IDEOLOGI:
‘Sejarah’ Pembentukan dan Pengertiannya
Oleh: Chlaodhius Budhianto
Istilah ideologi merupakan suatu istilah yang
bersifat ambigu dan kabur. Di satu sisi ia ‘digandrungi’ (dipuja-puja)
dan dibela sampai titik darah penghabisan. Di sisi lain ia dicaci dan dimaki.
Semua negara, setiap kelompok-kelompok sosial, bahkan setiap individu memakai (memiliki) suatu ideologi tertentu.
Ideologi dipakai secara luas dan setiap pemakai itu tidak jarang memahami
ideologi secara beragam. Ketidaktunggalan pemaknaan terhadap ideologi ini tidak
jarang menyebabkan pengertian ideologi menjadi kabur.
Adanya ambiguitas yang menjurus kepada kekaburan
pemahaman akan ideologi itu menjadikan perbincangan mengenai ideologi bukan
suatu hal yang mudah. Untuk itu, guna lebih memahami apa itu ideologi, maka
perbincangan akan ideologi berikut ini akan dibagi kedalam beberapa bagian.
Bagian pertama akan memaparkan ‘sejarah’ pembentukan ideologi. Bagian kedua
akan berbicara mengenai pengertian.
1. Ideologi: Akar-akar Personal dan Komunalnya
Secara etimologis, ideologi merupakan ilmu
mengenai idea-idea atau gagasan-gagasan. Sebagai sebuah ilmu, ideologi membahas
tiga hal yang saling bertalian yaitu pokok persoalan yang termuat dalam
gagasan-gagasan, metode-metode yang dipakai guna mengungkap dan menjawab
persoalan, serta tujuan-tujuan yang terkandung didalam gagasan-gagasan
tersebut.[1]
Dalam pengertian yang seperti ini, ideologi merupakan buah karya manusia
mengenai pemikirannya yang terkait erat dengan eksistensi manusia sendiri,
yaitu dengan apa yang dia miliki, apa yang dicintainya dan apa yang menjadi
tujuan kehidupannya.[2]
Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ideologi berakar didalam
diri manusia dalam sejarah keberadaannya.
Yang dimaksud dengan akar-akar ideologi di dalam
diri manusia ialah kesadaran psikologis atau subyektifitas manusia. Karl
Manheim dalam karya monumentalnya: Ideologi
dan Utopia, menyebutkan bahwa kesadaran psikologis atau subjektif yang
memunculkan ideologi adalah ketidakpercayaan dan kecurigaan individu terhadap
gagasan-gagasan individu lainnya. Adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan ini
muncul dari pengandaian yang dibuat oleh David Hume dalam menganalisis tingkah
laku manusia. Menurut Hume, tingkah laku manusia ditentukan untuk berpura-pura
dan menipu sesamanya.
Dalam kerangka ketidakpercayaan dan kecurigaan
tersebut, individu melihat bahwa gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh orang
lain bukan suatu gagasan-gagasan yang objektif. Di balik gagasan-gagasan
tersebut tersimpan maksud-maksud tertentu. Melalui sebuah gagasan-gagasan yang
tampaknya objektif, maksud-maksud tersembunyi itu dibungkus sedemikian rupa,
sehingga orang tidak menyadari keberadaannya. Dengan kata lain, melalui
gagasan-gagasan yang tampaknya objektif, seseorang ingin menipu orang lain.
Sebenarnya, yang disebut dengan ideologi tidak hanya bersifat satu arah, namun
dwiarah. Ideologi ialah pertautan antara proses penipuan dengan
kesesatan-kesesatan yang dialami oleh orang lain akibat terpengaruh oleh
gagasan-gagasan yang sudah terdistorsi.
Dalam pengertian yang seperti ini, maka Francis
Bacon--dengan teorinya
mengenai idola—merupakan ilmuwan yang
merintis kemunculan konsep ideologi. Bagi Bacon ideologi adalah ‘bayang-bayang’
atau ‘prasangka-prasangka’. Di dalam diri manusia, idola-idola ini telah
berakar sedemikian dalam dan menguasainya, idola-idola tersebut juga telah
menyerang manusia sedemikian kuat sehingga membelenggu dan membuat manusia
tidak bisa dirasuki oleh pemikiran-pemikiran lain. Idola-idola tersebut
menjadikan manusia tidak bisa berpikir jernih, dan karena itu dihalangi untuk
menemukan suatu kebenaran yang objektif. Lebih lanjut, Bacon juga menyatakan
bahwa idola-idola tersebut tidak berwajah tunggal. Ada idola suku bangsa, idola
pasar, idola kelas, idola mengenai tokoh-tokoh dalam pentas hiburan sampai
idola tradisi.
Idola-idola yang membelenggu itu tidak hanya
menyesatkan manusia. Namun juga menyebabkan pemikiran manusia terkotak-kotak,
berdasarkan keanekaragaman cara berpikir dan kepentingannya.
Pengkotakan-kotakan pemikiran manusia oleh kepentingan-kepentingan
masing-masing secara jelas tertungkap lewat perkataan Machiavelli demikian:
“pikiran dari istana adalah satu hal, dan pemikiran dari alun-alun adalah lain
hal”[3]
Menurut Manheim, apa yang dikatakan oleh
Machiavelli tersebut, sesungguhnya merupakan ruang kerja bagi para ilmuwan yang
berkutat diseputar persoalan ideologi. Tugas para ilmuwan dibidang ini ialah
menemukan makna asli dibalik kedok perkataan-perkataan atau gagasan-gagasan. Tugas
para ilmuwan di bidang ideologi ialah menemukan kepentingan-kepentingan yang
tersembunyi dibalik konsep-konsep yang tampaknya objektif.
Sesungguhnya, ideologi tidak hanya berakar di
dalam kesadaran psikologis individu. Dalam sejarah perkembangan manusia, apa
yang semula bersifat individual kemudian berkembang luas sehingga menjadi milik
bersama dalam suatu komunitas. Akar-akar komunal dari ideologi ini dapat
ditelusuri kembali sampai pada masa revolusi Prancis, tepatnya selama dan
setelah perang Napoleon. Pada masa ini, perasaan kebangsaan muncul dimana-mana.
Oleh para Filsuf, perasaan kebangsaan ini dikristalisasikan dan dijadikan
sebagai alat guna menyerang Napoleon.
Konflik antara para Filsuf dan Napoleon inilah
yang pada gilirannya melahirkan konsep modern tentang ideologi. Dalam konflik
ini, Napoleon merendahkan para Filsuf yang menentangnya sebagai
ideolog-ideolog. Oleh Napoleon, pemikiran para filsuf ini dianggap sebagai yang
tidak realistis, yang tidak sesuai dengan berbagai peristiwa yang muncul diatas
panggung politik pada masa itu.
Demikian akar-akar personal dan komunal dari
ideologi. Dari situ mulai terlihat bahwa ideologi memiliki dua karakter dasar
yaitu: 1) subjektif dan menipu, 2) tidak realistis.
2. Tiga Pengertian Ideologi
Raymond Geus dalam bukunya The Idea of Critical
Theory: Habermas and the Frankfurt School, mengelompokkan ideologi menjadi
tiga kelompok: Ideologi dalam pengertian yang deskriptif, ideologi dalam
pengertian yang peyoratif dan ideologi dalam pengertian yang positif. Paparan
berikut ini akan menyajikan pengelompokan ideologi yang dibuat Geus tersebut.
2.1.Ideologi dalam Pengertian yang deskriptif.
Dalam pengertiannya yang deskriptif,
ideologi muncul dalam konteks anthropologi. Di sini ideologi dipahami sebagai
satu bagian di dalam sistem sosio-cultural masyarakat (human group) yang secara
tipical meliputi keyakinan-keyakinan yang dipegang oleh suatu kelompok,
konsep-konsep yang mereka gunakan, sikap-sikap dan disposisi psikologis yang
mereka tunjukkan, motif-motif, keinginan-keinginan (cita-cita), nilai-nilai,
kegemaran, karya seni, ritual keagamaan, isyarat (gesture), dlsb.
Ideologi dalam pengertian ini bersifat netral. Ia tidak dievaluasi (non-evaluation)
dan tidak dinilai (non-judgmental).
Ideologi dalam pengertian yang deskriptif
ini memiliki dua aspek yaitu aspek discursive dan aspek non-discursive.
Aspek discursive merupakan aspek-aspek ideologi yang bersifat
abstrak. Ia terdiri atas konsep-konsep, ide-ide, dan kepercayaan-kepercayaan.
Sementara aspek non-discursive bersifat konkret dan terdiri atas
isyarat-isyarat kharakteristic (characteristic gestures), ritual-ritual,
bentuk-bentuk karya artistik, dll.
Dalam pengertian yang deskriptif ini,
ideologi menampakkan diri dalam dua bentuk, yaitu ideologi partikular dan
ideologi total. Menurut Plamenatz, ideologi partikular merupakan suatu ideologi
yang digunakan oleh lapisan-lapisan/tingkatan-tingkatan tertentu di dalam
masyarakat atau dalam kacamata Marx dan para penganutnya ideologi yang dimiliki
oleh suatu kelas di dalam masyarakat. Sebagai sesuatu yang berakar di dalam
kelompok-kelompok masyarakat, ideologi partikular ini tidak bersifat tunggal
namun plural. Di dalam ideologi partikular ini ada ideologi agama, idelogi
ekonomi, ideologi status sosial, dll. Kepluralan ini, disamping dipicu oleh
pluralitas yang ada di dalam masyarakat, menurut Habermas, juga disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan dalam:
a. manifest content, yaitu suatu perbedaan yang disebabkan oleh
adanya perbedaan-perbedaan di dalam keyakinan-keyakinan suatu ideologi.
b. Fungtional properties-nya, yaitu perbedaan-perbedaan yang
disebabkan oleh peran ideologi dalam mempengaruhi perilaku manusia.
Sementara itu yang dimaksud dengan
ideologi total dapat dibagi lagi menjadi dua.
Pertama ideologi sebagai sebuah pandangan dunia (Weltanschauung/
world view/world picture).[4]
Kedua ideologi dalam pengertian yang programatic, yaitu suatu ideologi yang
berupa program atau rencana tindakan yang didasarkan pada suatu teori
sistematik tentang bagaimana masyarakat bekerja, diarahkan untuk
mentransformasi atau merekonstruksi masyarakat
dan dilakukan dengan lebih banyak bergantung pada kepercayaan daripada
bukti-bukti konkret yang dituntut oleh teori-teorinya.
2. 2.
Ideologi dalam pengertian yang peyoratif
Pemahaman akan ideologi dalam pengertian yang
peyoratif muncul oleh karena adanya upaya untuk mengkritisi bentuk-bentuk
kesadaran (form of consciuousnes) yang meliputi kepercayaan, sikap dan
keinginan-keinginan setiap individu di dalam masyarakat. Tujuan dari kritik ini
ialah untuk menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kesadaran yang kemudian disebut
ideologi adalah suatu khayalan atau kesadaran palsu. Dalam rangka membuktikan
apakah suatu bentuk kesadaran itu ideologi atau tidak, program ini mengajukan 3
kriteria pengujian: Kriteria epistemiknya, fungsional dan genetik..
a. Kriteria epistemic
Pengujian dari perspektif epistemologi ini,
mencoba untuk menguji suatu ideologi dari sudut empiris. Pokok persoalan yang
dikemukakan dalam pengujian ini ialah apakah kepercayaan-kepercayaan deskriptif
dari suatu bentuk kesadaran itu didukung oleh suatu bukti-bukti empiris atau
tidak. Ada beberapa aspek yang gunakan dalam pengujian epistemologi ini:
- Status epistemic-nya. Aspek ini mencoba melihat apakah suatu bentuk kesadaran itu didukung oleh bukti-bukti empiris dan dapat diobservasi atau tidak. Jika suatu bentuk kesadaran tidak memenuhi prasyarat semacam ini, maka ia memiliki status epistemik yang keliru, dan karena itu ia bersifat ideologis.
- Objektification mistake (kesalahan objektifikasi). Suatu bentuk kesadaran dikatakan sebagai ideologis apabila ia mengandung suatu kesalahan yang secara objektif keliru. Misalnya jika bentuk kesadaran tersebut punya keyakinan bahwa suatu fenomena sosial adalah suatu fenomena alamiah.
- Bersifat reduksionis dalam arti mengandung sebuah keyakinan yang keliru atas akibat bahwa kepentingan tertentu sebagian masyarakat dipandang sebagai kepentingan bersama seluruh masyarakat
b. Kriteria Fungsional
Pengujian dari perspektif fungsional ini mencoba
melihat suatu bentuk kesadaran itu sebagai ideologis berdasarkan
fungsi-fungsinya. Ada 3 aspek yang digunakan dalam pengujian ini:
- Suatu bentuk kesadaran adalah ideologis jika ia berperan dalam mendukung, menstabilisasikan dan melegitimasi berbagai bentuk institusi dan praktek sosial yang mendehumanisasi, yaitu praktek-praktek ketidakadilan, eksploitatif, hegemonik dan dominatif.
- Suatu bentuk kesadaran adalah ideologis apabila ia menghambat atau menghalangi manusia dalam upayanya untuk memperkembangkan kekuatan produksi secara maksimal
- Suatu bentuk kesadaran adalah ideologis apabila ia menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi sosial yang ada
c. Kriteria genetic
Pengujian dari perspektif genetik mencoba melihat
suatu bentuk kesadaran sebagai sesuatu yang ideologis berdasarkan pada
asal-usul historisitasnya. Dalam perspektif ini, ideologi merupakan suatu
ungkapan posisi kelas orang-orang yang memegangnya, maksud-maksudnya,
nilai-nilainya dlsb.[5]
Disamping itu perspektif genetik juga melihat bahwa ideologi merupakan suatu
rasionalisasi kolektif atas berbagai
sistem kepercayaan dan sikap-sikap yang
diterima oleh setiap individu tanpa disertai oleh alasan-alasan yang
jelas (rasional). Dengan kata lain ideologi merupakan rasionalisasi atas
sesuatu yang sebenarnya tidak bisa rasionalkan.
2. 3.
Ideologi dalam pengertian yang positif
Kelompok ketiga dari pengertian ideologi adalah
ideologi dalam pengertian yang positif. Dalam pengertian ini ideologi adalah
sesuatu yang disusun, diciptakan dan ditemukan bukan dari sesuatu yang berada
diluar sana namun disusun, diciptakan dan ditemukan manusia atau masyarakat
dalam situasi konkret mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan material maupun
eksistensial mereka sehingga manusia memperoleh kehidupan yang penuh makna.
Daftar Pustaka
Geus, Raymond., The idea of Critical
Theori: Habermas and the Frankfurt School, Cambridge University press, 1981
Plamenatz, John., Ideology, New York, Washington, London: Praeger
Publisher, 1971
Manheim, Karl., Ideologi dan Utopia
Menyingkap Kaitan Pikiram Dan Politik, Yogyakarta: Kanisius, 1991
Magnis-Suseno, Frans., Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta:
Kanisius 1992
[1] Bdk.
dengan pernyataan Destutt de Tracy dalam “les elements de l’ideologie”
sebagaimana dikutip oleh Karl Manheim, Ideologi dan Utopia Menyingkap Kaitan
Pikiran dan Politik, Yogyakarta: Kanisius
1991, hlm. 112 end note 11.
[2] Bdk.
Arief Budiman, ‘Dari Patriotisme Ayam dan Itik Sampai Sosiologi Pengetahuan:
sebuah Pengantar” dalam Karl Manheim, Ibid., hlm. xiv
[3]dikutip
oleh Karl Manheim, Ibid, hlm. 66
[4]
Pandangan dunia dimaksud ialah gambaran manusia tentang tatanan (alam diri dan
masyarakat). Ia merupakan dimensi keyakinan yang dipegang manusia dan yang
dijadikan sebagai kerangka acuan dalam memahami masing-masing unsur dari pengalaman
hidupnya serta yang menjadi referensi tindak-tanduk manusia dalam membentuk
suatu kehidupan yang bermakna.
[5] Bdk.
point 2: Ideologi: akar-akar personal dan komunalnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar