanpa gereja bersedia
belajar pada orang-orang yang telah memikirkan sesuatu tentang gereja,
keinginan untuk menjadi ‘garam dan terang’ dunia tinggal keinginan saja.
Persoalannya ialah bagaimana gereja bisa mewujudkan keinginannya itu ? atau
secara lebih spesifik: bagaimana gereja-gereja di Indonesia bisa berperan dalam
masyarakat post-nation state ?
Jika
gereja ingin ambil peranan dalam masyarakat post-nation-state
mau tidak mau gereja perlu untuk mengarahkan keprihatinannya pada dunia. Oleh
karena itu Gereja perlu mengembangkan apa yang disebut teologi sosial yaitu
suatu bentuk teologi yang mencoba merumuskan dan memberi arah bagi praksis
keterlibatan gereja di dalam dunia. Teologi semacam ini menjadikan dunia dan
segala persoalannya sebagai locus
teologi.
Dengan
menempatkan dunia sebagai locus teologinya,
maka teologi sosial adalah teologi yang bersifat politis, dalam arti ia adalah
teologi yang berpihak. Adalah omong kosong jika teologi mengembangkan sebuah
teologi sosial, dan juga teologi-teologi yang lainnya, secara apolitis.
Berpihak
kepada siapa ? pada diri sendiri ? tentu tidak. Jika gereja berpihak pada
dirinya sendiri, maka ia bukan Gereja. Berpihak pada Tuhan ? tentu ! Namun yang
terpenting dalam teologi sosial yang politis ialah berpihak kepada para korban.
Teologi sosial, pertama-tama perlu mengingat penderitaan mereka-mereka yang
menjadi korban ‘darwinisme sosial’ para pemain global. Hanya dengan mengingat
nasib korban inilah gereja bisa andil dalam mengubah sesuatu yang tidak mungkin
menjadi sesuatu yang sedikit lebih mungkin.
Dengan
mengingat penderitaan para korban, sebagaimana diungkapkan oleh J.B. Metz
tersembunyi suatu kekuatan yang kritis dan membebaskan. Ingatan akan
penderitaan para korban akan memampukan melihat kehidupan ini sebagai kehidupan
mereka-mereka yang kalah. Ingatan akan penderitaan akan memampukan Gereja untuk solider kepada mereka-mereka yang tidak
mungkin untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam diskursus publik
yang digagas oleh Habermas. Gereja akan dimampukan untuk menyuarakan suara
korban dalam dunia post-nation-state yang
dicirikan dengan darwinisme sosialnya. Malah ingatan akan penderitaan ini akan
menjadi kekuatan tandingan bagi iklim masyarakat post nation-state yang tidak
berpihak pada yang lemah.
Dengan
berpihak pada yang lemah, maka dalam diskursus publik yang di gagas Habermas,
gereja memberi penguatan pada yang lemah bahwa mereka tidak berjuang sendirian.
Ada orang lain
disampingnya. Dengan ini, orang-orang yang lemah, orang-orang yang oleh sistem
kehidupan post-nation-state amat
sulit untuk bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam suatu diskursus publik mempunyai kekuatan
tambahan guna meraih posisi yang setara dengan mereka-mereka yang kuat.
Daftar Pustaka
Gidden,
Anthony, Runaway World: Bagaimana
Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta:
Gramedia, 2001.
Hardiman,
F. Budi: ‘Menyimak Filsafat Politik Habermas Demokrasi Deliberatif: Model Untuk
Indonesia
Pasca Suharto ? dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi
75 Tahun Jurgen Habermas
Juliawan,
B. Hari, ‘Ruang Publik Habermas: Solidaritas Tanpa Intimitas’, dalam
BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen
Habermas
Juliawan,
B. Hari, ‘Keretaku Tak Berhenti Lama’, dalam BASIS Nomor 05-06 Tahun ke-53
Mei-Juni 2004 Edisi Globalisasi: Peluang
Dan Hukuman
Kieser,
B., ‘Teologi Moral dalam Dialog dengan Habermas: Mengapa ?’ dalam Budi Susanto, Teologi & Praksis
Komunitas Postmodern (Yogjakarta: Kanisius, 1994)
Kieser,
B., ‘Agama Bubar Jika Tidak Bercampur Nalar: Being Religius a la Habermas’,
dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun
Jurgen Habermas
Lan, Ju Fu, ‘Agama-Agama dan Globalisasi’ dalam BASIS
No. 01-02 Tahun Ke-52, Januari-Februari 2005, Edisi Dilema Globalisasi,
Latif, Yudi, Melampaui
Kosmopolitanisme Politik, dalam http://www.duniaesei.com
Purnomo,
Aloys Budi., Salib dab Teologi Politik, dalam
Koran Harian Kompas, tanggal 28 Maret 2002
Reza,
Antonius, ‘Frans Magnis Suseno vs Jürgen
Habermas’ dalam BASIS no. 05-06 tahun ke-55 Mei-Juni 2006, Edisi 70 Tahun
Frans Magnis Suseno
Sindhunata,
‘Dilema Globalisasi’ dalam BASIS No.
01-02 Tahun Ke-52, Januari-Februari 2005, Edisi Dilema Globalisasi,
Sindhunata, ‘Memoria Passionis’ Walter Benjamin Dan
Teologi Politik’, dalam Budi Susanto, Teologi & Praksis Komunitas
Postmodern (Yogjakarta: Kanisius, 1994)
Sudiarja, ‘Tanpa Kemampuan Komunikatif, Masyarakat
Hancur’ dalam dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53
November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas
Sunarko,
Dr. A. OFM, “Yang Politik: Ruang Publik dan Sistem Politik Menurut Jürgen
Habermas”, dalam Einar M. Sitompul, Teologi-Politik
Agama-Agama Dan Kekerasan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006)
Suseno,
F. Magnis, ‘75 Tahun Jürgen
Habermas’ dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi
75 Tahun Jurgen Habermas,
Sutrisno,
Mudji, Ingatan dan Lupa-Lupa Kita, dalam
Koran Harian Kompas, tanggal 23 April 2002
Sutanto,
Trisno. S., ‘Conversio Ad Passionem Catatan-Catatan
Seputar Teologi Politis’ dalam Einar M. Sitompul, Teologi-Politik Agama-Agama Dan Kekerasan (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006)
Wibowo,
I., Globalisasi, Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, dalam Koran
Harian Kompas, tanggal 3 Mei 2002
Wibowo,
I., Globalisasi, dan Kapitalisme Global, dalam Koran Harian Kompas,
tanggal 27 April 2002
[1]
Anthony Gidden, Runaway World: Bagaimana
Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta:
Gramedia, 2001.
[2]
Sindhunata, ‘Dilema Globalisasi’ dalam
BASIS No. 01-02 Tahun Ke-52, Januari-Februari 2005, Edisi Dilema
Globalisasi, hlm. 6
[3]Bdk.
B. Hari Juliawan, ‘Ruang Publik Habermas: Solidaritas Tanpa Intimitas’, dalam
BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen
Habermas, hlm. 35
[4]
Sindhunata, Op. Cit. hlm. 9
[5]
Sindhunata Op.Cit, hlm. 6
[6]
I. Wibowo, Globalisasi, Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, dalam
Koran Harian Kompas, tanggal 3 Mei 2002
[7]
Sindhunata Op.Cit. hlm. 12,
[9]
Ibid. hlm. 17
[10]
Dr. A. Sunarko, OFM, “Yang Politik: Ruang Publik dan Sistem Politik Menurut
Jürgen Habermas”, dalam Einar M. Sitompul, Teologi-Politik
Agama-Agama Dan Kekerasan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006) hlm. 139
[12]F.
Budi Hardiman, ‘Menyimak Filsafat Politik Habermas Demokrasi Deliberatif: Model
Untuk Indonesia
Pasca Suharto ? dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi
75 Tahun Jurgen Habermas, hlm. 35
[13]
Ibid.
[14]
B. Harry Juliawan, Op. Cit. hlm. 33
[15]
F. Magnis Suseno, ‘75 Tahun Jürgen
Habermas’ dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi
75 Tahun Jurgen Habermas, hlm. 35
[16]
Sindhunata, Op. Cit, hlm. 13
[17]
F. Budi Hardiman, Op.Cit. 18
[18]B.
Hari Juliawan, Op.cit. 38
[19]
Ibid hlm. 39
[20]
Ibid hlm. 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar