Minggu, 16 Februari 2014

Pendekatan Historis-Kritis



Pendekatan Historis-Kritis
Oleh: Chlaodhius Budhianto

But the underlying motivation of 'historical' criticism is to free the text to speak. Where it has failed to do this, that is, in my judgement, because it has continued to be too hidebound by tradition and by the expectations of the wider religious community; and the cure is more criticism, not less.
(John Barton)

1.        Pendahuluan
Metode Historis-kritis merupakan pendekatan yang sempat merajai jagad studi biblika pada pertengahan abad ke-19 sampai seperempat abad terakhir dari abad ke-20. Pada masa kini, banyak orang menganggap pendekatan historis-kritis telah mengalami kebangkrutan. Kekuasaannya pendekatan yang memusatkan perhatian pada dunia dibelakang teks ini, telah digerogoti oleh pendekatan-pendekatan lain yang memusatkan perhatian pada dunia teks dan dunia di depan (pembaca) teks. Walau demikian, pendekatan historis kritis masih tetap menjadi pendekatan standar diberbagai fakultas atau sekolah teologi di berbagai belahan dunia. Para pakar studi biblika juga masih menggunakan pendekatan ini dan bahkan memperbaharuinya. Metode historis-kritis bahkan disebut-sebut sebagai pendekatan yang paling akademis. Oleh karena itu, akan menjadi tidak adil kalau di dalam perkuliahan hermeneutika Alkitab, kita mengabaikan pendekatan ini.

2.        Pengertian Pendekatan Historis Kritis.
Apa itu pendekatan Historis-Kritis ? Menjawab pertanyaan ini bukan pekerjaan yang mudah. Di samping kontroversial, berbagai istilah dilabelkan kepada pendekatan ini, seperti metode historis-kritis,’metode historis,’ kritik historis, ‘kritik Alkitab, ‘Kritik Tradisional’ (Traditional Criticism) dan gramatico-historis.[1] Sama seperti istilahnya yang beragam, para pengguna dan pembela pendekatan ini memberikan definisi yang begitu bebas dan dengan beragam cara. Moore-Jumonville memetakan keragaman tersebut pada tiga aspek: definisi, objek dan tujuan.[2]
Dilihat sari segi definisi, ada tiga kelompok pemahaman. Pertama, kelompok yang memandang pendekatan ini sebagai ilmu penafsiran, yang mengklarifikasi, menggambarkan dan menganalisa literature Alkitab. Kedua, kelompok yang melihat pendekatan ini sebagai usaha untuk mengevaluasi--mengestimasi otentisitas dan bahkan validitas dari konsep-konsep dan materi-materi yang ada di dalam Alkitab.  Ketiga, kelompok yang melihat pendekatan ini sebagai usaha untuk menentukan asal-usul dari teks-teks Alkitab dan untuk merekonstruksi berbagai peristiwa yang terjadi dibelakang teks Alkitab. 
Dilihat dari segi objek dimana pendekatan ini diarahkan  terdapat dua kelompok. Pertama, kelompok konservative dan moderat yang menyatakan bahwa objek dari pendekatan ini adalah Alkitab yang Kanonik. Kedua, kelompok liberal dan radikal yang menggunakannya untuk menyelidiki kesadaran religius setiap individu yang percaya, atau seluruh lingkungan sosio-politik yang menghasilkan teks-teks keagamaan. 
Sementara itu, dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, ada tiga kelompok. Pertama, kelompok konservatif yang menggunakan metode ini untuk mempertahankan dogma yang ortodox dan pandangan tradisional tentang kepenulisan dan komposisi Alkitab. Kedua, kelompok moderat, memanfaatkan metode ini untuk membangun suatu teologi yang lebih alkitabiah dengan cara membersihkan lapisan-lapisan tradisi yang salah yang telah ditambahkan ke dalam Alkitab selama berabad-abad. Ketiga, kelompok yang menggunakan pendekatan ini dengan maksud untuk memodernisasikan keyakinan-keyakinan yang telah usang.
Kesulitan untuk mendefinisikan apa itu metode historis kritis, semakin bertambah karena pendekatan ini selalu mengalami perkembangan. Sama seperti disiplin akademis yang lain, pendekatan historis kritis adalah pendekatan yang kritis terhadap dirinya sendiri. Ia adalah disiplin yang senantiasa mempertanyakan hakekat dirinya, asumsi-asumsinya dan juga metode-metode penyelidikannya. Karena karakternya itu, metode historis-kritis tidak malu-malu untuk meminjam metode-metode yang lain dan kemudian memodifikasi yang dirinya. Oleh karena itu, sangatlah tepat ketika John Rogerson berkata bahwa pendekatan historis-kritis adalah pendekatan yang mempunyai “banyak aliran yang membuat metode historis-kritis bukan metode yang monolitik dan fenomena yang tidak pernah berubah.”[3] 
Sadar dengan berbagai kesulitan tersebut maka disini, historis kritis akan dipahami sebagai sebuah payung istilah bagi sekelompok metode dan pendekatan yang saling berhubungan. Metode atau pendekatan itu terentang dari kritik teks, kritik bentuk, kritik sumber, kritik redaksi, kritik tradisi, kritik sejarah sampai kritik ilmu-ilmu sosial. Berbagai metode dan pendekatan yang berbeda-beda itu dijalin sedemikian rupa dan digunakan untuk merekonstruksi sejarah Israel, gereja perdana dan proses pembentukan teks-teks Alkitab, genrenya, sastranya, dan juga teologinya.

3.        Perkembangan Pendekatan Historis-Kritis
Dalam batas-batas tertentu, pendekatan historis-kritis bermula dari model penafsiran yang dikembangkan oleh mashab Antiokhia (awal abad ke-3).[4] Untuk melawan mashab Aleksandria yang menerapkan model penafsiran alegoris, mashab Anthiokia menggunakan berbagai analisis linguistuk untuk memahami keragaman bacaan, gaya, diksi, etimologi dan berbagai figure ucapan dan kemudian mencari berbagai informasi yang melatarbelakangi teks-teks Alkitab.[5] Lewat penafsiran semacam itu, Mashab Antiokhia disebut-sebut sebagai pioneer bagi pendekatan historis-kritis yang modern.[6]
Perkembangan yang sangat berarti bagi pendekatan historis-kritis terjadi pada masa renaisanse, reformasi gereja dan pencerahan.[7] Para pemikir Kristen di zaman renaisanse yang membawa semangat untuk ‘kembali ke sumber’ (back to the sources) telah dengan sungguh-sungguh berusaha memperbaharui studi tentang teks-teks Alkitab yang berbahasai Ibrani dan Yunani. Kemudian, pada era reformasi gereja, semangat ‘sola scriptura’ telah mendorong para reformator untuk melepaskan diri dari tradisi gerejawi yang telah mendominasi pemaknaan kitab suci. Dalam rangka mencari makna teks Alkitab, para pemikir dari gerakan reformasi, dengan bebas menggunakan prinsip-prinsip penafsiran yang rasional.[8] Selanjutnya, para pemikir era pencerahan semakin mematangkan pendekatan historis-kritis. Di bawah pengaruh pemikiran Cartesian, skeptisisme dari Pyrhonian dan Deisme di Inggris, para para pemikir pencerahan mulai mempertanyakan historisitas dari mujizat-mujizat yang ada di dalam kitab suci, menyelidiki kebersejarahan Yesus, mengeksplorasi berbagai jenis teks dan sumber-sumber Alkitab, serta mengajukan berbagai pertanyaan historis, seperti kepengarangan, waktu dan tempat penulisan, tujuan penulisan, penerima, dan lain sebagainya.[9]
Frederich Schleirmacher—yang dikenal sebagai bapa hermeneutika modern--merespon semangat era pencerahan itu dengan memperkenalkan suatu jenis penafsiran yang terfokus pada pikiran penulis dan lokasi sosio-historisnya. Jejak Schleirmacher kemudian diikuti oleh William Dilthey yang menambahkan satu aspek lagi dari teori penafsiran Schleirmacher, yaitu relasi antara penulis dengan teks dalam proses penafsiran.
Setelah era pencerahan, pendekatan historis-kritis terus berkembang dengan pesat. Untuk mencapai tujuannya, Ia terus mengalami pembaharuan dan penghalusan metodologi.[10] Pada awalnya, pendekatan ini hanya berkutat pada soal-soal pengantar (seperti otentisitas, kesatuan dan isi tulisan, maksud dan tujuan tulisan dan latar belakangnya) dan kritik teks. Namun ia kini berkembang lebih lanjut. Perkembangan tahap pertama, terjadi ketika pendekatan ini memasukan pendekatan literer untuk memahami isi dan karakter literer serta gaya dari sebuah teks. Setelah itu pendekatan ini mengalami penghalusan kembali dengan memasukkan pendekatan (kritik) sumber yang bermaksud untuk menentukan pra-sejarah dari teks-teks Alkitab. Modifikasi terjadi kembali ketika ia memasukan pendekatan kritik bentuk, kritik redaksi dan juga kritik ilmu-ilmu sosial. Hasil dari semua perkembangan tersebut adalah pendekatan historis-kritis disebut-sebut sebagai pendekatan yang paling akademis dan menjadi penguasa jagat studi biblika selama lebih dari satu abad.

4.        Tujuan Pendekatan Historis-Kritis.
Pendekatan historis kritis, yang sangat beragam dan terus berkembang membuat pendekatan ini sering dituduh sebagai pendekatan yang tidak jelas dan kegunaannya dipertanyakan. Tuduhan tersebut tidaklah tepat. Sekalipun beragam dan dinamis, berbagai pendekatan dan metode yang bernaung dibawah payung historis kritis, disatukan oleh tujuan dan prinsip yang sama. Adapun yang menjadi tujuan dari pendekatan historis-kritis adalah:

a.      Rekonstruksi Sejarah Teks
Pendekatan historis-kritis punya interes tentang asal-usul setiap teks Alkitab.[11] Interes ini didasarkan pada anggapan bahwa teks-teks Alkitab itu bersifat historis.[12] Sekalipun Alkitab dipercaya memiliki dimensi Illahi, ia tidak jauh berbeda dengan berbagai aspek lainnya dalam kehidupan, yaitu punya sejarah dan perkembangan. Alkitab punya masa lalu. Ia ditulis dalam bahasa Ibrani, Yunani dan beberapa dalam bahasa Aram. Bentuk dan isinya berhutang pada bahasa, berbagai bentuk pemikiran, dan juga pandangan dunia yang ada di dunia Mesopotamia dan Yunani Kuno. Ia ditulis oleh orang atau sekelompok orang di masa lalu yang juga punya berbagai kepentingan historis.

Untuk sampai pada bentuknya yang sekarang, Alkitab telah melewati sejarah yang sangat panjang. Bentuk awal dari Alkitab adalah berbagai tradisi, baik lisan maupun tulisan, yang terpisah-pisah dan berasal dari berbagai komunitas dan era yang berbeda-beda. Berbagai tradisi itu, kemudian diseleksi, diedit, disusun dan diturunalihkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Proses ini tidak hanya terjadi sekali, namun berkali-kali dan dalam tempo yang sangat lama.

Berdasarkan anggapan tersebut, pendekatan historis kritis berhasrat untuk merekonstruksi sejarah teks-teks Alkitab. Pendekatan ini bertanya: bagaimana teks tersebut muncul ? mengapa, di mana, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana teks-teks tersebut ditulis ? Siapa penulisnya dan untuk siapa teks-teks tersebut ditulis, disunting, dihasilkan dan dipelihara ? mengapa sampai teks itu muncul, lalu apa saja yang mempengaruhi kemunculannya, pembentukannya, perkembangannya, pemeliharaannya dan penyebarluasannya ?

b.      Rekonstruksi Sejarah di belakang Teks
Teks-teks Alkitab tidak hanya memiliki sejarah (sejarah teks). Ia juga menuturkan sebuah sejarah.[13] Tuturan sejarah itu secara eksplisit dapat ditemukan didalam Alkitab sendiri. Di Alkitab ditemukan banyak sekali kisah tentang tokoh, peristiwa, kondisi sosial dan gagasan-gagasan tertentu. Secara implisit, tuturan sejarah itu bisa ditemukan dalam proses penyeleksian, pengeditan, penyusunan dan penurun-alihan. Proses-proses ini juga mencerminkan situasi dan kondisi sosial-budaya dan politis yang secara nyata dihadapi oleh komunitas-komunitas yang memiliki hubungan dengan Alkitab. Disiplin Sosiologi Pengetahuan, telah memperlihatkan hubungan timbal balik antara teks yang disusun dan berkembang dengan sejarah dari komunitas penghasil dan penerus suatu teks, termasuk teks-teks Alkitab.  

Pendekatan historis-kritis memanfaatkan tuturan sejarah tersebut untuk melihat dunia di balik teks.[14] Teks dijadikan sebagai jendela yang memberikan akses kepada penafsir untuk melihat berbagai peristiwa, baik itu sosial, politik, ekonomi, maupun budaya yang terjadi di masa lalu. Pendekatan Historis Kritis berusaha merekonstruksi berbagai peristiwa tersebut untuk menerangi makna dari teks.

c.       Makna Asli dari Teks.
Menemukan makna asli dari teks menjadi tujuan utama dari pendekatan historis kritis. Untuk tujuan tersebut, pendekatan historis memusatkan perhatiannya pada aras semantik (studi tentang makna) dari teks pada semua tingkatan, baik itu ditataran kata, frase, kalimat, perikop dan bahkan keseluruhan kitab. Selain semantik, pencarian makna asli tersebut juga dilakukan dengan menempatkan teks dalam konteks sejarahnya. Saat pendekatan historis kritis mencoba merekonstruksi sejarah teks dan sejarah dibelakang teks, mereka sedang mencoba untuk memahami teks seturut dengan apa yang hendak dikatakan oleh teks bagi pembaca perdana. 

5.        Prinsip-prinsip pendekatan Historis-Kristis.
Seperti telah disebutkan, pendekatan historis-kritis yang beragam dan dinamis tersebut, selain disatukan oleh tujuan juga disatukan oleh prinsip-prinsip yang sama. Prinsip tersebut diartikulasikan dengan jelas oleh Ernst Troelsch, seorang teolog dan sosiolog agama berkebangsaan Jerman.[15] Prinsip-prinsp tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Otonomi sejarawan.
Otonomi sejarawan menjadi prinsip pertama dari pendekatan historis kritis. Prinsip yang diasosiasikan dengan filsuf pencerahan, Immanuel Kant ini merepresentasikan adanya perubahan dalam apa yang disebut dengan moralitas pengetahuan (morality of knowledge). Budaya ilmiah abad pertengahan, para ilmuwan menganggap kepercayaan (belief) sebagai sebuah kebajikan dan keraguan dianggap sebagai dosa. Sejak Kant moralitas pengetahuan semacam itu ditentang. Keraguan tidak lagi dianggap sebagai dosa, tapi justru dipandang sebagai langkah yang diperlukan di dalam menguji suatu pengetahuan. Hal yang sama juga berlaku bagi kepercayaan. Keinginan untuk percaya dipandang sebagai ancaman bagi pemikiran rasional.

Dalam konteks studi biblika, prinsip otonomi ini menyatakan diri dalam bentuk pemberontakan terhadap otoritas gerejawi. Jika sebelumnya, tradisi penafsiran Alkitab sangat dikendalikan oleh gereja, maka dengan adanya prinsip otonomi, gereja tidak lagi punya hak untuk mengontrol dan mengendalikan para penafsir Alkitab. Para penafsir Alkitab punya kebebasan untuk menafsirkan Alkitab dan tidak takut-takut lagi untuk dianggap dosa dan sesat.

b.      Analogi
Prinsip analogi ingin menyatakan bahwa pengetahuan historis itu mungkin sebab pada prinsipnya semua peristiwa itu sama. Prinsip ini didasarkan pada keyakinan bahwa teks-teks kuno, termasuk Alkitab adalah produk manusia dan bahwa hakekat manusia itu tidak pernah mengalami perubahan yang berada diluar jangkauan pemahaman. Oleh karena itu manusia dapat mengetahui apa yang masuk akal di masa lalu karena manusia tahu apa yang dia mampu.

Dalam studi biblika, prinsip ini telah melahirkan sejumlah persoalan berkaitan dengan cerita-cerita mujizat. Sekalipun begitu, prinsip ini juga menjadikan kisah-kisah tersebut menjadi semakin hidup dengan digunakakannya berbagai pengalaman modern sebagai analogi.

c.       Kritis
Prinsip kritis didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang terus berproses. Hasil-hasil ilmu pengetahuan itu bersifat sementara. Hasil-hasil Ilmu pengetahuan akan senantiasa diperbaharui seiring dengan ditemukannya bukti-bukti baru. Oleh karena itu, apa yang coba dikembangkan oleh setiap ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang paling mendekati kebenaran, bukan kebenaran akhir. Dalam kaitannya dengan sejarah, ilmu sejarah berupaya merekonstruksi masa lalu berdasarkan data-data yang paling mendekati kenyataan dan tersedia.

Berdasarkan pada prinsip semacam ini, pendekatan historis kritis tidak pernah puas dengan berbagai pengetahuan yang telah dihasilkannya, ia senantiasa meragukan temuannya itu dan kemudian mengujinya kembali. Karena sikapnya tersebut, pendekatan historis-kritis dan juga para penggunanya sering dianggap sebagai pembuat onar, terutama bagi gereja-gereja yang konservatif. Sebab sikap kritisnya tersebut dianggap telah menggerogoti otoritas gereja dan juga kitab suci.

6.        Kesimpulan
Berbagai pendekatan yang bernaung dibawah nama historis-kritis, adalah sebuah pendekatan penafsiran yang tujuan utamanya adalah merekonstruksi sejarah teks-teks Alkitab, merekonstruksi sejarah dibelakang teks-teks Alkitab dan menemukan makna asli dari teks-teks tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatan ini bekerja berdasarkan prinsip otonomi, analogi dan kritis.




[1] Pelabelan yang berbeda-beda ini lih. Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, Philadelphia: Fortress Press, 1975, hlm. 33; Stanley Porter dan Beth M. Stowll, ‘Introduction Trajectories in Biblical Hermeneutics’ dalam Stanley Porter dan Beth M. Stowll, (ed.),  Biblical Hermeneutics Five Views, Downer Grove: InterVarsity Press, 2012, hlm. 12-13; John Barton, The Nature of Biblical Criticism, Louisville and London: Westminster John Knox Press, 2007, hlm 1,39, 56; David. W. Aune, ‘Historical Criticism’ dalam David. W. Aune (ed.) The Blackwell Companion to the New Testament, West Sussex:Wiley-Blackwell, 2010
[2]Moore-Jumonville The Hermeneutics of Historical Distance: Mapping the Terrain of American Biblical Criticism, 1880-1914, xxi
[3]John Rogerson, ‘Historical Criticism and Authority of the Bible’, dalam J. W. Rogerson and Judith M. Lieu  (ed.) Oxford Handbooks of Biblical Studies, Oxford: Oxford University Press, 2006, hlm. 842
[4]Stanley Porter dan Beth M. Stowll, ‘Introduction Trajectories in Biblical Hermeneutics’, hlm 13
[5] Kurt A. Richardson, 'The Antochen School' dalam Stanley A. Porter (ed.), Dictionary of  Biblical Criticism and Interpretation, London: Routledge, 2007, hlm. 15
[6] Ibid.
[7]David. W. Aune, ‘Historical Criticism’,
[8]Barton, hlm, 16
[9]Stanley Porter dan Beth M. Stowll, ‘Introduction Trajectories in Biblical Hermeneutics’, hlm 13
[10] Joseph A. Fitzmyer, ‘Historical Criticism: Its Role in Biblical Interpretation and Church Life.’ Dalam Theological Studies vol. 50 th. 1989, hlm. 250-251.
[11]John Barton (ed.), The Cambridge Companion to Biblical Interpretation, Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 11
[12]John H. Hayes, Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006, hlm. 52; Lih. Juga Stephen C. Barton, ‘Historical-Criticism and Social Scientific Criticism’ dalam Joel B. Green, Hearing the New Testament Strategies for Interpretation, Grand Rapid: Eerdmans, 1995, hlm. 63.
[13]John H. Hayes, Pedoman . . . ., 52
[14]John H. Hayes, 52, lih. Juga Craig L. Blomberg, ‘The Historical Critical/ Grammatical View’ dalam Stanley Porter dan Beth M. Stowll, (ed.),  Biblical Hermeneutics Five Views, Downer Grove: InterVarsity Press, 2012.
[15]John J. Collins, The Bible after Babel: Historical Criticism in a Postmodern Age, Grand Rapid: Wm. Î’. Eerdmans Publishing Co., 2005,  hlm. 5-6


Minggu, 09 Februari 2014

Ilmu Seni dan Ilham Pengantar Ke dalam Hermeneutika Alkitab

Ilmu Seni dan Ilham
Pengantar Ke dalam Hermeneutika Alkitab
Oleh: Chlaodhius Budhianto

1.      Pendahuluan
Hermeneutika Alkitab merupakan suatu kegiatan yang telah lama dilakukan oleh orang-orang percaya. Dalam arti tertentu, Kegiatan tersebut telah dimulai di dalam Alkitab sendiri.  Lewat apa yang sekarang dikenal dengan penafsiran di dalam alkitab (inner-biblical interpretation) para penulis Alkitab menggunakan bahan-bahan yang lebih tua sebagai dasar bagi karya-karyanya. Bahan-bahan yang lebih tua itu mereka kutip, baik secara langsung maupun tidak langsung, mereka singgung dan juga diberi komentar untuk kemudian dikonstruksi ulang sesuai dengan teologi mereka dan juga konteks yang mereka hadapi.
Meski menjadi kegiatan yang telah lama dilakukan, hemeneutika Alkitab tetap saja menjadi kegiatan yang menarik dan menantang. Banyak ahli memusatkan perhatiannya pada bidang ini. Uniknya, mereka datang ke jagad hemeneutika  Alkitab tidak dengan membawa perspektif yang monolitik, namun dengan beragam perspektif dan pendekatan. Bahkan tidak sedikit dari para ahli itu yang menggunakan perspektif dan pendekatan yang berasal dari luar disiplin ilmu agama, filsafat, antropologi, sosiologi, dan ilmu sastra.
Keragaman perspektif dan pendekatan itu sering membuat orang-orang yang baru memasuki bidang ini harus berjuang keras untuk memahami konsep-konsep yang ada dan kemudian menerapkannya. Salah satu contoh dari kesulitan itu, dapat dilihat ketika mereka berusaha memahami apa itu hemeneutika ? Oleh para ahli, kata tersebut sering digunakan secara bebas dan merepresentasikan sesuatu yang berbeda pula. Selain itu, pemaknaan kata tersebut sering dikacaukan dengan penggunaan konsep-konsep lain yang bersinonim, yaitu interpretasi dan eksegese. Oleh karena itu, pada bagian ini, penggunaan berbagai istilah tersebut perlu dijernihkan terlebih dahulu.


2.      Interpretasi, Hermeneutika, dan Eksegese
Secara heuristik,[1] interpretasi, hermeneutika, dan exegese adalah tiga istilah yang sama-sama menunjuk pada “studi dan perkembangan berbagai metode atau prinsip-prinsip yang menolong seseorang dalam menemukan arti dan makna dari suatu teks.”[2]
Kata ‘interpretasi’ merupakan serapan dari kata berbahasa Inggris: interpretation. Jika ditelusuri lebih lanjut, kata tersebut berasal dari bahasa latin ‘interpretatio’ (yang adalah terjemahan Latin dari kata Yunani hermeneutike). Makna dasar dari kata ‘interpretatio’ adalah mengatakan (to say), menjelaskan (to explain) dan menerjemahkan (to translate). Dari makna dasar tersebut, Randolp Tate mendefinisikan interpretasi sebagai “tugas untuk menjelaskan atau menarik keluar implikasi pemahaman tersebut bagi pembaca dan pendengar di masa kini. Jadi transformasi dari kesimpulan tersebut kepada aplikasi atau signifikansi bagi dunia si penafsir adalah interpretasi”[3]
Istilah yang kedua, ‘hermenautika’ (Ing: hermeneutics) berasal dari istilah dalam bahasa Yunani yaitu hermeneutike (kata sifat) yang berasal dari kata kerja hermenoio. Sama seperti kata interpretasi, kata hermenoio juga mempunyai arti dasar ‘mengatakan’ (to say), ‘menjelaskan’ (to explain) dan ‘menerjemahkan’ (to translate). Dari pengertian tersebut hermeneutika secara luas dapat didefinisikan sebagai “usaha untuk memahami segala yang dikatakan atau ditulis oleh seseorang.”[4] Meskipun demikian, secara tradisional, hermeneutika dipahami sebagai ilmu yang memformulasikan berbagai pedoman, hukum dan metode untuk menafsirkan makna asli suatu teks.[5] Untuk maksud tersebut, penafsir didorong untuk memulai proses penafsirannya dengan memahami bahasa yang digunakan oleh penulis teks, termasuk gramatika, kosakata dan gaya bahasanya. Dia memeriksa konteks linguistik, literer dan historis. Dengan kata lain, hermeneutika tradisional dimulai dengan mengenali bahwa sebuah teks itu dikondisikan oleh konteks sejarah.[6] Oleh karena itu, tak berlebihan jika dikatakan bahwa hermeneutika tradisional lebih terkait dengan persoalan metodologi.
Pergeseran yang sangat berarti terjadi pada abad ke-19, ketika berbagai teori filsafat tentang pemahaman dan makna dibawa masuk ke dalam pelbagai teori interpretasi kesusasteraan. Di tangan Schleirmacher, Wilhalm Dilthey, Martin Heidegger dan Hans-George Gadamer, dan Paul Ricoeur, hermeneutika berubah wajah dari sekedar metodologi menjadi filsafat. Di tangan tokoh-tokoh tersebut, tugas hermeneutika tidak lagi menyusun sekumpulan dalil untuk memahami sebuah teks, namun mengidentifikasi bagaimana sesuatu yang berasal dari masa lalu bisa ‘bermakna’ pada hari ini atau menjadi berarti secara eksistensial di dunia modern.[7] Dengan mengeksplorasi gagasan lingkaran hermeneutika (hermeneutic circle),[8] para pemikir tersebut tidak hanya berkutat pada teks dan maknanya, tapi juga menaruh perhatian pada si penafsir. Bagi mereka, teks dan penafsir adalah dua entitas yang berhubungan secara dialogis. Sebab setiap teks pada dasarnya ditulis dengan suatu horison atau cakrawala pemahaman tertentu yang terikat dengan sejarah.  Hal yang sama juga terjadi pada si penafsir, si penafsir juga terikat dengan horison tertentu. Karena penafsir dan teks sama-sama memiliki horison, maka tindakan penafsiran adalah proses peleburan dua horison lewat cara yang dialogis. Berpijak pada konsep lingkaran hermeneutis itulah maka pada masa kini “hermeneutika dimulai dengan pengakuan bahwa kondisi historis mempunyai dua sisi: penafsir modern, tidak lebih dari sebuah teks, berada diatas konteks sejarah dan tradisi.”[9] Dari situ hermeneutika kemudian didefinisikan dalam pengertian yang terbatas yaitu “penjelasan tentang makna sebuah teks bagi pembaca masa kini.”[10]
Istilah yang ketiga, eksegese, juga berasal dari Yunani exegesis. Kata benda exegesis berasal dari kata kerja exegeomai yang berarti ‘memimpin’, ‘menuntun’, ‘mengeluarkan.’  Secara literal, eksegese berarti ‘membawa keluar’ atau ‘mengeluarkan.’ Apabila dikenakan pada tulisann, kata tersebut berarti "membaca atau menggali" arti tulisan-tulisan itu.[11] Sama halnya dengan kata interpretasi dan hermeneutika, kata eksegese juga dipahami sebagai “artikulasi atau penemuan makna teks yang didasarkan pada pemahaman akan maksud dan tujuan dari penulis teks tersebut.”[12]
Kemiripan makna dari istilah interpretasi, hermeneutika dan eksegese tersebut membuat konsep-konsep tersebut sering disamakan. C.F. Evans, misalnya, mengatakan bahwa “hermeneutika hanyalah kata lain dari eksegese atau interpretasi.”[13] Hal yang sama juga dilakukan oleh Robert M. Grant dan David Tracy. Keduanya berpendapat:

karena kata ini [hermeneutika] kalihatannya telah hilang dalam penggunaan bahasa Inggris umum, maka kita memakai kata penafairan/interpretasi, kata yang lebih luas, untuk menggantikannya. . . . Perbedaan kadang-kadang dibuat antara penafsiran/interpretasi dan eksegesis. . . . Dalam studi kita, kita cenderung untuk menolak perbedaan ini dan memakai dua istilah ini dengen arti yang sama.[14]

Karena kemiripan dan penyamaan tersebut, tak mengherankan jika makna dari ketiga istilah tersebut sulit ditentukan. Padahal pembedaan di antara ketiganya sangat penting untuk memahami hakekat penyelidikan Alkitab dan apa yang hendak dicapai oleh para peneliti ketika menggunakan prosedur-prosedur penyelidikan yang khusus.
Hermeneutika adalah ilmu tentang interpretasi. Sebagai ilmu, hermeneutika menyelidiki interpretasi dari tiga sisi.: ontologis, epistemologis dan metodologis.[15] Oleh karena itu Hermeneutika tidak melulu bicara soal teks dan maknanya. Ia juga mempersoalkan interpretasi (apa itu interpretasi), pengetahuan yang dihasilkan interpretasi , dan metode interpretasi. Selain itu hermeneutika juga menyelidiki “keberadaan si penafsir—apa asumsi-asumsinya, prakondisinya, apakah kondisinya sedang berada dalam kondisi yang baik atau tidak, apa aktifitasnya, komitmen utama dan komponen manusiawinya, dll. yang masuk dan bahkan menentukan setiap tindak pemahaman manusia.”[16] Oleh karena itu hermeneutika akan selalu mengatakan “proses penafsiran dijalankan dengan teknik dan pra-paham berikut ini.”[17]
Sementara itu, interpretasi dipahami sebagai proses dan produk.[18] Sebagai proses, interpretasi adalah sebuah kegiatan untuk menjelaskan dan memahami (explanation and understanding) sebuah teks. Ia adalah jalan menuju makna suatu teks.[19] Sementara itu sebagai produk, ia menunjuk pada makna yang berhasil ditetapkan dan yang hendak dikomunikasikan kepada pembaca/pendengar masa kini.[20]
Penjelasan (eksplanasi) dan pemahaman (undersanding) adalah dua momen yang berbeda dari proses interpretasi, tapi berhubungan secara dialektis. Penjelasan adalah momen yang menunjuk pada proses penyelidikan teks secara metodis dengan menggunakan teknik-teknik tertentu dengan tujuan untuk menemukan makna sebuah teks dan menjernihkannya dari unsur-unsur yang mengaburkannya.[21] Sedangkan pemahaman adalah istilah yang lebih kompleks lagi. Ia punya dimensi ontologis dan epistemologis.[22] Di tataran epistemologis, pemahaman menunjuk pada bekerjanya kognisi manusia untuk mengetahui sesuatu. Dimensi epistemologis ini bersifat sekunder. Ia perlu ditransformasikan ke arah yang lebih primer, yaitu dimensi ontologis dari pemahaman, sebab pada dimensi ini, pemahaman menjadi karakteristik manusia yang fundamental. Ia adalah mode of being atau cara berada manusia di dunia: “menjadi, manusia, adalah untuk menjadi paham (to be, humanly, is to understand).” Pada dimensi ontologis, pemahaman itu tidak sekedar usaha kognisi, tapi juga penghayatan. Saat memahami, manusia tidak hanya tahu, tapi juga menghayati apa yang ia ketahui itu. Oleh karena itu, ketika dimensi epistemologis dari pengetahuan ditransformasikan ke dimensi ontologism, maka akan terjadi pula transformasi eksistensi manusia. [23]
Jika hermeneutika dipahami sebagai ilmu, interpretasi sebagai proses dan produk, maka eksegese dipahami sebagai praktek, prosedur dan metode yang digunakan oleh sesorang untuk memahami dan menentukan makna sebuah teks. Eksegese adalah momen penjelasan (eksplanasi) dari proses interpretasi.

 
 
3.      Ilmu, Seni dan Ilham: Hermeneutika Alkitab yang Adil
Sebagai sebuah teks yang menjadi area penyelidikan hermeneutika, Alkitab diselidiki lewat beragam konsepsi.[24] Di satu sisi ada penafsir yang mengkonsepsikan Alkitab sebagai teks yang ditulis oleh individu-individu yang diinsipirasi oleh Tuhan secara langsung, segera dan verbal. Konsepsi semacam ini melihat Alkitab, secara literal adalah Firman Allah. Setiap kata di dalam Alkitab berasal dari Tuhan dan memiliki otoritas yang sama dan mutlak. Tugas penafsir karena itu hanyalah menguraikan arti teks secara literal (yaitu arti secara leksikal, gramatikal dan atau yang dimaksudkan oleh penulis Alkitab.). Pada umumnya konsepsi ini dipegang oleh kaum fundamentalis.
Di sisi yang lain, ada penafsir yang mengkonsepsikan Alkitab sebagai teks yang sama dengan teks-teks lain. Para penafsir di kelompok ini melihat Alkitab sebagai kumpulan tulisan yang ditulis oleh manusia dengan bahasa manusia dan berbicara tentang pengalaman manusia. Oleh karena itu, Alkitab hanya bisa ditafsirkan dengan menerapkan semua metode, baik metode literer maupun historis, yang digunakan untuk menginterpretasikan teks-teks kuno lainnya.
Di antara kedua spektrum yang ekstrem tersebut, ada posisi yang ketiga, yaitu posisi yang melihat Alkitab adalah teks-teks yang unik. Alkitab memiliki dua dimensi, yaitu dimensi Illahi dan dimensi manusiawi. Dimensi illahi artinya, Alkitab mengkomunikasikan apa yang menjadi kehendak Allah kepada umat percaya. Kehendak Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab punya relevansi kekal. Ia relevan bagi seluruh umat manusia, di segala tempat, era dan budaya. Sekalipun begitu, kehendak Allah itu disampaikanNya lewat perantaraan manusia yang memiliki bahasa tertentu dan terbatas dengan ruang dan waktu tertentu pula. Inilah yang disebut dimensi manusiawi dari Alkitab. Dengan dimensi ini, Alkitab punya partikularitas sejarah (historical particularity). Ia dikondisikan oleh bahasa, ruang dan waktu, serta budaya para penulis-penulisnya.
Hakekat Alkitab yang ber-dwidimensi ini menjadikan Alkitab sebagai ‘ruang pertemuan.’[25] Ia menjadi tempat di mana manusia dan Tuhan saling berjumpa dan bercakap-cakap. Dalam perjumpaan tersebut, Allah menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia, dan manusia menjadi semakin paham akan apa yang menjadi kehendak Allah. Lewat cara demikian, manusia akan menjadi semakin paham apa artinya menjadi umat Allah.
Pemahaman akan Alkitab yang demikian itu pada gilirannya juga menentukan pemahaman kita akan hermeneutika Alkitab. hermeneutika Alkitab adalah hermenutika yang khas. Ke-khas-an hermenutika Alkitab, tidak saja terletak pada wilayah kajiannya, yaitu Alkitab. Ke-khas-an hermenutika Alkitab terletak pada kesediaannya untuk memasukkan unsur lain, yaitu keterbukaannya pada dimensi Illahi. Keterbukaan pada dimensi Illahi ini disebut Illham. Dimensi Illahi di dalam Alkitab itu bersifat rahasia. Rahasia itu tidak bisa dipaksakan keluar dari teksnya, tetapi harus ditunggu. Saat menafsirkan sebuah teks, penafsir perlu merenungkan teks itu dengan sabar, penuh dengan ketenangan jiwa dan terbuka pada pimpinan Roh Kudus, sampai teks tersebut menyingkapkan dirinya kepada penafsir.
Aspek ilham ini, berjalan beriringan dengan aspek-aspek lain dari hermeneutika Alkitab. Sebagaimana telah disebutkan, hermenutika adalah ilmu tentang penafsiran teks. Hermeneutika disebut ilmu karena ia memiliki berbagai aturan, prinsip, metode dan taktik yang diklasifikasikan ke dalam suatu system yang tersusun rapi.[26] Dengan sistem yang tersusun rapi itu, seorang penafsir mendekati teks-teks Alkitab. Ia menggunakan seluruh pengetahuan yang dihasilkan oleh disiplin keilmuannya untuk memahami dan mengungkapkan makna teks-teks Alkitab. Pengetahuan itu bisa berupa pengetahuan kebahasaan (Ibrani dan Yunani), kesusasteraan, sejarah, budaya, sosial, dan keagamaan. Tanpa semua pengetahuan itu, tafsiran yang dihasilkan penafsir menjadi spekulatif dan dangkal.
Sebenarnya, disamping ilmu, hermeneutika juga memiliki aspek seni. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, teks-teks Alkitab bukan sekumpulan dalil yang pasti dan dapat dihitung. Makna yang hendak dikomunikasikan di dalam Alkitab itu bersifat dinamis. Misalnya, ketika Yesus menyebut dirinya sebagai ‘Anak Allah.’ Perkataan ini tidak bisa kita pahami bahwa Yesus adalah orang yang dilahirkan oleh Allah sendiri. Juga bukan berarti bahwa Yesus adalah sosok yang diangkat sebagai anak oleh Allah (anak angkat). Sifat dinamis dari teks-teks Alkitab ini, menjadikan hermeneutika sebagai ilmu, tidak secara otomatis bisa diterapkan untuk memahami makna teks Alkitab. Tidak jarang, prinsip-prinsip hermenutika yang diterapkan secara kaku dan mekanis membuat makna teks-teks alkitab menjadi terdistorsi.[27]  Di sinilah jalan bagi seni untuk masuk di dalam hermeneutika. Setiap tindak penafsiran teks membutuhkan imaginasi, originalitas dan kreatifitas. Tanpa semua itu semua tafsiran menjadi objektif dan dingin. Setiap penafsir perlu melibatkan semua ciri kehidupannya dalam setiap penafsiran.  Sebagaiman seorang seniman yang menemukan dan mengemukakan hal-hal istimewa dalam seninya, seperti itu pula seorang penafsir dipanggil untuk menemukan dan mengemukakan hal-hal yang istimewa yang terdapat di dalam teks yang ditafsirkannya.
Ilmu, seni dan ilham, ketiga aspek ini menjadi unsur  utama yang membentuk hermeneutika Alkitab. Hanya dengan melibatkan ketiga aspek ini, penafsir Alkitab bisa menghargai kedua dimensi alkitab: dimensi Illahi dan dimensi manusiawi. Hanya dengan cara itu, penafsir bisa memperlakukan Alkitab secara adil. 

4.      Kesimpulan
Interpretasi, hermeneutika, dan exegese adalah tiga istilah yang sering dipertukartempatkan, sebab ketiganya sama-sama menuntuk pada usaha untuk menemukan arti dan makna dari suatu teks. Tulisan ini memperlihatkan bahwa ketiga istilah itu berbeda makna. Meski bisa dibedakan, ketiganya tetap satu kesatuan. Interpretasi menunjuk pada makna suatu teks yang berhasil ditetapkan dan yang hendak dikomunikasikan kepada pembaca dan pendengar masa kini. Hermeneutika adalah ilmu tentang penafsiran, dan eksegese adalah praksis penafsiran atau tindakan yang dibimbing oleh teori.
Hermeneutika Alkitab, adalah hermeneutika yang khas. Ia adalah sejenis hermeneutika yang mencoba memperlakukan Alkitab secara adil. Untuk tujuan tersebut, hermeneutika Alkitab  bertumpu kepada tiga aspek yaitu ilmu, seni dan ilham.




[1]Kata Heuristik berasal dari kata Yunani, heuriskein yang berarti menemukan. Selain itu, kata heuriskein juga dapat berarti penemuan intelektual yang didasarkan pada refeksi, observasi, pengujian dan penyelidikan.
[2]Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, "What Is Exegesis? An Analysis of Various Definitions" dalam Stanley E. Porter (ed), Handbook to the Exegesis of the New Testament, Leiden: Brill, 1997,hlm. 4-5
[3] Randolp Tate, Biblical Interpretation An Integrated Approach Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, Inc., 199,  hlm. xv
[4]I. Howard Marshall, New Testament Interpretation  Essays on Principles and Methods,(Grand Rapids: B. Eerdmans Publishing Co., 1979), hlm. 11
[5]Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, . . .hlm, 5 
[6]Anthony Thieselton,  The Two Horizons, New Testament Hermeneutics and Philosophical Description with Special Reference to Heidegger, Bultmann, Gadamer, and Wittgenstein, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1980, hlm. 11
[7] William W. Klein, Robert L. Hubbard, Jr., Craig L. Blomberg, Introduction to Biblical Interpretation, Dallas: Word Publishing, 1993, hlm. 6.note 4
[8]Sebenarnya, konsep lingkaran hermeneutis (hermeneutic Circle) adalah konsep yang dipakai oleh banyak pemikir. Konsep tersebut telah dikumandangkan oleh Ast dan Schleirmacher, Dilanjutkan oleh Dilthey dan diperkembangkan lebih lanjut oleh Heidegger dan Gadamer. Lih. Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2 2005, hlm. 133. Ada dua gagasan yang tercakup dalam konsep ini. Pertama proses penafsiran teks yang menempatkan ‘bagian’ (the part) dan ‘keseluruhan’ (the whole) suatu teks sebagai suatu mata rantai yang saling terhubung tanpa putus. Sebab itu untuk memahami suatu “bagian” dari teks, perlu memahami keseluruhan teks tersebut, pun demikian sebaliknya. Kedua, proses penafsiran yang meleburkan dua horison, yaitu horison teks dan penafsir dalam proses yang dialogis. Mengenai kedua gagasan dalam konsep ‘lingkaran hermeneutika’ ini lih. Anthony Thieselton, ‘Hermeneutics Circle’ dalam Kevin J. Vanhoozer (General Editor) Dictionary for Theological Interpretation of the Bible, Grand Rapids: Baker Book House Company, 2005, hlm. 281-282
[9]Anthony Thieselton, The Two Horizon . . . , hlm. 11
[10]Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, . . .hlm, 5
[11]John. H. Hayes & Carl. R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK  Gunung Muliah, 2006, hlm. 1
[12]Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, . . .hlm, 5
[13] Dikutip dalam Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, . . .hlm, 6.
[14]Robert M. Grant dan David Tracy dalam Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. 2. 2000, 4-5
[15] Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 18
[16] Porter  “Biblical Hermeneutics and Theological Responsibility” dalam Stanley E. Porter and Matthew R. Malcolm (ed) The Future of Biblical Interpretation, Downers Grove: InterVarsity Press, 2013, hlm. 31
[17]D.A. Carson, Exegetical Fallacy Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1994, hlm. 20
[18]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text: Interpreting the New Testament as Sacred Scripture, Liturgical Press, 1999, p. 157-161.; bdk. 159; David J. A Clines ‘Biblical Hermeneutics in Theory and Practice’ dalam Christian Brethren Review 31, 32 (1982): 65-76.
[19]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . , .hlm. 18
[20]Band. pendapat J Paul Achtemeier sebagaimana dikutip oleh Anthony Thieselton, The Two Horizon . . . , hlm. 10. Dan juga pendapat Randolph Tate, Biblical Interpretation . . . hlm. xv. Untuk maksud yang sama, beberapa penulis menggunakan istilah yang berbeda. Grant R. Osborne menggunakan istilah kontekstualisasi. Menurutnya, kontekstualisasi adalah komunikasi lintas budaya dari signifikansi teks bagi masa kini. Sementara itu Roy B. Zuck dan Bruce Corley menggunakan istilah eksposisi, yaitu makna teks bagi pendengar masa kini. Pendapat ketiga orang ini lih. Grant R. Osborne, The hermeneutical Spiral A Comprehensif introduction to Biblical Interpretation, Downers Grove, Illinois:  Intervarsity Press, 1991, p. 5. Roy B. Zuck, Basic Biblical Interpretation, Wheaton, Illinois: Victor Books, 1991,  p. 19; Bruce Corley, “A Student’s Primer for Exegesis” dalam Bruce Corley, Steve W. lemke & Grant I Lovejoy (ed), Biblical Hermeneutics A Comprehensive Introduction to Interpreting Scripture 2nd, Nashville : Broadman and Holman; 2002, p. 6
[21] Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 18, 126
[22]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 18, 126
[23]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 159
[24]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text: . . . p. 12-13; Gordon Fee dan Douglas Stuart, How to Read the Bible for all its Worth, Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1993,  hlm.  19-20
[25]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text . . . hlm. xix;
[26]William W. Klein, et.al., Introduction to Biblical . . . hlm. 5;  Henry A. virkler and Karelynne gerber Ayayo, Hermeneutics Principles and Processes of Biblical Interpretation, 2nd ed. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House Company, 2007, hlm. 16
[27] Virkler, Hermeneutics:Principles and Processes of Biblical Interpretation, 16