Selasa, 19 November 2013

IDEOLOGI: Sejarah Pembentukan dan Pengertiannya


IDEOLOGI:

‘Sejarah’ Pembentukan dan Pengertiannya

Oleh: Chlaodhius Budhianto


Istilah ideologi merupakan suatu istilah yang bersifat ambigu dan kabur. Di satu sisi ia ‘digandrungi’ (dipuja-puja) dan dibela sampai titik darah penghabisan. Di sisi lain ia dicaci dan dimaki. Semua negara, setiap kelompok-kelompok sosial, bahkan setiap individu  memakai (memiliki) suatu ideologi tertentu. Ideologi dipakai secara luas dan setiap pemakai itu tidak jarang memahami ideologi secara beragam. Ketidaktunggalan pemaknaan terhadap ideologi ini tidak jarang menyebabkan pengertian ideologi menjadi kabur.
Adanya ambiguitas yang menjurus kepada kekaburan pemahaman akan ideologi itu menjadikan perbincangan mengenai ideologi bukan suatu hal yang mudah. Untuk itu, guna lebih memahami apa itu ideologi, maka perbincangan akan ideologi berikut ini akan dibagi kedalam beberapa bagian. Bagian pertama akan memaparkan ‘sejarah’ pembentukan ideologi. Bagian kedua akan berbicara mengenai pengertian.

1. Ideologi: Akar-akar Personal dan Komunalnya
Secara etimologis, ideologi merupakan ilmu mengenai idea-idea atau gagasan-gagasan. Sebagai sebuah ilmu, ideologi membahas tiga hal yang saling bertalian yaitu pokok persoalan yang termuat dalam gagasan-gagasan, metode-metode yang dipakai guna mengungkap dan menjawab persoalan, serta tujuan-tujuan yang terkandung didalam gagasan-gagasan tersebut.[1] Dalam pengertian yang seperti ini, ideologi merupakan buah karya manusia mengenai pemikirannya yang terkait erat dengan eksistensi manusia sendiri, yaitu dengan apa yang dia miliki, apa yang dicintainya dan apa yang menjadi tujuan kehidupannya.[2] Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ideologi berakar didalam diri manusia dalam sejarah keberadaannya.
Yang dimaksud dengan akar-akar ideologi di dalam diri manusia ialah kesadaran psikologis atau subyektifitas manusia. Karl Manheim dalam karya monumentalnya:  Ideologi dan Utopia, menyebutkan bahwa kesadaran psikologis atau subjektif yang memunculkan ideologi adalah ketidakpercayaan dan kecurigaan individu terhadap gagasan-gagasan individu lainnya. Adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan ini muncul dari pengandaian yang dibuat oleh David Hume dalam menganalisis tingkah laku manusia. Menurut Hume, tingkah laku manusia ditentukan untuk berpura-pura dan menipu sesamanya.
Dalam kerangka ketidakpercayaan dan kecurigaan tersebut, individu melihat bahwa gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh orang lain bukan suatu gagasan-gagasan yang objektif. Di balik gagasan-gagasan tersebut tersimpan maksud-maksud tertentu. Melalui sebuah gagasan-gagasan yang tampaknya objektif, maksud-maksud tersembunyi itu dibungkus sedemikian rupa, sehingga orang tidak menyadari keberadaannya. Dengan kata lain, melalui gagasan-gagasan yang tampaknya objektif, seseorang ingin menipu orang lain. Sebenarnya, yang disebut dengan ideologi tidak hanya bersifat satu arah, namun dwiarah. Ideologi ialah pertautan antara proses penipuan dengan kesesatan-kesesatan yang dialami oleh orang lain akibat terpengaruh oleh gagasan-gagasan yang sudah terdistorsi.
Dalam pengertian yang seperti ini, maka Francis Bacon--dengan teorinya mengenai idolamerupakan ilmuwan yang merintis kemunculan konsep ideologi. Bagi Bacon ideologi adalah ‘bayang-bayang’ atau ‘prasangka-prasangka’. Di dalam diri manusia, idola-idola ini telah berakar sedemikian dalam dan menguasainya, idola-idola tersebut juga telah menyerang manusia sedemikian kuat sehingga membelenggu dan membuat manusia tidak bisa dirasuki oleh pemikiran-pemikiran lain. Idola-idola tersebut menjadikan manusia tidak bisa berpikir jernih, dan karena itu dihalangi untuk menemukan suatu kebenaran yang objektif. Lebih lanjut, Bacon juga menyatakan bahwa idola-idola tersebut tidak berwajah tunggal. Ada idola suku bangsa, idola pasar, idola kelas, idola mengenai tokoh-tokoh dalam pentas hiburan sampai idola tradisi.
Idola-idola yang membelenggu itu tidak hanya menyesatkan manusia. Namun juga menyebabkan pemikiran manusia terkotak-kotak, berdasarkan keanekaragaman cara berpikir dan kepentingannya. Pengkotakan-kotakan pemikiran manusia oleh kepentingan-kepentingan masing-masing secara jelas tertungkap lewat perkataan Machiavelli demikian: “pikiran dari istana adalah satu hal, dan pemikiran dari alun-alun adalah lain hal”[3]
Menurut Manheim, apa yang dikatakan oleh Machiavelli tersebut, sesungguhnya merupakan ruang kerja bagi para ilmuwan yang berkutat diseputar persoalan ideologi. Tugas para ilmuwan dibidang ini ialah menemukan makna asli dibalik kedok perkataan-perkataan atau gagasan-gagasan. Tugas para ilmuwan di bidang ideologi ialah menemukan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dibalik konsep-konsep yang tampaknya objektif.
Sesungguhnya, ideologi tidak hanya berakar di dalam kesadaran psikologis individu. Dalam sejarah perkembangan manusia, apa yang semula bersifat individual kemudian berkembang luas sehingga menjadi milik bersama dalam suatu komunitas. Akar-akar komunal dari ideologi ini dapat ditelusuri kembali sampai pada masa revolusi Prancis, tepatnya selama dan setelah perang Napoleon. Pada masa ini, perasaan kebangsaan muncul dimana-mana. Oleh para Filsuf, perasaan kebangsaan ini dikristalisasikan dan dijadikan sebagai alat guna menyerang Napoleon.
Konflik antara para Filsuf dan Napoleon inilah yang pada gilirannya melahirkan konsep modern tentang ideologi. Dalam konflik ini, Napoleon merendahkan para Filsuf yang menentangnya sebagai ideolog-ideolog. Oleh Napoleon, pemikiran para filsuf ini dianggap sebagai yang tidak realistis, yang tidak sesuai dengan berbagai peristiwa yang muncul diatas panggung politik pada masa itu.
Demikian akar-akar personal dan komunal dari ideologi. Dari situ mulai terlihat bahwa ideologi memiliki dua karakter dasar yaitu: 1) subjektif dan menipu, 2) tidak realistis.

2. Tiga Pengertian Ideologi
Raymond Geus dalam bukunya The Idea of Critical Theory: Habermas and the Frankfurt School, mengelompokkan ideologi menjadi tiga kelompok: Ideologi dalam pengertian yang deskriptif, ideologi dalam pengertian yang peyoratif dan ideologi dalam pengertian yang positif. Paparan berikut ini akan menyajikan pengelompokan ideologi yang dibuat Geus tersebut.

2.1.Ideologi dalam Pengertian yang deskriptif.
Dalam pengertiannya yang deskriptif, ideologi muncul dalam konteks anthropologi. Di sini ideologi dipahami sebagai satu bagian di dalam sistem sosio-cultural masyarakat (human group) yang secara tipical meliputi keyakinan-keyakinan yang dipegang oleh suatu kelompok, konsep-konsep yang mereka gunakan, sikap-sikap dan disposisi psikologis yang mereka tunjukkan, motif-motif, keinginan-keinginan (cita-cita), nilai-nilai, kegemaran, karya seni, ritual keagamaan, isyarat (gesture), dlsb. Ideologi dalam pengertian ini bersifat netral. Ia tidak dievaluasi (non-evaluation) dan tidak dinilai (non-judgmental).
Ideologi dalam pengertian yang deskriptif ini memiliki dua aspek yaitu aspek discursive dan aspek non-discursive. Aspek discursive merupakan aspek-aspek ideologi yang bersifat abstrak. Ia terdiri atas konsep-konsep, ide-ide, dan kepercayaan-kepercayaan. Sementara aspek non-discursive bersifat konkret dan terdiri atas isyarat-isyarat kharakteristic (characteristic gestures), ritual-ritual, bentuk-bentuk karya artistik, dll.
Dalam pengertian yang deskriptif ini, ideologi menampakkan diri dalam dua bentuk, yaitu ideologi partikular dan ideologi total. Menurut Plamenatz, ideologi partikular merupakan suatu ideologi yang digunakan oleh lapisan-lapisan/tingkatan-tingkatan tertentu di dalam masyarakat atau dalam kacamata Marx dan para penganutnya ideologi yang dimiliki oleh suatu kelas di dalam masyarakat. Sebagai sesuatu yang berakar di dalam kelompok-kelompok masyarakat, ideologi partikular ini tidak bersifat tunggal namun plural. Di dalam ideologi partikular ini ada ideologi agama, idelogi ekonomi, ideologi status sosial, dll. Kepluralan ini, disamping dipicu oleh pluralitas yang ada di dalam masyarakat, menurut Habermas, juga disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dalam:
a.       manifest content, yaitu suatu perbedaan yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan di dalam keyakinan-keyakinan suatu ideologi.
b.      Fungtional properties-nya, yaitu perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh peran ideologi dalam mempengaruhi perilaku manusia.
Sementara itu yang dimaksud dengan ideologi total dapat dibagi lagi menjadi dua.  Pertama ideologi sebagai sebuah pandangan dunia (Weltanschauung/ world view/world picture).[4] Kedua ideologi dalam pengertian yang programatic, yaitu suatu ideologi yang berupa program atau rencana tindakan yang didasarkan pada suatu teori sistematik tentang bagaimana masyarakat bekerja, diarahkan untuk mentransformasi atau merekonstruksi masyarakat  dan dilakukan dengan lebih banyak bergantung pada kepercayaan daripada bukti-bukti konkret yang dituntut oleh teori-teorinya.

2. 2.  Ideologi dalam pengertian yang peyoratif
Pemahaman akan ideologi dalam pengertian yang peyoratif muncul oleh karena adanya upaya untuk mengkritisi bentuk-bentuk kesadaran (form of consciuousnes) yang meliputi kepercayaan, sikap dan keinginan-keinginan setiap individu di dalam masyarakat. Tujuan dari kritik ini ialah untuk menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kesadaran yang kemudian disebut ideologi adalah suatu khayalan atau kesadaran palsu. Dalam rangka membuktikan apakah suatu bentuk kesadaran itu ideologi atau tidak, program ini mengajukan 3 kriteria pengujian: Kriteria epistemiknya, fungsional  dan genetik..

a. Kriteria epistemic
Pengujian dari perspektif epistemologi ini, mencoba untuk menguji suatu ideologi dari sudut empiris. Pokok persoalan yang dikemukakan dalam pengujian ini ialah apakah kepercayaan-kepercayaan deskriptif dari suatu bentuk kesadaran itu didukung oleh suatu bukti-bukti empiris atau tidak. Ada beberapa aspek yang gunakan dalam pengujian epistemologi ini:
  1. Status epistemic-nya. Aspek ini mencoba melihat apakah suatu bentuk kesadaran itu didukung oleh bukti-bukti empiris dan dapat diobservasi atau tidak. Jika suatu bentuk kesadaran tidak memenuhi prasyarat semacam ini, maka ia memiliki status epistemik yang keliru, dan karena itu ia bersifat ideologis.
  2. Objektification mistake (kesalahan objektifikasi). Suatu bentuk kesadaran dikatakan sebagai ideologis apabila ia mengandung suatu kesalahan yang secara objektif keliru. Misalnya jika bentuk kesadaran tersebut punya keyakinan bahwa suatu fenomena sosial adalah suatu fenomena alamiah.
  3. Bersifat reduksionis dalam arti  mengandung sebuah keyakinan yang keliru atas akibat bahwa kepentingan tertentu sebagian masyarakat dipandang sebagai kepentingan bersama seluruh masyarakat

b. Kriteria Fungsional
Pengujian dari perspektif fungsional ini mencoba melihat suatu bentuk kesadaran itu sebagai ideologis berdasarkan fungsi-fungsinya. Ada 3 aspek yang digunakan dalam pengujian ini:
  1. Suatu bentuk kesadaran adalah ideologis jika ia berperan dalam mendukung, menstabilisasikan dan melegitimasi berbagai bentuk institusi dan praktek sosial yang mendehumanisasi, yaitu praktek-praktek ketidakadilan, eksploitatif, hegemonik dan dominatif.
  2. Suatu bentuk kesadaran adalah ideologis apabila ia menghambat atau menghalangi manusia dalam upayanya untuk memperkembangkan kekuatan produksi secara maksimal
  3. Suatu bentuk kesadaran adalah ideologis apabila ia menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi sosial yang ada
 c. Kriteria genetic
Pengujian dari perspektif genetik mencoba melihat suatu bentuk kesadaran sebagai sesuatu yang ideologis berdasarkan pada asal-usul historisitasnya. Dalam perspektif ini, ideologi merupakan suatu ungkapan posisi kelas orang-orang yang memegangnya, maksud-maksudnya, nilai-nilainya dlsb.[5] Disamping itu perspektif genetik juga melihat bahwa ideologi merupakan suatu rasionalisasi kolektif  atas berbagai sistem kepercayaan dan sikap-sikap yang  diterima oleh setiap individu tanpa disertai oleh alasan-alasan yang jelas (rasional). Dengan kata lain ideologi merupakan rasionalisasi atas sesuatu yang sebenarnya tidak bisa rasionalkan.

2. 3.  Ideologi dalam pengertian yang positif
Kelompok ketiga dari pengertian ideologi adalah ideologi dalam pengertian yang positif. Dalam pengertian ini ideologi adalah sesuatu yang disusun, diciptakan dan ditemukan bukan dari sesuatu yang berada diluar sana namun disusun, diciptakan dan ditemukan manusia atau masyarakat dalam situasi konkret mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan material maupun eksistensial mereka sehingga manusia memperoleh kehidupan yang penuh makna. 

Daftar Pustaka

Geus, Raymond., The idea of Critical Theori: Habermas and the Frankfurt School,  Cambridge University press, 1981
Plamenatz, John., Ideology,  New York, Washington, London: Praeger Publisher, 1971
Manheim, Karl., Ideologi dan Utopia Menyingkap Kaitan Pikiram Dan Politik, Yogyakarta: Kanisius, 1991
Magnis-Suseno, Frans.,  Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius 1992


[1] Bdk. dengan pernyataan Destutt de Tracy dalam “les elements de l’ideologie” sebagaimana dikutip oleh Karl Manheim, Ideologi dan Utopia Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Yogyakarta: Kanisius 1991, hlm. 112 end note 11.
[2] Bdk. Arief Budiman, ‘Dari Patriotisme Ayam dan Itik Sampai Sosiologi Pengetahuan: sebuah Pengantar” dalam Karl Manheim, Ibid., hlm. xiv
[3]dikutip oleh Karl Manheim, Ibid, hlm. 66
[4] Pandangan dunia dimaksud ialah gambaran manusia tentang tatanan (alam diri dan masyarakat). Ia merupakan dimensi keyakinan yang dipegang manusia dan yang dijadikan sebagai kerangka acuan dalam memahami masing-masing unsur dari pengalaman hidupnya serta yang menjadi referensi tindak-tanduk manusia dalam membentuk suatu kehidupan yang bermakna.
[5] Bdk. point 2: Ideologi: akar-akar personal dan komunalnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar