Selasa, 19 November 2013

Masyarakat Post-Nation-State Dan Demokrasi Deliberatif Suatu Usaha Berteologi Sosial Dalam Konteks Masyarakat Post-Nation-State

Masyarakat Post-Nation-State  Dan Demokrasi Deliberatif

Suatu Usaha Berteologi Sosial Dalam Konteks Masyarakat Post-Nation-State

Oleh: Chlaodhius Budhianto

1.    Pendahuluan

Dewasa ini, tiada kata yang paling sering diucapkan kecuali Globalisasi. Hampir setiap hari ia menghiasi mass media, baik itu cetak maupun elektronik. Ia juga menjadi buah bibir banyak orang, mulai dari pejabat sampai pedagang kecil di pasar-pasar tradisional. Namun demikian, bukan berarti kalau istilah ini jelas dengan sendirinya.
Sebagai sebuah istilah yang merujuk pada sebuah realitas, globalisasi merupakan istilah yang maknanya masih diperdebatkan banyak pihak. Menurut Giddens, ada dua kelompok yang terlibat dalam perdebatan tersebut.[1] Pertama kelompok skeptis, kelompok ini memandang globalisasi dan realitas yang ditunjuknya sebagai omong kosong, ia hanya mitos. Bagi mereka apa yang terjadi sekarang ini sesungguhnya hanya melanjutkan hal-hal yang telah terjadi di masa lalu. Misalnya, sejak zaman Romawi telah ada kontak antara bangsa Roma dan Cina, pada abad ke 14 Christopherus Columbus dan Vasco de Gama telah melanglangbuana dan berkontak dengan bangsa-bangsa lain; lalu disusul oleh gelombang kolonialisme. Kedua kelompok radikal atau hiperglobalis, mereka melihat globalisasi adalah riil. Ia ada dalam beberapa dekade ini dan telah mengubah dunia secara total dan radikal. Sebenarnya, diantara kedua kelompok tersebut, ada kelompok ketiga yang turut meramaikan perdebatan. Kelompok ini yang merupakan poros tengah mengakui bahwa globalisasi memang telah terjadi di waktu lampau, namun globalisasi yang terjadi pada masa ini tak bisa dibandingkan dengan globalisasi yang terjadi di masa lalu. Perbedaan itu tidak terlepas dari keluasan, kekuatan, kecepatan, dan dampak yang ditimbulkannya.
Terlepas dari perdebatan mengenai kapan globalisasi dimulai, namun yang jelas globalisasi merupakan realitas yang benar-benar terjadi saat ini. Ia datang dan melibas apa saja yang mencoba menghadangnya. Tidak terkecuali Nation-state. Di hadapan globalisasi, nasib nation-state tidak jauh berbeda dengan nasib agama ketika berhadapan dengan sekulerisasi. Sebagaimana sekuleriasi telah menelanjangi kekuasaan agama atas diri manusia, pun demikian dengan nasib nation-state. Oleh Globalisasi nation-state telah digerogoti sedemikian rupa sehingga ia kehilangan monopolinya dalam membentuk dan menentukan kehidupan setiap warganya. Tidak puas menggerogoti, globalisasi juga memaksa nation-state untuk mentransformasikan dirinya dalam apa yang disebut dengan post-nation-state.
Tulisan ini bermaksud mengkaji fenomena post-nation-state dan mencoba melihat berbagai kemungkinan yang bisa dimainkan agama, khususnya gereja dalam post-nation-state.

2.    Masyarakat Post-Nation-State: Masyarakat Yang High-Risk
Selama berabad-abad, nation-state selalu dipahami dalam batas-batas teritorial. Nation-state baik dalam pengertian tradisional maupun modern selalu menyertakan dimensi teritorial sebagai komponen utamanya. Teritorial telah dijadikan sebagai frame of reference untuk memahami apa itu nation-state. Dimensi ini juga telah membentuk kedirian seorang warga negara dari suatu nation-state tertentu. Hidup manusia, aktifitasnya, kesosialannya, serta identitasnya, terbentuk dalam batas-batas teritorial.
Di era globalisasi batas-batas teritorial itu telah dinafikan. Lewat ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi yang berkembang begitu pesatnya, batas-batas teritorial mengalami deteritorialisasi.[2] Duniapun berubah. Batas-batas ke-nation-state-an tidak mampu menahan arus pergaulan antar bangsa. Orang dari berbagai suku, ras, etnis, agama dan kebangsaan, dapat dengan mudah bergaul dan berinteraksi. Berbagai peristiwa yang terjadi dibelahan bumi yang terpisah jauh dengan mudah dan cepat menyebar dan mempengaruhi orang atau peristiwa di tempat yang lain. Deteritorialisasi menjadikan dunia seperti sebuah perkampungan kecil yang dihuni oleh suatu masyarakat kosmopolitan global.
Masyarakat kosmopolitan global merupakan masyarakat post-nation-state. Masyarakat ini tidak terikat oleh batas-batas teritorial suatu nation-state. Satu-satunya batas teritorial ialah dunia itu sendiri. Keanggotaan masyarakat ini juga kompleks: lintas nation-state dan multikultural. 
Multikultural sebagai karakter dari masyarakat post-nation-state, merupakan sesuatu yang amat sulit didefinisikan. Memang secara normatif ia dapat didefinisikan sebagai fakta keanekaragaman. Berhadapan dengan fakta keanekaragaman ini orang lantas mengambil sikap-sikap tertentu, yang disebut multikulturalisme. Pada tahap awal, banyak orang masih sepakat untuk mengambil sikap yang sama yaitu mengakui fakta keanekaragaman. Namun selepas pengakuan, banyak orang mulai tidak sepakat. Sebab, fakta multikultural ini tidak cukup hanya diakui. Pengakuan itu perlu diwujudnyatakan dalam tindakan konkret. Ketika fakta keanekaragaman menuntut tidak hanya sikap, namun juga tindakan konkret inilah orang mulai tidak sepakat.
Paling tidak ada ada dua sikap dalam memperlakukan fakta keanekaragaman. Kelompok pertama ialah kelompok universalis-liberal.[3] Kelompok ini mengambil sikap asimilasi. Menurut kelompok universalis ini, segala perbedaan yang ada dalam keanekaragaman itu, sesungguhnya hanyalah kulit luarnya saja. Oleh karena itu masing-masing kelompok hendaknya saling menyesuaikan diri, sehingga universalitas yang menjadi essensi keberadaan mereka bisa nampak dan berjalin kelin satu dengan yang lainnya sehingga terciptalah sebuah kultur yang universal yaitu kultur global. Kultur global merupakan suatu horizon pengalaman dan horison tentang pandangan dunia dan nilai yang khas, otonom dan sekaligus menyatukan.[4] Ia menjadi basis identitas masyarakat post-nation-state. Identitas bersama yang membuat masyarakat Post-nation-state sebagai satu keluarga dunia. Karena itu tujuan akhir dari kelompok ini ialah mentransformasikan multikulturalitas menjadi monokultural. Kelompok universalis merupakan kelompok yang amat dominan dalam masyarakat post-nation-state.
Kelompok kedua adalah kaum komunitarian. Kelompok ini bersikap eksklusif. Bagi kelompok ini setiap individu atau kelompok bangsa mempunyai adat kebiasaan, cita-cita dan nilai-nilai hidup yang berbeda dan tak mungkin disatukan. Oleh karena itu kaum komunitarian menuntut supaya keanekaragaman budaya diberi ruang yang sebebas-bebasnya untuk mempraktekkan dan mewujudkan cita-cita hidupnya. Berbeda dengan kaum universalis yang ingin menjadikan berbagai keanekaragaman yang ada di bumi ini sebagai satu keluarga besar, kaum komunitarian ingin menciptakan suatu masyarakat yang terkotak-kotak, yang terpisah satu dengan yang lainnya. Dalam masyarakat post-nation-state, kelompok komunitarian sesungguhnya merupakan kelompok yang marginal.
Adanya dua bentuk sikap dalam menyikapi multikulturalisme ini pada gilirannya menjadikan masyarakat post-nation-state ini senantiasa berada dalam ketegangan. Ketegangan ini amat sulit untuk dijembatani, sebab kedua sikap yang bertolak belakang itu sama-sama memutlakkan pendapat mereka. Yang satu memutlakkan universalitas, yang lainnya memutlakkan partikularitas.
Selain multikulturalisme yang bersifat paradoks tersebut, masyarakat post-natio-state juga dikarakterkan sebagai hilangnya kedaulatan negara. Hilangnya kedaulatan negara ini tidak terlepas dari proses deteritorialisasi. Jika pada dulu negara selalu dipahami sebagai suatu kesatuan yang kesatuannya ditentukan oleh batas-batas teritorial, maka dengan terdeteritorialisasikannya batas-batas georgrafis, kesatuan negara kini ditentukan oleh keterjaringannya dengan negara-negara lain diseluruh dunia.[5] Akibatnya negara tidak lagi  otonom. Segala apa yang dilakukannya akan berdampak pada negara-negara lain dan sekaligus ditentukan oleh mereka. Jika negara-negara di dunia menginginkan demokrasi, perdagangan bebas atau yang lainnya, maka sebuah negara tidak bisa menolaknya. 
Ketidakotonomian negara ini semakin diperparah oleh perusahaan-perusahaan multinasional.[6] Perusahaan-perusahaan inilah yang seringkali mengatur kebijakan-kebijakan suatu negara. Dengan dalih investasi, mereka menuntut supaya negara membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka. Jika tidak negara itu akan ditinggalkan. Dengan ancaman seperti ini tidak sedikit negara, khususnya negara dunia ketiga, yang tunduk dan mengabdi pada korporasi-korporasi international. Dengan dalih menarik para investor, para negara banyak yang tidak menghiraukan nasib rakyatnya. Akibat dari kelakuan negara yang seperti ini, negara kehilangan kredibilitasnya dihadapan warga negara. Kasus penggulingan rezim Orde Baru tahun 1998 merupakan contoh konkret di mana kedaulatan sebuah negara telah dipermainkan oleh korporasi-korporasi multinasional dan kredibilitas pemimpin negara hilang.
Hilangnya kredibilitas negara mau-tidak mau memaksa negara untuk kehilangan peran dalam kehidupan post-nation-state. Dalam masyarakat post-nation-state ini, politik negara tidak bermain, tidak ada parlemen dan tidak ada pemerintahan dunia. Namun demikian tidak berarti kalau masyarakat post-nation-state ini adalah masyarakat yang a-politis. Justru sebaliknya, masyarakat ini adalah masyarakat yang high-politikcs.  Sebab di masyarakat post-nation-state ini terdapat ‘global players’ yang pada dirinya sendiri a-politis namun dalam tindakan-tindakan mereka sangatlah politis, sebab mereka juga turut membentuk gaya hidup, norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dunia.[7] Dan karena itu para ‘global players’ bisa menjadi pusat orientasi bagi loyalitas manusia. Kecuali itu para ‘global players’ juga punya kemampuan untuk mendesakkan pengaruhnya ke dalam kebijakan-kebijakan publik suatu negara. Para pemain global ini terdiri atas gereja atau organisasi keagamaan yang lainnya, organisasi nonpemerintah dan para pelaku ekonomi, seperti telah disebutkan, perusahaan-perusahaan multinasional,  IMF, dll.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa masyarakat post-nation-state merupakan masyarakat yang trans-national, multikultural yang paradoks, tidak tunduk pada negara national namun highs-politics. Masyarakat yang seperti ini sesungguhnya merupakan masyarakat yang high-risk, masyarakat yang beresiko tinggi.
Resiko tinggi yang ada dalam masyarakat post-nation-state ini pertama-tama muncul dari karakter multikultural yang paradoks. Resiko yang dimunculkan oleh karakter ini tidak semata-mata dipicu oleh ketegangan bahkan konflik yang ada diantara dua kelompok yang memahami multikulturalisme secara berbeda. Resiko itu muncul oleh karena kedua belah pihak yang saling beroposisi itu sesungguhnya bersifat ideologis. Kedua kelompok ini sama-sama menyembunyikan sebuah realitas. Realitas itu ialah universalitas dan partikularitas yang secara inheren hadir secara bersamaan dalam diri manusia. Kedua aspek ini merupakan virtus (keutamaan) yang dianugerahkan oleh sang Khalik kepada manusia. Dengan dimensi partikularitas, setiap pribadi, setiap kultur adalah unik dan karena itu secara inheren~jadi bukan artifisial sebagaimana pandangan kaum universalis~berbeda dengan yang lainnya. Sementara itu, dengan dimensi universalitasnya, maka setiap individu, setiap kultur, bukan hanya berbeda~sebagaimana ditonjolkan kaum komunitarian~tetapi juga punya titik-titik singgung dengan yang lain, yang berbeda. Oleh karena itu pandangan kaum universalis maupun kaum komunitarian merupakan suatu ideologi yang peyoratif, menyesatkan dan karena itu mengalienasikan umat manusia. 
Multikulturalisme tidak saja mengalienasikan manusia dengan dirinya sendiri tetapi juga mengalienasikan manusia dengan sesamanya. Sebab, baik kelompok universalis maupun kelompok komunitarian, pada akhirnya terjebak ke dalam universalisme palsu. Di satu sisi kaum universalis terjebak dalam universalitas yang mekanistik. Universalitas yang mekanistik ini terjadi karena kultur global yang diandaikannya merupakan kultur yang mau tidak mau harus diterima oleh manusia. Berhadapan dengan kultur ini manusia tidak punya pilihan dan alternatif lain. Manusia dipaksa menerima begitu saja kultur global ini dengan segala aspeknya: kapitalisme liberal, pasar modal, teknologi, dan bahkan cara dan pandangan hidupnya.[8] Dengan demikian universalitas yang dicita-citakan kaum ini ialah universalitas yang dipaksakan. Hal semacam menjadi jelas dari sikap kaum universalis-adopsionis yang menganjurkan pada kelompok-kelompok budaya minoritas untuk mengadopsi budaya mayoritas. Disamping itu, kultur Barat yang begitu mendominasi kultur global, merupakan contoh konkrit dari adanya universalitas yang mekanistik dan dipaksakan. Sebagai akibat dari universalitas yang mekanistik dan dipaksakan itu ialah munculnya suatu relasi yang dominatif. Dominasi yang kuat atas yang lemah, yang kaya atas yang miskin, Barat atas Timur. Akibat lebih jauh dari pandangan kaum universalis ini ialah bahwa kehidupan masyarakat post-nation-state adalah kehidupan tanpa solidaritas.
Di sisi lain kaum komunitarianis juga terjebak dalam universalitas perbedaan. Sebagaimana telah diungkapkan kelompok ini begitu memutlakkan partikularitas. Dengan pemutlakan seperti ini, komunitarianisme melahirkan suatu pandangan bahwa segala yang berbeda itu ada demi untuk berbeda. Oleh karena itu, tepatlah perkataan Sindhunata, bahwa “Perbedaan demi perbedaan itu akhirnya melahirkan suatu individualisme masa. Artinya mereka ada tidak untuk saling berkomunikasi dan saling memberi, tetapi untuk berbeda dengan yang lainnya. Dalam hal yang terakhir itulah individu-individu yang merasa berbeda itu sesungguhnya adalah sama”.[9] Tanpa saling berkomunikasi, tanpa saling memberi, maka dunia yang dihasilkan oleh kaum komunitarisnisme ini pada akhirnya tidak lebih baik dari dunia yang akan dihasilkan oleh dunia kaum universalis. Dunia inipun sebuah dunia tanpa solidaritas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat post-nation-state yang multikultural ini, merupakan masyarakat yang senantiasa dihantui oleh keteralienasian diri, hubungan yang dominatif dan masyarakat yang tanpa solidaritas.
Resiko berikut yang harus ditanggung oleh manusia ialah risiko-risiko yang timbul akibat ulah para pemain global (global-player). Para pemain global sangatlah kompleks dan masing-masing dari mereka punya kepentingan yang berbeda-beda. Sebagaimana yang dituntut oleh iklim globalisasi, yaitu persaingan yang mengacu pada darwinisme sosial, para pemain global ini juga terlibat dalam persaingan yang saling meniadakan. Sebagai konsekuensi atas hal ini ialah tingkat ketegangan masyarakat semakin tinggi. Jika negara sudah tidak lagi berdaya dan kehilangan pengaruhnya atas para pemain global itu, siapa yang akan menjadi penengah atau pengendali dari iklim persaingan yang kian hari kian meninggi itu ? 

3.    Demokrasi Deliberatif: Sebuah solusi ?
Menjadi jelas bagi kita sekarang bahwa sebagian persoalan yang mencuat dalam kehidupan masyarakat post-nation-state ialah persoalan yang disebabkan oleh pandangan dan sikap yang diambil dalam menghadapi fakta keanekaragaman atau dunia multikultural, serta masalah-masalah yang muncul akibat hilangnya kedaulatan negara. Persoalannya sekarang ialah bagaimana kita menjawab persoalan-persoalan ini ? adakah solusi yang bisa menyembuhkan patologi masyarakat post-nation-state ini ? Untuk mencari jawab akan persoalan ini, baiklah kita belajar pada Habermas, khususnya konsepsinya tentang demokrasi deliberatif. Sebab demokrasi ini dikonstruksikan oleh Habermas untuk mengembalikan kedaulatan negara yang telah tergerogiti dan sekaligus untuk menjembatani ketegangan antara kaum universalis-liberal dan kaum komunitarian. Oleh karena itu, adalah relevan untuk membicarakan demokrasi deliberatif dalam konteks persoalan yang muncul dalam masyarakat post-nation-state.
Demokrasi deliberatif sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Pada dasarnya, ia sama dengan demokrasi-demokrasi yang lainnya. Sebab, demokrasi ini didasarkan pada pelbagai bentuk demokrasi yang sudah ada dan persyaratan yang diandaikannyapun sama yaitu: hukum, kebebasan, partai yang bersaing, pemilu secara berkala dlsb.[10] Cuma, demokrasi deliberatif merupakan suatu upaya pemaksimalan demokrasi-demokrasi konvensional serta bersifat lebih radikal oleh karena ia ditempatkan dalam suatu kerangka politik yang universal yang melampaui batas-batas politik negara nasional,[11] politik yang terjadi dalam masyarakat post-nation-state.
Keradikalan dari demokrasi deliberatif ini juga terlihat dari bagaimana negara dipahami. Negara dalam wawasan yang traditional: sebagai satu-satunya pusat kekuasaan yang kepadanya realitas-realitas yang lain~seperti individu, masyarakat, dan lembaga-lembaga ekonomi (pasar)~harus tunduk, sudah tidak lagi relevan dalam konteks masyarakat post-nation-state. Sebab sebagaimana telah diungkapkan, negara telah kehilangan legitimitas (kedaulatan) dan kredibilitasnya. Atas dasar itu, hakekat negara perlu dikonstruksikan kembali sehingga ia tetap relevan dalam masyarakat post-nation-state.  Dalam demokrasi deliberatif, negara dipahami hanya sebagai salah satu komponen dari sistem sosial yang berdiri sejajar dengan komponen sistemis lainnya: ekonomi kapitalis (pasar).[12] Dan keduanya, yaitu negara dan pasar, adalah subsistem-subsistem dari sistem sosial yang merupakan reduksi atas kompleksitas tindakan-tindakan strategis yang ada dan berakar di dalam masyarakat dan kebudayaan dalam pengertian yang seluas luasnya yang disebut dengan lebenswelt (dunia kehidupan). Sementara lebenswelt  sendiri terdiri atas tindakan-tindakan komunikatif yang merupakan elemen-elemen solidaritas sosial.[13] 
Atas dasar pemahaman yang seperti itu, Habermas kemudian melihat negara, pasar dan masyarakat sebagai tritunggal. Ketiganya berbeda, ketiganya mempunyai otonomi dan otoritas masing-masing. Namun ketiganya adalah satu-kesatuan. Dan ketiganya saling membutuhkan. Masyarakat membutuhkan negara untuk mengatasi berbagai pertikaian dan konflik yang secara inheren terkandung dalam karakternya yang multikultural. Pasar juga membutuhkan negara, sebab tanpa negara pasar tidak akan berkembang dan bisa memunculkan aspek-aspek yang destruktif. Sementara, negara juga membutuhkan masyarakat dan pasar, tanpa mereka negara tidak akan mampu untuk memainkan perannya.
Masalahnya ialah dalam konteks post-nation-state, negara telah kehilangan legitimasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat dan dijadikan bulan-bulanan oleh pasar. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan sesuatu yang secara lagitimate mampu mengintegrasikan negara, pasar dan masyarakat. Di manakah dan bagaimanakah sesuatu yang legitimate itu bisa diperoleh ? Pertanyaan inilah yang menjadi persoalan utama dalam demokrasi deliberatif.
Bagi Habermas, benteng terakhir untuk mengembalikan legitimitas negara serta untuk mengintegrasikan negara dan masyarakat disatu pihak dan negara dengan pasar dipihak lain adalah lewat suatu hukum yang dibentuk lewat proses demokrasi yang deliberatif. Hanya melalui demokrasi deliberatiflah hukum menjadi sesuatu yang legitim, sebab ia merupakan produk dari tindakan-tindakan komunikatif yang secara inheren ada dalam lebenswelt.  
Dalam demokrasi deliberatif, hukum dibentuk lewat suatu proses diskursus yang terjadi di public sphere (ruang publik). Public sphere  ini berada diantara political sphere dan private sphere, bersifat informal, inklusif, ada kebebasan berbicara, berkumpul, partisipatif dan mempunyai daya kritis. Ia terdiri atas organ-oragan penyedia informasi dan perdebatan politis seperti surat kabar dan jurnal, lembaga-lembaga diskusi politik, perkumpulan-perkumpulan publik, rumah-rumah makan, warung-warung kopi, dan tempat-tempat publik lainnya yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik. Dalam public sphere ini masyarakat sipil (civil society) berkumpul untuk berdiskursus mengenai berbagai persoalan kehidupan bersama.
Public sphere  merupakan suatu jaringan untuk mengkomunikasikan informasi dan berbagai cara pandang yang berkaitan dengan berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat.[14] Lewat diskursus yang terjadi di dalam ruang publik, yang disebut public discourse (diskursus publik), berbagai persoalan yang ada dimasyarakat diseleksi tingkat urgensinya, dirumuskan, dicarikan beberapa alternatif pemecahannya, dan disodorkan kepada negara sebagai bahan pertimbangan bagi pembuatan kebijakan dan hukum. Ruang Publik juga menjadi tempat di mana keputusan-keputusan dan hukum-hukum yang hendak diambil dan ditetapkan oleh otoritas politik terlebih dahulu dikaji dan dikritisi oleh masyarakat. Tujuan akhir dari diskursus publik ini ialah hukum-hukum dan berbagai kebijakan pemerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Dengan kata lain hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan yang legitim. Perlu dicatat bahwa bagi Habermas, legitimitas hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan negara tidak terletak pada fakta bahwa ia didukung oleh suara mayoritas, namun terletak pada apakah ia diperoleh secara fair dan adil atau tidak. Agar bisa fair dan adil, ia harus didasarkan pada alasan-alasan yang telah diuji dan dikritisi dalam diskursus yang terjadi di ruang publik. Hanya hukum dan kebijakan publik yang diperoleh lewat cara inilah yang legitim dan karenanya layak ditaati masyarakat.
Kecuali itu diskursus yang terjadi dalam ruang publik juga menjadi alat di tangan masyarakat untuk mencari norma-norma moral yang baru, norma-norma moral yang layak untuk dijadikan pegangan bagi semua anggota masyarakat.[15] Dalam kehidupan masyarakat post-nation-state, yang berciri multikultur, diskursus ini penting mengingat, dalam masyarakat yang seperti ini, norma-norma moral tradisional~yang biasanya bersifat komunitarian yang homogen~tidak mungkin lagi diterapkan. Pun demikian dengan norma-norma moral yang pada dirinya sendiri dianggap sebagai universal~seperti teori Hukum Kodratnya Thomas Aquinas maupun Hukum Moralnya Kant yang sebagian besar mendasari sikap kaum universalis~tidak bisa begitu saja diterapkan. Oleh karena yang tradisional-komunitarian tidak lagi cocok, sementara yang dianggap universal belum tentu universal, maka diperlukan suatu norma-norma moral yang baru yang bisa menjembatani norma moral tradisional dan norma moral universal. Norma moral ini juga harus berupa norma moral yang bisa mengikat semu kelompok yang ada di dalam masyarakat.
Menurut Habermas, sebuah norma moral hanya akan menjadi dan berlaku universal jika ia diuji dalam sebuah diskursus publik di mana semua yang bersangkutan terlibat dan membahasnya. Yang dicari dalam diskursus ini tidak terbatas pada norma moral mana yang sah dan karena itu universal namun juga mencari berbagai dampak yang diperkirakan muncul dan menghambat kepuasan setiap yang terlibat ketika norma-norma moral itu disetujui dan dipraktikkan bersama. Setiap peserta juga wajib mengikuti ketentuan-ketentuan dalam berdiskursus (etika berdiskursus). Pertama, diskursus ini dilakukan dengan bebas dan tanpa paksaan. Kedua, setiap peserta datang dengan tanpa pamrih. Satu-satunya pamrih yang adalah mencari apa yang secara objektif baik bagi semua dan bukan mencari apa yang baik bagi diri sendiri atau kelompoknya. Ketiga, Para peserta datang dengan kesediaan untuk belajar, saling memahami, saling menerima, dan saling memberi kritik. Jadi peserta kursus tidak datang dengan pandangan yang sudah tidak bisa diganggu gugat. Keempat, Konsensus yang telah dicapai harus dipraktekkan dalam kehidupan masing-masing.
Lewat diskursus yang seperti itu, norma-norma moral yang dihasilkan merupakan suatu konsensus yang otentik. Sebuah norma-norma moral universal dalam arti sebuah konsensus, yang bertumpu pada nilai-nilai partikular masing-masing yang terlibat. Oleh karena proses pembentukannya bebas dari dominasi, maka konsensus yang dihasilkanpun merupakan konsensus yang bebas dari dominasi. Tidak ada yang kuat dan lemah, tidak ada yang menang atau kalah dalam diskursus maupun konsensus yang dihasilkan.
Dengan demikian diskursus merupakan sarana integrasi masyarakat. Lewat diskursus ini, perbedaan-perbedaan diatasi namun bukan ditiadakan. Perbedaan-perbedaan ditransendensikan, guna mencari titik-titik temu yang berguna bagi kehidupan bersama bagi masyarakat yang multikultur. Pada titik ini, diskursus menjadi sarana dimana solidaritas sosial dibangun. Bagi Habermas, solidaritas tidak secara intrinsik ada di dalam masyarakat yang multikultural. Dalam masyarakat yang multikultur solidaritas merupakan sesuatu yang harus dicari, ditemukan dan dibangun bersama.
Lebih jauh, Habermas juga menyatakan bahwa solidaritas yang muncul dari suatu proses diskursus ini bukan hanya mampu mengintegrasikan masyarakat yang ada dalam sebuah nation-state.  Ia juga bisa diperkembangkan menjadi suatu solidaritas yang seluas dunia jika masing-masing nation-state  mampu mengubah kesadaran warganya bahwa mereka juga anggota suatu masyarakat yang tidak dibatasi oleh batas-batas nation-state, yang tanpa alternatif diundang untuk bekerjasama dan memperhatikan kepentingan satu sama lain.[16] Jika solidaritas seluas dunia ini terwujud, maka kekhawatiran terhadap kecenderungan para global-player  untuk menerapkan prinsip-prinsip Darwinisme Sosial tak perlu dirisaukan.
Di samping menjadi sarana integrasi dan pengembangan solidaritas di antara masyarakat yang multikultur, produk lain yang dihasilkan oleh diskursus  yaitu hukum juga merupakan piranti yang amat penting bagi masyarakat, negara dan pasar. Sebagaimana telah disebutkan, ketiga entitas adalah entitas yang otonom dan mandiri. Meskipun ketiga entitas itu bersifat tritunggal, namun dalam masyarakat post-nation-state diantara ketiganya terlibat pertikaian yang mendalam. Yang satu ingin menghancurkan yang lain.
Dalam masyarakat yang post-nation-state itu, hukum merupakan alat yang dibutuhkan untuk mengintegrasikan masyarakat dan negara disatu pihak serta negara dan pasar dipihak lain. Sebab disamping berdiri diatas negara dan masyarakat, hukum juga berdiri di atas negara dan pasar. Sebagaimana telah disebutkan, hukum dan pasar merupakan dua subsistem dari sistem sosial yang ada dan berakar dalam lebenswelt yang adalah produsen hukum. Dan  karena itu, negara dan pasar diintegrasikan oleh hukum. Bukan itu saja, hukum yang legitim ini bisa menggantikan peran negara tradisional, yaitu sebagai kekuatan politik tertinggi untuk mengendalikan pasar sehingga ia tidak menampakkan aspek-aspek destruktifnya.[17]
Sampai di sini menjadi jelas apa yang ditawarkan oleh Habermas dalam mencoba mengatasi berbagai persoalan-persoalan yang terjadi di era post-nation-state. Bagi Habermas, persoalan-persoalan itu hanya bisa diatasi lewat mengembangkan suatu kehidupan berdemokrasi yang deliberatif.
Pencarian Habermas akan suatu kehidupan berdemokrasi yang deliberatif, kehidupan yang sesuai dengan kehidupan masyarakat post-nation-state, betapun baiknya, bukanlah tanpa menuai kritik. Pun demikian halnya dengan demokrasi deliberatif yang dikonstruksikan oleh Habermas. Menurut B. Hari Juliawan,[18] salah satu kelemahan mendasar, kelemahan yang menyembunyikan realitas, ialah bahwa konstruksi Habermas mengenai solidaritas yang dibentuk dalam diskursus diruang publik merupakan suatu solidaritas tanpa intimitas. Solidaritas yang tanpa intimitas ini terjadi oleh karena ruang publik yang menjadi tempat dibentuknya solidaritas itu bersifat plural dan tidak memiliki keakraban yang mendalam. Dalam ruang publik ini, setiap individu, berbicara pada orang lain sebagai, kurang lebih, orang asing. Keasingan ini bukan karena mereka belum pernah ketemu, namun karena mereka tidak terikat oleh jalinan pemahaman bersama yang kental atau oleh relasi-relasi bersama. Jalinan pemahaman bersama atau relasi-relasi sosial ini harus mereka bentuk dan tidak ada dengan sendirinya. Padahal tingkat keakraban yang mendalam hanya akan terjadi apabila jalinan pemahaman bersama itu telah ada dan ini hanya ada dalam kelompok-kelompok masyarakat yang nilai-nilai sosialnya bersikap homogen.  Tiadanya tingkat keakraban yang mendalam di ruang publik ini juga diakui sendiri oleh Habermas.  Sadar akan hal ini Habermas kemudian menegaskan bahwa masyarakat kompleks tidak mungkin disatukan oleh suatu konsensus substantif mengenai nilai-nilai namun hanya melalui konsensus prosedur untuk pemberlakuan hukum dan praktik kekuasaan yang legitim.[19] Akibatnya gagasan Habermas mengenai solidaritas yang mampu mengintegrasikan masyarakat yang luas, solidaritas yang tanpa intimitas, dipandang sebagai utopia yang tidak perlu diharapkan terlalu banyak. Sebab jika terlalu banyak berharap kepadanya, resiko untuk menanggung kekecewaaan terlalu besar.[20]
Menurut hemat kami, solidaritas yang intim tidak hanya dibangun dari nilai-nilai sosial yang sudah ada dan menjadi bagian kehidupan manusia atau masyarakat. Solidaritas yang intim juga bisa dibangun lewat jalur lain yaitu lewat apa yang disebut suatu keprihatinan bersama. Lewat sebuah keprihatinan bersama, orang-orang yang memiliki nilai-nilai sosial yang berbeda bisa membangun sebuah solidaritas yang intim. Dalam kehidupan bersama, keprihatinan bersama ini biasanya muncul dari dimensi universalitas yang secara inheren ada dalam diri setiap manusia maupun kelompok. Jika dikelola dengan baik maka tidak mustahil sebuah solidaritas yang intim, solidaritas yang didasarkan pada konsensus substantif dari suatu nilai-nilai akan terwujud. Tentu pengelolaan akan dimensi universalitas ini tidak bisa dilakukan dengan mengabaikan dimensi partikularitas yang ada dalam diri setiap manusia dan kelompok. Sebab, jika ini yang dilakukan maka solidaritas yang dibentuk justru sebuah solidaritas yang semu, solidaritas yang menindas.
Masih terkait dengan solidaritas, harapan Habermas untuk memperluas solidaritas sampai seluas dunia, merupakan suatu harapan yang terlalu tinggi. Harapan tersebut amat sulit untuk direalisasikan. Apalagi seluas dunia seluas negarapun harapan tersebut belum tentu terwujud.
Persoalan lain yang muncul dari gagasan Habermas ialah harapannya yang terlalu tinggi terhadap hukum yang dihasilkan lewat demokrasi deliberatif. Sebagaimana yang telah dikemukakan, bagi Habermas hukum merupakan benteng terakhir bagi integrasi sosial. Dengan kata lain, hukum menjadi kerangka acuan bagi manusia dalam relasinya dengan yang lain, entah itu sesama maupun negara. Habermas memang sadar bahwa hukum tidak selamanya bisa dijadikan sebagai kerangka acuan, sebab sejarah telah membuktikan bahwa hukum seringkali mengalami distorsi. Hukum seringkali disalah gunakan. Hukum dipakai sebagai sarana untuk melegalisasikan berbagai tindak dehumanisasi. Sadar akan hal ini maka hukum juga perlu dikontrol dan senantiasa diperbaharui lewat suatu diskursus publik. Mekanisme kontrol dan pembaharuan ini akan menjamin hukum dari karat distorsi.
Disinilah persoalan muncul. Dalam diskursus untuk mengontrol dan memperbaharui hukum, Habermas mengandaikan bahwa semua pihak yang terlibat adalah peserta-peserta yang bebas, tanpa paksaan dan tekanan. Mungkin! hal semacam tepat untuk jargon-jargon akademis. Tetapi dalam realitas konkret, realitas keseharian, di mana ruang publik yang menjadi tempat diskursus mendapat locus-nya, pengandaian seperti itu amat sulit terjadi. Apalagi terjadi, dibayangkan saja tidak bisa. Bagaimana mungkin didunia yang benar-benar tidak adil, dalam dunia yang memang benar-benar tidak seimbang, terjadi suatu diskursus yang seimbang ? diskursus yang bebas, tanpa paksaan dan tekanan ?
Mengharapkan terjadinya suatu diskursus yang seimbang ditengah-tengah dunia yang tidak seimbang, dapat diibaratkan sebagai pungguk yang merindukan bulan. Oleh karena itu sistem yang telah dikonstruksikan Habermas untuk mengatasi berbagai problem yang ada dalam dunia post-nation-state sesungguhnya merupakan suatu sistem yang amat baik, namun untuk bisa mewujudkan tujuannya bukan hal yang mudah, malah bisa jadi tidak mungkin.
Mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi sesuatu yang sedikit lebih mungkin inilah yang seharusnya menjadi peran gereja dalam masyarakat post-nation-state ini.  

4.    Penutup : Teologi Sosial, Teologi yang berpihak pada Korban.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada, usaha Habermas patut dihargai. Bagaimanapun Habermas telah mencoba untuk menyelamatkan kehidupan modern dengan globalisasi dan masyarakat Post-nation-state-nya. Habermas telah mencoba membangun sebuah sistem kehidupan dimana manusia bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah guna mengatasi berbagai persoalan yang mengancam hidup dan dunianya. Apa yang telah diupayakan oleh Habermas ini tentu patut untuk diapresiasi dalam kehidupan konkret oleh siapa saja yang prihatin dengan kehidupan saat ini. Pun tidak terkecuali gereja, jika ia ingin tetap menjadi ‘garam dan terang’ dunia.  Tanpa gereja sedia untuk prihatin dengan dunia dan tanpa gereja bersedia belajar pada orang-orang yang telah memikirkan sesuatu tentang gereja, keinginan untuk menjadi ‘garam dan terang’ dunia tinggal keinginan saja. Persoalannya ialah bagaimana gereja bisa mewujudkan keinginannya itu ? atau secara lebih spesifik: bagaimana gereja-gereja di Indonesia bisa berperan dalam masyarakat post-nation state ?
Jika gereja ingin ambil peranan dalam masyarakat post-nation-state mau tidak mau gereja perlu untuk mengarahkan keprihatinannya pada dunia. Oleh karena itu Gereja perlu mengembangkan apa yang disebut teologi sosial yaitu suatu bentuk teologi yang mencoba merumuskan dan memberi arah bagi praksis keterlibatan gereja di dalam dunia. Teologi semacam ini menjadikan dunia dan segala persoalannya sebagai locus teologi.
Dengan menempatkan dunia sebagai locus teologinya, maka teologi sosial adalah teologi yang bersifat politis, dalam arti ia adalah teologi yang berpihak. Adalah omong kosong jika teologi mengembangkan sebuah teologi sosial, dan juga teologi-teologi yang lainnya, secara apolitis.
Berpihak kepada siapa ? pada diri sendiri ? tentu tidak. Jika gereja berpihak pada dirinya sendiri, maka ia bukan Gereja. Berpihak pada Tuhan ? tentu ! Namun yang terpenting dalam teologi sosial yang politis ialah berpihak kepada para korban. Teologi sosial, pertama-tama perlu mengingat penderitaan mereka-mereka yang menjadi korban ‘darwinisme sosial’ para pemain global. Hanya dengan mengingat nasib korban inilah gereja bisa andil dalam mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi sesuatu yang sedikit lebih mungkin.
Dengan mengingat penderitaan para korban, sebagaimana diungkapkan oleh J.B. Metz tersembunyi suatu kekuatan yang kritis dan membebaskan. Ingatan akan penderitaan para korban akan memampukan melihat kehidupan ini sebagai kehidupan mereka-mereka yang kalah. Ingatan akan penderitaan akan memampukan Gereja  untuk solider kepada mereka-mereka yang tidak mungkin untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam diskursus publik yang digagas oleh Habermas. Gereja akan dimampukan untuk menyuarakan suara korban dalam dunia post-nation-state yang dicirikan dengan darwinisme sosialnya. Malah ingatan akan penderitaan ini akan menjadi kekuatan tandingan bagi iklim masyarakat post nation-state yang tidak berpihak pada yang lemah.
Dengan berpihak pada yang lemah, maka dalam diskursus publik yang di gagas Habermas, gereja memberi penguatan pada yang lemah bahwa mereka tidak berjuang sendirian. Ada orang lain disampingnya. Dengan ini, orang-orang yang lemah, orang-orang yang oleh sistem kehidupan post-nation-state amat sulit untuk bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam suatu diskursus publik mempunyai kekuatan tambahan guna meraih posisi yang setara dengan mereka-mereka yang kuat.   

Daftar Pustaka
Gidden, Anthony,  Runaway World:  Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia, 2001.
Hardiman, F. Budi: ‘Menyimak Filsafat Politik Habermas Demokrasi Deliberatif: Model Untuk Indonesia Pasca Suharto ? dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas
Juliawan, B. Hari, ‘Ruang Publik Habermas: Solidaritas Tanpa Intimitas’, dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas
Juliawan, B. Hari, ‘Keretaku Tak Berhenti Lama’, dalam BASIS Nomor 05-06 Tahun ke-53 Mei-Juni 2004 Edisi Globalisasi: Peluang Dan Hukuman
Kieser, B., ‘Teologi Moral dalam Dialog dengan Habermas: Mengapa ?’ dalam Budi Susanto, Teologi & Praksis Komunitas Postmodern (Yogjakarta: Kanisius, 1994)
Kieser, B., ‘Agama Bubar Jika Tidak Bercampur Nalar: Being Religius a la Habermas’, dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas
Lan, Ju Fu, ‘Agama-Agama dan Globalisasi’ dalam BASIS No. 01-02 Tahun Ke-52, Januari-Februari 2005, Edisi Dilema Globalisasi,
Latif, Yudi,  Melampaui Kosmopolitanisme Politik, dalam http://www.duniaesei.com
Purnomo, Aloys Budi., Salib dab Teologi Politik, dalam Koran Harian Kompas, tanggal 28 Maret 2002
Reza, Antonius, ‘Frans Magnis Suseno vs Jürgen Habermas’ dalam BASIS no. 05-06 tahun ke-55 Mei-Juni 2006, Edisi 70 Tahun Frans Magnis Suseno
Sindhunata, ‘Dilema Globalisasi’  dalam BASIS No. 01-02 Tahun Ke-52, Januari-Februari 2005, Edisi Dilema Globalisasi,
Sindhunata, ‘Memoria Passionis’ Walter Benjamin Dan Teologi Politik’, dalam Budi Susanto, Teologi & Praksis Komunitas Postmodern (Yogjakarta: Kanisius, 1994)
Sudiarja, ‘Tanpa Kemampuan Komunikatif, Masyarakat Hancur’ dalam dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas
Sunarko, Dr. A. OFM, “Yang Politik: Ruang Publik dan Sistem Politik Menurut Jürgen Habermas”, dalam Einar M. Sitompul, Teologi-Politik Agama-Agama Dan Kekerasan  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006)
Suseno, F. Magnis, ‘75 Tahun Jürgen Habermas’ dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas,
Sutrisno, Mudji, Ingatan dan Lupa-Lupa Kita, dalam Koran Harian Kompas, tanggal 23 April 2002
Sutanto, Trisno. S.,  Conversio Ad Passionem Catatan-Catatan Seputar Teologi Politis’ dalam Einar M. Sitompul, Teologi-Politik Agama-Agama Dan Kekerasan  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006)
Wibowo, I., Globalisasi, Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, dalam Koran Harian Kompas, tanggal 3 Mei 2002
Wibowo, I., Globalisasi, dan Kapitalisme Global, dalam Koran Harian Kompas, tanggal 27 April 2002




[1] Anthony Gidden, Runaway World:  Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia, 2001.
[2] Sindhunata, ‘Dilema Globalisasi’  dalam BASIS No. 01-02 Tahun Ke-52, Januari-Februari 2005, Edisi Dilema Globalisasi, hlm. 6
[3]Bdk. B. Hari Juliawan, ‘Ruang Publik Habermas: Solidaritas Tanpa Intimitas’, dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas, hlm. 35
[4] Sindhunata, Op. Cit. hlm. 9
[5] Sindhunata Op.Cit, hlm. 6
[6] I. Wibowo, Globalisasi, Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, dalam Koran Harian Kompas, tanggal 3 Mei 2002
[7] Sindhunata Op.Cit. hlm. 12,
[8] Bdk. Ibid. 15  
[9] Ibid.  hlm. 17
[10] Dr. A. Sunarko, OFM, “Yang Politik: Ruang Publik dan Sistem Politik Menurut Jürgen Habermas”, dalam Einar M. Sitompul, Teologi-Politik Agama-Agama Dan Kekerasan  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) hlm. 139
[11] Bdk. Dr. Yudi Latif, Melampaui Kosmopolitanisme Politik, dalam http://www.duniaesei.com
[12]F. Budi Hardiman, ‘Menyimak Filsafat Politik Habermas Demokrasi Deliberatif: Model Untuk Indonesia Pasca Suharto ? dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas, hlm. 35
[13] Ibid.
[14] B. Harry Juliawan, Op. Cit. hlm. 33
[15] F. Magnis Suseno, ‘75 Tahun Jürgen Habermas’ dalam BASIS Nomor 11-12, tahun ke 53 November-Desember 2004, Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas, hlm. 35
[16] Sindhunata, Op. Cit, hlm. 13
[17] F. Budi Hardiman, Op.Cit. 18
[18]B. Hari  Juliawan, Op.cit. 38
[19] Ibid hlm. 39
[20] Ibid hlm. 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar