Lahirnya Teologi Kontekstual
Oleh:
Chlaodhius Budhianto
Sebagai sebuah bentuk dan cara
berteologi, teologi kontekstual lahir pada awal tahun 1970-an. Sebagaimana yang
tersirat di balik namanya dan juga keprihatinnya, teologi kontekstual tidak
turun begitu saja dari langit. Teologi ini lahir dari kandungan sejarah tahun
1970-an. Sebagai yang demikian itu, teologi kontekstual juga mewarisi semangat
zamannya. Semangat zaman inilah yang coba kita tangkap, sehingga dalam upaya
kita untuk mengembangkan suatu teologi yang kontekstual, kita tidak terjebak
untuk menerima bentuk dan cara berteologi kontekstual seperti apa adanya. Namun
mampu mengkritisi teologi tersebut, sehingga ketika kita memilih bentuk dan
cara berteologi itu kita mampu mempertanggung jawabkannya.
Istilah ‘kontekstualisasi’ pada
mulanya muncul sekitar tahun 1972 di dalam dikalangan Teological education Fund (TEF). Orang yang pertama kali
memperkenalkan istilah tersebut adalah Shoki
Coe, seoarang teolog Asia asal Taiwan.[1]
Meski baru muncul pada tahun 1972, kelahiran
teologi kontekstual tidak pernah bisa dilepaskan dari krisis yang melanda dunia
teologi, khususnya teologi misi, yang melanda gereja pada tahun 1950-an.
Pada tahun 1950-an berbagai
gereja—yang merupakan hasil dari pekerjaan misi Barat—di Asia, Afrika dan Amerika
Latin, mulai mempergumulkan keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat yang
sedang mengamali transisi yang sangat cepat. India, Pakistan dan Indonesia
telah berhasil melepaskan dirinya dari cengkeraman penjajahan negara-negara
Eropa, dan banyak negara lainnya juga akan segera menyusul. Transisi dari
negara terjajah menjadi negara merdeka itu mendorong negara-negara baru itu berjuang
untuk membangun identitasnya sendiri sebagai dasar bagi usaha mereka dalam pembangunan
bangsanya ditengah-tengah zaman modern.
Di
negara-negara yang baru merdeka itu, gereja-gereja diperhadapkan pada dua
tantangan. Pertama, mereka dituntut
tanggungjawabnya untuk memberi kontribusi bagi pembangunan nasional. Kedua, mengembangkan sebuah teologi yang
berakar di dalam konteks mereka sendiri dan yang dapat membimbing mereka di
dalam kehidupan dan kesaksian mereka.[2]
Kedua
tantangan ini tidak dengan mudah dijawab oleh gereja. Sebab di dalam gereja
sendiri tersimpan sejumlah masalah yang menghalanginya untuk segera menjawab
kedua tantangan tersebut. Masalah-masalah itu diantaranya adalah: pertama, gereja hanya mempunyai sebuah
teologi yaitu teologi zending. Teologi ini berasal dari barat dan yang diwariskan
kepada mereka oleh para missionaris-missionaris barat. Dalam konteks Indonesia,
Mojou mengkarakteristikan teologi zending dalam tiga sifat: (1) triumphalistis; (2) model kesadaran teologis isolatif-
asosial, dan (3) model kesadaran teologis eksklusivitis.[3]
Dengan karakteristik teologi yang semacam ini, maka teologi zending cenderung
untuk melayani kepentingan-kepentingan kolonialisme. Kedua pendidikan teologi yang ada semuanya dibangun ala Barat. Ilmu teologi yang dipelajari di dunia pendidikan teologi
di Asia adalah ilmu teologi Eropa dan Amerika yang sudah diperkembangkan bertahun-tahun
di sana dan dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan yang ada di sana.[4]
Jadi,
terdapat jurang yang dalam antara apa yang dimiliki oleh gereja dan tantangan
yang dihadapi gereja. Jurang semacam ini mendorong para pemimpin gereja untuk
memikirkan ulang arti dan kehadiran gereja di tengah-tengah bangsanya. Dalam
kerangka ini, persoalan untuk membangun kembali identitas dan kesaksian gereja serta
persoalan pendidikan teologi yang relevan untuk itu, menjadi pusat perhatian
para pemimpin gereja di negara-negara yang baru merdeka.[5]
Pada titik ini, Shoki Coe—yang selama
beberapa dekade menggumuli persoalan tersebut—menjadi tokoh sentral. Bagi Coe, teologi
zending dan pendidikan teologi barat tidak akan mampu mengatasi persoalan yang
dihadapi oleh gereja-gereja yang berada di negara-negara yang baru saja merdeka
sebab persoalan-persoalan tersebut tidak menjadi keprihatinan dari teologi
zending dan pendidikan teologi Barat. [6]
Oleh karena itu Coe menyatakan perlunya dilakukan reformasi di dalam pendidikan
teologi.[7]
Bagi Coe yang dibutuhkan oleh gereja-gereja di negara-negara baru adalah:
“kepemimpinan yang dipersiapkan untuk mengarahkan
gereja-gereja untuk terlibat di dalam Missio
Dei di tengah-tengah berbagai situasi yang kompleks dan revolusioner . . . [dan]
pendidikan teologi yang effektif harus mengarah pada suatu pemahaman yang
mendalam akan Injil di dalam konteks budaya tertentu dan setting keberagamaan dari
gereja. Pendidikan seperti itu . . . akan mengarahkan gereja kepada sebuah
pemahaman yang mendalam akan dirinya sendiri sebagai komunitas misioner yang
dikirim ke tengah-tengah dunia dan untuk suatu perjumpaan yang lebih effektif
ditengah-tengah kehidupan masyarakat.[8]
Coe juga
menegaskan bahwa:
“hanya teologi yang lahir dari konteks kehidupan gereja
tertentulah yang mampu menghidupi dan mendukung gereja itu dalam kesaksiannya
kepada dunia”.[9]
Berangkat
pada pernyataan-pernyataan tersebut, Coe kemudian memperkenalkan istilah
kontekstualitas dan kontekstualisasi (contextuality and contextualization) sebuah istilah teknis bagi usaha
untuk mereformasi pendidikan teologi,[10]
dan sekaligus bagi cara berteologi yang secara serius memperhatikan konteks.[11]
Coe sengaja memilih untuk menggunakan kedua istilah itu secara
bersamaan, bukannya salah satu diantaranya. Bagi Coe, meskipun konteks
diperhatikan secara serius bukan berarti kalau semua konteks harus dilihat sama
rata. Sebab, tidak semua konteks mempunyai nilai strategis yang sama bagi Missio
Dei dalam melaksanakan
tujuannya melalui sejarah.[12]
Melalui istilah kontekstualitas, teologi mencoba memberikan penilaian
kritis terhadap apa yang membuat konteks sungguh-sungguh bermakna di dalam
terang Missio Dei. Dalam pengertian ini, kontekstualitas mencoba
menemukan nilai khusus suatu konteks dan kemudian melihat nilai khusus tersebut
di dalam terang misi gereja sebagaimana ia dipanggil untuk berpartisipasi di
dalam Missio Dei.
Cara berteologi yang diajukan oleh Coe ini tidak hanya berhenti pada
penilaian atas konteks dan merumuskan penilaian itu ke dalam bahasa atau
rumusan-rumusan teologi. Tetapi harus memunculkan kemampuan untuk memberi
tanggapan dan berkontekstualisasi. Kontekstualitas yang otentik, karenanya,
akan selalu mengarah pada kontekstualisasi.
Gerrit Singgih dengan tepat merumuskan kontekstualisasi ketika dia
menyatakan bahwa “kontekstualisasi adalah masalah praksis, itu berarti berhubungan dengan masalah bagaimana
orang Kristen memahami diri di dalam situasinya yang riil dan konkret, supaya
dengan demikian dan pada waktu yang sama, karyanya real dan konkret pula.”[13]
Dengan kata lain, kontekstualitas adalah
dimensi ‘teori’ atau ‘ortodoksi’ sementara kontekstualisasi adalah dimensi
‘aksi’ atau ‘ortopraksis.’ Kontekstualitas dan kontekstualisai memang dapat
dibedakan, namun tak dapat dipisahkan. Keduanya selalu berdialektik. Hanya
melalui dialektika inilah teologi menjadi teologi yang otentik.
Coe menyebut cara berteologi yang diajukannya itu sebagai serius
memperhatikan konteks ini sebagai sebuah cara berteologi yang baru dan
menamainya contextualizing theology (mengkontekstualisasikan teologi)
bukan ‘teologi kontekstual’ (contextual theology) atau ‘teologi
yang dikontekstualisasikan’ (contextualized theology).[14]
Sampai di sini, kita bisa melihat semangat apa yang telah melahirkan
teologi kontekstual. Ada tiga semangat. Pertama, semangat untuk
lepas dari kolonialisme. Semangat untuk lepas ini, tidak terbatas pada
kolonialisme fisik, tetapi juga kolonialisme pemikiran termasuk pemikiran
keagamaan. Kedua, ketidakpuasan terhadap teologi dan pendidikan
teologi yang tradisional. Ketiga,
semangat untuk menemukan identitas
[1]Wilbert R.
Shenk, “Contextual Theology:
The Last Frontier” in Sanneh, Lamin
And Joel A. Carpenter, dalam The Changing Face of
Christianity Africa, the West, and the
World I(Oxford: Oxford University Press, 2005) p. 192
[2]Ibid. p. 192
[3] Julianus Mojau,
“Memahami Ulang Paradigma Teologi Zending
Dalam Konteks Konflik Antar Agama Di Indonesia Dewasa Ini” dalam http://www.pgi.or.id/artikelteologi.php pada 20 Juni 2008
Dalam Konteks Konflik Antar Agama Di Indonesia Dewasa Ini” dalam http://www.pgi.or.id/artikelteologi.php pada 20 Juni 2008
[4] Lih. P.D. Latuihamalo, “Sekitar Persoalan Kontekstualisasi” dalam
M.A. Ihromi dan S. Wismoadi Wahono (peny), Theo-doron
Pemberian Allah Kumpulan Karangan dalam rangka menghormati Usia 75 tahun Prof.
D. Dr. Theodor Mueller-Krueger, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979) p. 8
[5] Wilbert
R. Shenk, “Contextual Theology . . . ,” p.
[6] Ibid
[7] Shoki Coe “Kontekstualisasi Sebagai Jalan
menuju Pembaruan Teologi” dalam Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia Tema-Tema Teologi Yang Tampil ke Permukaan, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996) 13
[8] Wilbert
R. Shenk, “Contextual Theology . . . ,” p. 206
[9] Ibid. 193
[10] Shoki Coe “Kontekstualisasi . . .,” p. 13
[11] Wilbert
R. Shenk, “Contextual Theology . . . ,” P. 193
[12] Shoki Coe “Kontekstualisasi . . .,” p. 15-16
[13] Gerrit Singgih, Dari Israel Ke Asia:
Masalah Hubungan di Antara Kontekstualisasi Teologis dengan Interpretasi
Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1982) p. 19
[14]Ibid. p 16-17;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar