Rabu, 20 November 2013

Lahirnya Teologi Kontekstual




Lahirnya Teologi Kontekstual
Oleh: Chlaodhius Budhianto
  

Sebagai sebuah bentuk dan cara berteologi, teologi kontekstual lahir pada awal tahun 1970-an. Sebagaimana yang tersirat di balik namanya dan juga keprihatinnya, teologi kontekstual tidak turun begitu saja dari langit. Teologi ini lahir dari kandungan sejarah tahun 1970-an. Sebagai yang demikian itu, teologi kontekstual juga mewarisi semangat zamannya. Semangat zaman inilah yang coba kita tangkap, sehingga dalam upaya kita untuk mengembangkan suatu teologi yang kontekstual, kita tidak terjebak untuk menerima bentuk dan cara berteologi kontekstual seperti apa adanya. Namun mampu mengkritisi teologi tersebut, sehingga ketika kita memilih bentuk dan cara berteologi itu kita mampu mempertanggung jawabkannya.
Istilah ‘kontekstualisasi’ pada mulanya muncul sekitar tahun 1972 di dalam dikalangan Teological education Fund (TEF). Orang yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut adalah  Shoki Coe, seoarang teolog Asia asal Taiwan.[1] Meski baru muncul pada tahun 1972, kelahiran teologi kontekstual tidak pernah bisa dilepaskan dari krisis yang melanda dunia teologi, khususnya teologi misi, yang melanda gereja pada tahun 1950-an. 
Pada tahun 1950-an berbagai gereja—yang merupakan hasil dari pekerjaan misi Barat—di Asia, Afrika dan Amerika Latin, mulai mempergumulkan keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengamali transisi yang sangat cepat. India, Pakistan dan Indonesia telah berhasil melepaskan dirinya dari cengkeraman penjajahan negara-negara Eropa, dan banyak negara lainnya juga akan segera menyusul. Transisi dari negara terjajah menjadi negara merdeka itu mendorong negara-negara baru itu berjuang untuk membangun identitasnya sendiri sebagai dasar bagi usaha mereka dalam pembangunan bangsanya ditengah-tengah zaman modern.
Di negara-negara yang baru merdeka itu, gereja-gereja diperhadapkan pada dua tantangan. Pertama, mereka dituntut tanggungjawabnya untuk memberi kontribusi bagi pembangunan nasional. Kedua, mengembangkan sebuah teologi yang berakar di dalam konteks mereka sendiri dan yang dapat membimbing mereka di dalam kehidupan dan kesaksian mereka.[2]
Kedua tantangan ini tidak dengan mudah dijawab oleh gereja. Sebab di dalam gereja sendiri tersimpan sejumlah masalah yang menghalanginya untuk segera menjawab kedua tantangan tersebut. Masalah-masalah itu diantaranya adalah: pertama, gereja hanya mempunyai sebuah teologi yaitu teologi zending. Teologi ini berasal dari barat dan yang diwariskan kepada mereka oleh para missionaris-missionaris barat. Dalam konteks Indonesia, Mojou mengkarakteristikan teologi zending dalam tiga sifat: (1) triumphalistis; (2) model kesadaran teologis isolatif- asosial, dan (3) model kesadaran teologis eksklusivitis.[3] Dengan karakteristik teologi yang semacam ini, maka teologi zending cenderung untuk melayani kepentingan-kepentingan kolonialisme. Kedua pendidikan teologi yang ada semuanya dibangun ala Barat. Ilmu teologi yang dipelajari di dunia pendidikan teologi di Asia adalah ilmu teologi Eropa dan Amerika yang sudah diperkembangkan bertahun-tahun di sana dan dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan yang ada di sana.[4]
Jadi, terdapat jurang yang dalam antara apa yang dimiliki oleh gereja dan tantangan yang dihadapi gereja. Jurang semacam ini mendorong para pemimpin gereja untuk memikirkan ulang arti dan kehadiran gereja di tengah-tengah bangsanya. Dalam kerangka ini, persoalan untuk membangun kembali identitas dan kesaksian gereja serta persoalan pendidikan teologi yang relevan untuk itu, menjadi pusat perhatian para pemimpin gereja di negara-negara yang baru merdeka.[5]  Pada titik ini, Shoki Coe—yang selama beberapa dekade menggumuli persoalan tersebut—menjadi tokoh sentral. Bagi Coe, teologi zending dan pendidikan teologi barat tidak akan mampu mengatasi persoalan yang dihadapi oleh gereja-gereja yang berada di negara-negara yang baru saja merdeka sebab persoalan-persoalan tersebut tidak menjadi keprihatinan dari teologi zending dan pendidikan teologi Barat. [6] Oleh karena itu Coe menyatakan perlunya dilakukan reformasi di dalam pendidikan teologi.[7] Bagi Coe yang dibutuhkan oleh gereja-gereja di negara-negara baru adalah:

“kepemimpinan yang dipersiapkan untuk mengarahkan gereja-gereja untuk terlibat di dalam Missio Dei di tengah-tengah berbagai situasi yang kompleks dan revolusioner . . . [dan] pendidikan teologi yang effektif harus mengarah pada suatu pemahaman yang mendalam akan Injil di dalam konteks budaya tertentu dan setting keberagamaan dari gereja. Pendidikan seperti itu . . . akan mengarahkan gereja kepada sebuah pemahaman yang mendalam akan dirinya sendiri sebagai komunitas misioner yang dikirim ke tengah-tengah dunia dan untuk suatu perjumpaan yang lebih effektif ditengah-tengah kehidupan masyarakat.[8]

Coe juga menegaskan bahwa:

“hanya teologi yang lahir dari konteks kehidupan gereja tertentulah yang mampu menghidupi dan mendukung gereja itu dalam kesaksiannya kepada dunia”.[9]  

Berangkat pada pernyataan-pernyataan tersebut, Coe kemudian memperkenalkan istilah kontekstualitas dan kontekstualisasi (contextuality and contextualization) sebuah istilah teknis bagi usaha untuk mereformasi pendidikan teologi,[10] dan sekaligus bagi cara berteologi yang secara serius memperhatikan konteks.[11]
Coe sengaja memilih untuk menggunakan kedua istilah itu secara bersamaan, bukannya salah satu diantaranya. Bagi Coe, meskipun konteks diperhatikan secara serius bukan berarti kalau semua konteks harus dilihat sama rata. Sebab, tidak semua konteks mempunyai nilai strategis yang sama bagi Missio Dei dalam  melaksanakan tujuannya melalui sejarah.[12] Melalui istilah kontekstualitas, teologi mencoba memberikan penilaian kritis terhadap apa yang membuat konteks sungguh-sungguh bermakna di dalam terang Missio Dei. Dalam pengertian ini, kontekstualitas mencoba menemukan nilai khusus suatu konteks dan kemudian melihat nilai khusus tersebut di dalam terang misi gereja sebagaimana ia dipanggil untuk berpartisipasi di dalam Missio Dei.
Cara berteologi yang diajukan oleh Coe ini tidak hanya berhenti pada penilaian atas konteks dan merumuskan penilaian itu ke dalam bahasa atau rumusan-rumusan teologi. Tetapi harus memunculkan kemampuan untuk memberi tanggapan dan berkontekstualisasi. Kontekstualitas yang otentik, karenanya, akan selalu mengarah pada kontekstualisasi.  Gerrit Singgih dengan tepat merumuskan kontekstualisasi ketika dia menyatakan bahwa “kontekstualisasi adalah  masalah praksis, itu berarti berhubungan dengan masalah bagaimana orang Kristen memahami diri di dalam situasinya yang riil dan konkret, supaya dengan demikian dan pada waktu yang sama, karyanya real dan konkret pula.”[13]  Dengan kata lain, kontekstualitas adalah dimensi ‘teori’ atau ‘ortodoksi’ sementara kontekstualisasi adalah dimensi ‘aksi’ atau ‘ortopraksis.’ Kontekstualitas dan kontekstualisai memang dapat dibedakan, namun tak dapat dipisahkan. Keduanya selalu berdialektik. Hanya melalui dialektika inilah teologi menjadi teologi yang otentik.
Coe menyebut cara berteologi yang diajukannya itu sebagai serius memperhatikan konteks ini sebagai sebuah cara berteologi yang baru dan menamainya contextualizing theology (mengkontekstualisasikan teologi) bukan ‘teologi kontekstual’ (contextual theology) atau ‘teologi yang dikontekstualisasikan’ (contextualized theology).[14]
Sampai di sini, kita bisa melihat semangat apa yang telah melahirkan teologi kontekstual. Ada tiga semangat. Pertama, semangat untuk lepas dari kolonialisme. Semangat untuk lepas ini, tidak terbatas pada kolonialisme fisik, tetapi juga kolonialisme pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Kedua, ketidakpuasan terhadap teologi dan pendidikan teologi yang tradisional. Ketiga, semangat untuk menemukan identitas




[1]Wilbert R. Shenk, “Contextual Theology: The Last Frontier” in Sanneh, Lamin And Joel A. Carpenter, dalam The Changing Face of Christianity Africa, the West, and the World I(Oxford: Oxford University Press, 2005) p. 192
[2]Ibid. p. 192
[3] Julianus Mojau, “Memahami Ulang Paradigma Teologi Zending
Dalam Konteks Konflik Antar Agama Di Indonesia Dewasa Ini” dalam http://www.pgi.or.id/artikelteologi.php pada 20 Juni 2008
[4] Lih. P.D. Latuihamalo, “Sekitar Persoalan Kontekstualisasi” dalam M.A. Ihromi dan S. Wismoadi Wahono (peny), Theo-doron Pemberian Allah Kumpulan Karangan dalam rangka menghormati Usia 75 tahun Prof. D. Dr. Theodor Mueller-Krueger, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979)  p. 8
[5] Wilbert R. Shenk, “Contextual Theology . . . ,” p.
[6] Ibid
[7] Shoki Coe “Kontekstualisasi Sebagai Jalan menuju Pembaruan Teologi” dalam Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia Tema-Tema Teologi Yang Tampil ke Permukaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) 13
[8] Wilbert R. Shenk, “Contextual Theology . . . ,” p. 206
[9] Ibid. 193
[10] Shoki Coe “Kontekstualisasi  . . .,” p. 13
[11] Wilbert R. Shenk, “Contextual Theology . . . ,” P. 193
[12] Shoki Coe “Kontekstualisasi  . . .,” p. 15-16
[13] Gerrit Singgih, Dari Israel Ke Asia: Masalah Hubungan di Antara Kontekstualisasi Teologis dengan Interpretasi Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982) p. 19
[14]Ibid. p 16-17;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar