Pancasila:
Model Teologi Religionum Yang
Kontekstual ?[1]
Oleh:
Chlaodhius Budhianto
Salah satu masalah serius
yang dihadapi umat manusia saat ini adalah pluralitas, khususnya pluralitas agama. Memang
pluralitas agama sudah lama ada dan menjadi bagian kehidupan manusia. Namun
pluralitas keagamaan pada masa sekarang ini memiliki karakter yang berbeda. Di
masa lampau, pluralitas berkarakter pasif. Jika kita mendatanginya kita baru
merasakan pluralitas tersebut. Di masa kini pluralitas telah berubah menjadi aktif.[2]
Sekarang ini, agama-agama saling bertemu, berhadap-hadapan, berdampingan dan
bahkan saling menembus. Akibatnya, siapa yang tidak mempedulikan realitas ini,
ia akan tergilas.
Perubahan karakter ini disamping
dipicu oleh globalisasi juga dipicu oleh kesadaran emansipasi yang ada pada
setiap kelompok masyarakat. Globalisasi telah menjadikan dunia seperti sebuah
kampung kecil. Setiap orang dengan latar belakang agama (dan juga etnis, status
sosial, ideologi, kebangsaan, dll.) yang beragam bisa saling bertemu dan hidup
bersama dalam kampung kecil ini. Sementara kesadaran emansipasi telah
menjadikan setiap hal yang berbeda itu menuntut haknya untuk tampil setara di
dalam kehidupan bersama. Pun tidak terkecuali dengan agama-agama. Tak satu
kelompok agamapun yang bisa bilang bahwa dirinyalah yang paling berhak tampil
sementara kelompok yang lain tidak boleh.
Pluralitas keagamaan yang bersifat aktif tersebut pada gilirannya menempatkan agama-agama pada
berbagai persoalan yang sangat mendasar. Baik persoalan yang terkait dengan
jatidirinya, maupun hubungannya dengan agama-agama yang lain. Malah persoalan
identitas menjadi yang mendesak untuk segera ditangani. Agama-agama ditantang
untuk merumuskan ulang hakekat dirinya. Redefinisi diri ini penting dikerjakan
oleh agama-agama mengingat hampir seluruh tradisi keagamaan, selama ini telah
hidup dengan sebuah kesadaran diri sebagai “anak tunggal”. Dengan kesadaran
diri sebagai anak tunggal ini, agama-agama memandang dirinya sebagai yang
paling benar dan karenanya paling berhak hidup. Agama lain adalah saingan.
Mereka itu musuh yang mengancam kenyamanan sebagai anak tunggal. Dengan dalih
‘misi’ agama-agama mengumpulkan seluruh daya dan upaya untuk memperkuat diri,
memperbesar diri serta menaklukkan yang lain.
Dalam konteks
pluralitas sekarang ini, pemahaman
diri sebagai “anak tunggal” diperhadapkan dengan agama-agama lain yang juga
punya kesadaran sama. Dampak dari perjumpaan semacam ini ialah timbulnya “plural shock” atau “cognitive dissonance”, yaitu suatu kebingungan yang mendekati
kekacauan yang terjadi dalam diri penganutnya.[3]
Itu disebabkan karena para pemeluk agama kini harus berhadapan dengan
kenyataan bahwa apa yang semula
diyakini sebagai yang sungguh benar dan diterima begitu saja, kini diperhadapkan dengan sikap yang
sama dalam agama yang berbeda. Ternyata umat beragama lain juga memiliki
kepercayaan, klaim, dan keyakinan yang utuh. Dengan demikian, agama-agama
diperhadapkan dengan krisis.
Menghadapi krisis semacam
itu dalam beberapa tahun belakangan,
agama-agama telah mengembangkan apa yang disebut dengan teologi religioum atau teologi agama-agama. Teologi ini mencoba
menempatkan pluralitas keagamaan sebagai pusat persoalan dan pusat perhatian.[4]
Dalam teologi religionum pluralitas agama tidak dilihat hanya sebagai
fakta kehidupan yang mau tidak mau harus diterima. Pluralitas agama ingin
dilihat maknanya.
Tulisan ini mencoba
mengajukan suatu model theologi
religionum yang pernah dihasilkan di bumi Indonesia. Model yang dimaksud
ialah Pancasila.
1. Pancasila suatu teologi ?
Apakah Pancasila suatu
teologi ? Jawaban atas pertanyaan ini, amat tergantung pada pemahaman seseorang
tentang apa itu agama dan apa itu teologi. Jika agama dipahami dalam
perspektif yang dipakai oleh setiap penguasa yang ada di Indonesia, maka Pancasila bukanlah suatu rumusan teologi.[5]
Menurut pemahaman semacam itu, Pancasila tidak lebih dari sebuah ideologi. Namun apabila agama didekati
lewat pendekatan yang lain, maka akan dihasilkan suatu pandangan yang lain
terhadap Pancasila.
Dalam tulisan ini agama akan
dipahami sebagai suatu fenomena sosial. Pemahaman agama yang seperti ini
mendapat titik pijak teoritisnya dari Durkheim. Menurut Durkheim, agama tidak
lain adalah masyarakat itu sendiri.[6]
Sebab ia merupakan kesadaran bersama (collective
conciousness) masyarakat yang telah dieksternalisasikan dan diobjektivasikan.[7]
Kesadaran bersama itu lahir sebagai
upaya manusia mengatasi pelbagai persoalan yang paling dasar (ultimate concern) dalam hidupnya.[8] Ultimate
concern dimaksud ialah permasalahan makna. Robert N. Bellah menyebut dua
hal yang menjadi ultimate concern manusia: nilai yang paling dasar dan frustasi
yang paling dasar. Berkenaan dengan kedua ultimate concern itu, agama-agama di
satu sisi berperan sebagai pemberi rangkaian makna yang terdiri atas nilai
paling dasar yang bisa dijadikan sebagai landasan moralitas. Di sisi lain ia
berfungsi untuk memberikan penjelasan-penjelasan atas frustasi-frustasi dasar
ini sehingga setiap orang atau kelompok yang mengalaminya dapat menghadapi
frustasi-frustasi itu tanpa membuat nilai yang paling dasar kehilangan maknanya
sehingga mampu melangsungkan kehidupannya.
Persoalan makna merupakan
sesuatu yang abstrak dan sulit dipahami oleh manusia. Agar permasalahan makna
dapat ditangkap, ia perlu disimbolisasikan dalam bentuk sistem kepercayaan
seperti, dogma, mitos, legenda, dll. Oleh agama simbol-simbol tersebut kemudian
ditransendensikan. Dalam arti dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dan
dilindungi dengan pelbagai larangan-larangan serta dikarakterisasikan sebagai
yang superior dan mengatasi manusia. Lewat pentransendensian ini maka di dalam
agama-agama lahirlah apa yang disebut sebagai yang Sakral.
Dengan memahami agama secara
demikian, menjadi jelas bahwa agama tidak lain merupakan suatu konstruksi
sosial dari masyarakatnya. Sebagai yang demikian itu, tak ayal jika perwujudan
agama menjadi sangat beragam dan luas. Kepercayaan-kepercayaan lokal atau
agama-agama suku, yang oleh pemerintah di Indonesia tidak diakui sebagai agama,
dengan pemahaman di atas dapat dimasukkan dalam lingkup agama. Malah, negara-bangsa
pun bisa menjadi agama dan disebut sebagai agama sipil.
Bahwa negara-bangsa bisa
menjadi agama, menjadi jelas dari apa yang dikemukakan Robert N. Bellah.
Menurut Bellah, di Amerika dan juga ditempat-tempat yang lain, terdapat
elemen-elemen keagamaan tertentu dari kehidupan suatu negara-bangsa yang mirip
dengan agama. Dengan mengambil kasus Amerika, Bellah mengatakan hal itu
demikian: “Meskipun hal-hal seperti
agama pribadi, kepercayaan, dan asosiasi
peribadahan, semuanya itu dianggap urusan setiap pribadi, pada saat yang sama
terdapat elemen-elemen tertentu dari orientasi keagamaan mayoritas rakyat
Amerika. Elemen-elemen tertentu dari orientasi keagamaan itu memainkan peran
penting dalam pengembangan dari institusi Amerika dan masih menjadi sumber
dimensi religius bagi segenap kehidupan Amerika, termasuk dalam ruang politik.
Dimensi religius umum ini terekspresikan dalam seperangkat kepercayaan, simbol
dan ritus yang saya sebut sebagai agama sipil di Amerika”.[9] Sebagaimana agama-agama yang lain, yang tidak
pernah menjadikan masyarakat yang melahirkannya sebagai objek pemujaan, pun
demikian dengan agama sipil. Di dalam agama sipil, negara-bangsa tidak pernah
dijadikan sebagai objek pemujaan.[10]
Kini kita beralih kepada
persoalan yang kedua yaitu apa itu teologi. Teologi pada dasarnya merupakan refleksi
dan sistematisasi dari keimanan seseorang atau sekelompok orang. Secara
etimologis, teologi berarti ilmu tentang Theos, yaitu Tuhan atau yang Sakral di
dalam agama-agama. Mengingat yang Sakral pada dirinya sendiri merupakan sesuatu
yang absolut dan tak terbatas, maka ia tak bisa dijadikan sebagai objek
material dari teologi. Yang dapat menjadi obyek material teologi adalah sapaan
atau wahyu Yang Ilahi yang ditanggapi melalui iman. Karena isi iman dan
kepercayaan berbeda-beda sesuai dengan agama yang dianut, maka teologi juga
berbeda-beda menurut agama yang dipeluk oleh pelaku refleksi itu.[11]
Maka, tidak ada teologi tunggal, yang ada adalah teologi Kristen, teologi
Islam, teologi Hindu, dan teologi sipil dan teologi-teologi lainnya.
Refeksi iman yang dilakukan
teologi tidak ditempatkan dalam ruang hampa. Maka teologi tidak pernah menjadi
teologi yang obyektif dan mengatasi ruang historis. Bahkan menurut Bevans,
sebenarnya tidak ada yang disebut “teologi”, yang ada hanyalah teologi
kontekstual. Dalam konteks kekristenan, Bevans menjelaskan teologi kontekstual
sebagai teologi yang memperhatikan tiga sumber sekaligus: Kitab Suci, tradisi
dan konteks.[12]
Konteks yang dimaksud ialah kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran
kontemporer, perubahan sosial dlsb.
Sebagai sebuah refleksi
iman, teologi bisa dilakukan oleh siapapun yang beriman. Teologi tidak hanya
menjadi hak istimewa para ahli yang dididik dalam keilmuan teologi yang rigid.
Teologi juga bisa dilakukan oleh orang-orang beriman yang biasa, yang tidak terdidik
dalam keilmuan teologi. Memang teologi
yang dihasilkan oleh kedua kelompok ini berbeda. Meski demikan bukan berarti
teologi yang dihasilkan oleh para ahli lebih valid dari teologi yang dihasilkan
oleh kaum awam.
Dengan memahami agama dan
teologi seperti di atas, kini kita bisa memahami bahwa Pancasila juga sebuah
teologi. Ia merupakan refleksi dan sistematisasi keimanan bangsa Indonesia. Sebagai
sebuah teologi, Pancasila berbeda dengan misalnya teologi Islam, teologi
kristen, teologi Hindu dan lain-lain. Perbedaan itu disamping pengaruh faktor
setting sosial yang melahirkannya, juga dipengaruhi oleh tradisi-tradisi
keimanan yang beragam.
Di dalam Pancasila
tradisi-tradisi yang beragam itu bertemu, berdialog dan berkolaborasi untuk
membangun negara-bangsa. Dalam konteks keagamaan, pada saat Pancasila
dirumuskan paling tidak ada tiga agama yang turut membentuk Pancasila, yaitu
Islam, Kristen dan Hindu. Pemeluk dari ketiga agama ini turut terlibat dalam
perumusan Pancasila. Pada
saat merumuskan Pancasila, mereka mempertaruhkan keimanan mereka. Yang Islam
mempertaruhkan keislamannya, yang Kristen mempertaruhkan kekristenannya, dan
yang Hindhu mempertaruhkan kehinduannya. Cuma saja, dalam proses
pertaruhan tersebut masing-masing pihak memposisikan diri sebagai seorang warga
Negara, yang secara berkeadaban mencoba mencari solusi terbaik bagi masa depan
kehidupan bersama mereka. Dalam proses perumusan itu, masing-masing
pendukung tradisi keimanan yang berbeda, termasuk tradisi-tradisi yang dianggap
sekuler seperti nasionalisme dan sosialisme/marxis, tidak bersikap eksklusif.
Mereka bersedia berdialog dengan yang lain, menerima sesuatu dari yang lain dan
juga memberi sesuatu kepada yang lain. Hasilnya ? Lahirlah apa yang
belakangan disebut dengan teologi sipil[13]
yang bersifat terbuka dan sekaligus
transformatif yang disebut dengan teologi Pancasila.
2. Pancasila: Teologi Religionum Yang
Kontekstual ?
Teologi religionum dikembangkan dengan maksud untuk menemukan makna
keberadaan agama-agama yang lain. Untuk maksud tersebut teologi religionum mengkonsentrasikan diri pada
dua hal: pandangan tentang yang Tuhan dan pandangan tentang sesama.[14]
Kedua hal ini sangat terkait. Pandangan tentang Tuhan akan mempengaruhi
pandangan manusia yang mempercayai Tuhan yang lain. Jika suatu agama mengembangkan pandangan
tentang Tuhan sebagai satu-satunya yang benar, sementara yang lain salah; maka
pandangan semacam ini akan melahirkan suatu sikap-sikap diskriminatif dan
imperialistis terhadap manusia yang mempunyai pandangan Tuhan yang lain. Berpijak
pada dua perhatian teologi religionum itu, kita akan melihat Pancasila.
Bagaimanakah Pancasila mengembangkan Pemahamannya tentang Tuhan dan sesama ?
Untuk memahami pandangan
tentang Tuhan yang terkandung di dalam Pancasila, kita perlu menempatkan
Pancasila di dalam konteksnya, yaitu Pembukaan UUD 1945. Di situ kita bisa
menjumpai dua konsep mengenai Tuhan, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa (alinea ketiga)
dan Tuhan yang Ketuhanannya itu Maha Esa (alinea keempat, dan sila pertama dari
Pancasila). Dalam konstalasi Pembukaan UUD 1945, konsep mengenai Tuhan itu
tidak bisa dilepaskan dengan konsep lainnya, yaitu konsep kemerdekaan Indonesia
yang terdapat dalam alinea pertama dan kedua Pembukaan UUD 1945.[15]
Oleh karena kedua konsep ini sangat berkaitan erat, maka untuk memahami konsep
Tuhan dalam Pancasila seturut konteksnya kedua konsep tersebut tak bisa
diabaikan.
Analisis terhadap alinea pertama
dan kedua Pembukaan UUD 1945, akan ditemukan konsep-konsep pokok yang saling
berkaitan.[16]
Di alinea pertama, konsep pokoknya ialah kemerdekaan,
perikemanusiaan, keadilan yang dihubungkan dengan penjajahan. Pada alinea kedua
konsep kuncinya: perjuangan kemerdekaan, pintu gerbang kemerdekaan Indonesia,
merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Di dalam alinea pertama, bangsa
Indonesia menyadari bahwa kemerdekaan,
perikemanusiaan, dan keadilan merupakan nilai-nilai hakiki dari manusia. Meski
kemunculan nilai-nilai tersebut di dalam Pembukaan UUD 1945 memiliki dasar
historis dan terikat dengan pengalaman bangsa Indonesia, namun nilai-nilai
tersebut bersifat universal. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai tersebut hanya
akan terwujud jika tidak ada penjajahan. Pengalaman bangsa Indonesia dijajah
telah menjadikan bangsa Indonesia hilang kemanusiaannya karena diperlakukan
tidak adil. Oleh karena itu untuk memulihkan kemanusiaan dan keadilan,
kemerdekaan menjadi satu-satunya jalan.
Bagi bangsa
Indonesia, kemerdekaan ialah hak. Maka dari itu, di dalam alinea kedua, bangsa
Indonesia menegaskan tuntutannya akan haknya itu. Istilah perjuangan
kemerdekaan dalam alinea kedua ini, menunjuk pada usaha bangsa Indonesia
menuntut haknya itu. Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan Indonesia bukanlah
hadiah dari penjajah. Kemerdekaan itu ialah hasil pencurahan keringat dan darah
bangsa Indonesia. Nilai yang mau ditekankan dalam alinea kedua ini ialah usaha
nyata manusia.[17]
Menurut bangsa Indonesia, keadilan, kemakmuran, persatuan dan kedaulatan tidak
akan datang dengan sendirinya. Itu hanya akan terwujud jika ada usaha keras
dari manusia untuk mewujudkannya.
Dalam dua alinea
berikutnya, Pembukaan UUD 1945 memuat istilah-istilah pokok: Pengakuan adanya berkat rahmat Tuhan,
Pernyataan Kemerdekaan (alinea ketiga), pemerintah negara, UUD, Negara yang
berkedaulatan rakyat dan Pancasila (alinea keempat).[18]
Di dalam Alinea ketiga, bangsa Indonesia
memahami tercapainya kemerdekaan secara berbeda dengan pemahaman yang ada pada
alinea kedua. Jika di alinea kedua bangsa Indonesia lebih menekankan pada usaha
keras manusia; maka di alinea ketiga diakui adanya campur tangan Tuhan. Bagi
bangsa Indonesia, usaha keras manusia ternyata tidak cukup untuk mewujudkan
kemerdekaannya. Usaha keras manusia perlu disertai oleh pertolongan Tuhan.
Dengan keyakinan
semacam itu, tergambarlah religiositas bangsa Indonesia. Uniknya, religiositas
bangsa Indonesia, bukanlah religiositas mayoritas penduduknya (Islam), juga
bukan religiositas agama-agama minoritas lainnya yang ada di Indonesia.
Religiositas bangsa Indonesia adalah religiositas yang belum pernah dijumpai di
dalam agama-agama yang ada di Indonesia pada saat itu (dan pada kadar tertentu,
masih dijumpai pada masa kini). Dikatakan demikian oleh karena religiositas
agama-agama yang ada di Indonesia, masih bersifat eksklusive, merasa dirinya
lebih tinggi dan lebih benar dibanding dengan agama-agama yang lain. Akibat
dari religiositas semacam ini, antara agama yang satu dan yang lain tidak
jarang berlaku saling menegasikan. Dengan religiositas semacam ini, agama-agama
tidak mungkin mampu memahami sesamanya secara positif.
Berbeda dengan
religiositas agama-agama yang bersifat eksklusive, religiositas Indonesia
justru mau melampaui eksklusivitas tersebut. Ini menjadi jelas dalam proses
perumasan konsep Tuhan yang ada dalam pembukaan UUD 1945. Ditinjau dari sisi
historisnya, pembukaan UUD 1945 bermula dari Pidato Soekarno tanggal 1 Juni
1945 dihadapan sidang BPUPKI,[19]
yang dalam proses selanjutnya dioleh oleh panitia sembilan menjadi apa yang
sekarang dikenal dengan piagam Jakarta. Susunan dan isi Piagam Jakarta memang
tidak berbeda jauh dengan Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Perbedaan yang
fundamental dari keduanya ialah konsep Tuhan. Di dalam Piagam Jakarta, konsep
Tuhan bersifat partikular. Tuhan di dalam piagam Jakarta ialah Tuhannya umat
Islam, yaitu Allah swt. Kecuali itu, Piagam Jakarta juga termuat tujuh kata yang
menganakemaskan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.[20]
Dalam
sejarahnya, Piagam Jakarta diperdebatkan oleh anggota BPUPKI. Perdebatan ini
terutama mengenai tujuh kata. Perdebatan itu dipicu oleh Latuharhary, yang
keberatan dengan dicantumkannya ketujuh kata tersebut. Menurut Latuharhary,
ketujuh kata tersebut akan melahirkan syak-prasangka antara golongan yang satu
terhadap golongan yang lain.[21]
Selain yang dikhawatirkan Latuharhary,
pencantuman ketujuh kata tersebut juga akan berimplikasi pada diskriminasi yang
dilakukan negara terhadap agama-agama yang lain. Dengan dicantumkannya ketujuh
kata tersebut, maka Islam akan dianakemaskan. Penganakemasan Islam ini menjadi
jelas dalam perkataan Soepomo[22]
dan rancangan UUD yang dihasilkan BPUPKI. Namun keberatan Latuharhary
ditolak oleh Soekarno, karena Piagam Jakarta merupakan gentlement
agremant.[23]
Perubahan yang
sangat menentukan dan mengubah arah religiositas Indonesia terjadi pada sidang
PPKI tanggal 18 Agustus 1948. Pada sidang tersebut, ketujuh kata tersebut
dihapus. Penghapusan ini
terjadi karena seorang opsir Kaigun (angkatan laut) memberitahukan kepada Hatta
bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik yang ada di Indonesia Timur~yang pada
waktu itu Indonesia Timur secara adminitratif terpisah dengan Indonesia
Barat~menyampaikan keberatan terhadap ketujuh kata tersebut dan lebih suka
berdiri diluar republik Indonesia jika ketujuh kata itu ditetap ada. Seiring dengan
penghapusan ketujuh kata tersebut, I Gusti Ktut Puja mengusulkan kata Allah
diganti Tuhan.
Alasan I Gusti Ktut Puja
untuk mengganti kata Allah dengan Tuhan memang tidak diungkapkan. Menurut Putu
Setia, meski I Gusti Ktut Puja, tidak menggungkapkan alasannya, namun melihat
perdebatan selama sidang BPUPKI yang kental dangan warna agama, maka bisa
diperkirakan jika I Gusti Ktut Puja ingin menyelamatkan bangsa ini dari warna
khas agama tertentu.[24]
Jika ini benar~serta mengingat bahwa para peserta sidang secara bulat menerima
usulan tersebut~bisa diartikan pula jika kata Tuhan merupakan kata yang paling
mampu mewadahi seluruh konsep atau istilah lain yang merujuk pada entitas yang sama,
yang secara partikularistik dipahami oleh agama-agama yang ada di Indonesia. Islam
yang memahami Tuhan dalam istilah Allah Swt, Kristen memahami dengan istilah
Allah Tritunggal, Hindhu menggunakan istilah Sang Hyang Widhi Wasa, dan pelbagai
istilah lainnya dalam agama-agama yang berbeda, bisa menerima istilah Tuhan. Dengan
demikian kata Tuhan bukan saja bisa diterima, tetapi kata ini juga bisa melampaui
dimensi-dimensi partikularistik agama-agama di Indonesia.
Jika religiositas bangsa
Indonesia, sebagaimana telah dipaparkan, dikaitkan dengan alinea pertama dimana
kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan menjadi nilai-nilai
utamanya maka setiap manusia dan agama yang berbeda-beda mempunyai kedudukan
yang sederajat. Di dalam religiositas Indonesia, tidak ada yang menjajah dan
dijajah. Semuanya setara.
Nilai kesetaraan juga nampak
dalam alinea keempat. Sebagaimana telah diungkapkan, konsep kunci yang
terkandung di alinea ke empat ialah pemerintah
negara, UUD, Negara yang berkedaulatan rakyat dan Pancasila. Keempat konsep
pokok ini semuanya mengarah pada kepentingan rakyat. Kepentingan rakyatlah yang
harus menjadi dasar penyelengaraan negara. Pemerintah Indonesia tidak bisa dan
tidak boleh melayani kepentingan kelompok-kelompok tertentu dari rakyat
Indonesia. Dengan pemahaman ini maka penempatan konsep Pancasila menjadi penting, sebab di dalam Pancasila-lah aspirasi rakyat
menjadi nyata.[25]
Bahwa Pancasila
merupakan aspirasi rakyat, akan semakin jelas jika Pancasila dipahami dalam
kerangka pikir Soekarno yang pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk
mempertemukan tiga kepentingan berbeda, yang dalam sidang BPUPKI sedang
bertarung. Ketiga kepentingan itu ialah kepentingan kaum nasionalis,
kepentingan kaum islamis dan kepentingan kaum sosialis/Marxis.[26]
Sintesa ini dapat dilihat
dari kelima sila yang diajukan Soekarno, yang jika tidak disetujui bisa diperas
menjadi Tri sila, dan jika masih tidak disetujui, bisa diperas lagi menjadi Eka
sila. Secara khusus mengenai gagasan Soekarno untuk memeras Pancasila-nya
menjadi Trisila, sesungguhnya merupakan gagasan yang berakar di dalam Trisila
yang pernah ia dituangkan dalam risalah yang ditulis pada tahun 1926. Trisila
1926 itu ialah: Nasionalisme, Marxisme dan
Islamisme.[27] Jika dibuat tabel, sintesa yang dibuat
Soekarno itu ialah:
Trisila 1926
|
Pancasila (1945)
|
Trisila 1945
|
Eka sila
|
Nasionalisme
(Jawa Traditional)
|
Kebangsaan Indonesia (Nasionalisme)
|
Socio-Nasionalisme
|
Gotong-royong
|
Marxisme
|
Internasionalisme atau perikemanusiaan
|
||
Mufakat atau Demokrasi
|
Socio-Democratie
|
||
Kesejahteraan Sosial
|
|||
Islam
|
Ketuhanan
|
Ketuhanan
|
Jika diperhatikan, ternyata
di dalam Pancasilanya Soekarno ketiga kepentingan yang saling bersaing itu
tidak dibiarkan begitu saja. Oleh Soekarno, Nasionalisme,
Marxisme dan Islamisme ditransformasikan
menjadi socio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Dengan rumusan yang transformatif ini, Soekarno berusaha
memberi tempat bagi keragaman yang untuk berperan dalam mengembangkan
masyarakat dan bangsa Indonesia.[28]
Meski demikian, tempat tersebut diberikan
dengan syarat, yaitu mereka harus bersedia untuk saling menerima keberadaan
yang lain sebagai bagian dari dirinya. Jika mereka bersedia, konsekuensi logis
dari perjumpaan yang saling menerima ini ialah transformasi.[29]
Jadi, Religiositas Indonesia
disamping melampaui eksklusivisme, ia juga bersifat transformatif. Oleh karena
itu tidak berlebihan jika John Titaley menganggap Religiositas ini sebagai
religiositas yang inklusive-transformatif. Jika religiositas bangsa Indonesia,
sebagaimana tercermin dalam Pancasila bersifat inklusive-transformatif, sudah
sepantasnyalah jika Pancasila disebut sebagai model teologi religionum yang
kontekstual di Indonesia. Model seperti ini bisa disejajarkan dengan model yang
dikembangkan oleh Paul F. Knitter dengan istilah ‘dialog yang korelasional dan
bertanggung jawab global’.[30]
Dengan istilahnya ini, Knitter mengakui keragaman dan perbedaan agama-agama.
Bersamaan dengan pengakuan tersebut, agama-agama perlu berhubungan secara
terbuka dan timbal balik sehingga terjadi proses take and give. Menurut Knitter, dialog semacam ini hanya bisa
terwujud apabila agama-agama tidak merasa dirinya superior atas yang lainnya. Jika
agama-agama berhubungan sebagaimana dipersayaratkan Knitter, konsekuensi apa
yang akan dialami oleh agama-agama ? tentu transformasi-lah yang terjadi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bahar, Saafroedin,
Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI):
28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara R.I., 1995).
Bellah, Robert N., Religi Tokugawa Akar-Akar
Budaya Jepang (Jakarta: Gramedia, 1992)
Berger, Peter L., Langit Suci Agama
Sebagai Realitas Sosial (Jakarta LP3ES 1991)
Dister, Niko Syukur Pengantar Teologi,
(Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1991)
Durkheim, Emile., Sejarah
Agama: The Elementary Form Of Religious life, (Yogyakarta:
Isrcisod, 2001)
Ismail, Faisal, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam
Dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Knitter, Paul F. Satu Bumi Banyak
Agama: Dialog Multi-Agama Dan Tanggung Jawab Global, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).
Pranarka , A.M.W., Sejarah
Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: yayasan Proklamasi-CSIS, 1985)
Sukarno, Ir. ‘Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme’, dalam Dibawah Bendera Revolusi jilid 1,
(Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005) hlm. 1-22
Tim Balitbang PGI (Peny): Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di
Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Titaley,
John ‘Refleksi Agama Terhadap
Tantangan Kebudayaan: Perspektif Kristen’ dalam Retnowinarti dan Johnly E.P.
Poerba Agama-Agama dan tantangan
Kebudayaan (Jakarta-Salatiga: Balitbang PGI-Yayasan Binadarma, 1994
,‘Suatu Perbandingan
Sosio-Historik Konstitusi Madinah dan Konstitusi Indonesia’ dalam SETIA, Jurnal
Teologi Persetia No. 1/ tahun 1999
,‘Panggilan Gereja dalam
Konteks Heterogenitas Masyarakat Indonesia, dalam Dance I. Palit, dkk., (Ed) Dinamika Nasionalisme Indonesia (Salatiga:
Yayasan Bina Darma 1999)
,Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual: Pidato Pengukuhan Guru
Besar Ilmu Teologi di UKSW (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2001)
[1]
Pernah dipublikasikan dalam Jurnal
Teologi Sangkakala, Edisi 1 vol 1 Okt. 2009
[2]Th. Sumartana, Theologia Religionum, dalam Tim Balitbang PGI (Peny): Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di
Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 19
[3]Martin L.Sinaga, “Meretas Jalan Teologi
Agama-Agama di Indonesia”, dalam Tim Balitbang PGI, Ibid. hlm. 3.
[4] Th. Sumartana dalam Tim Balitbang PGI, Ibid. hlm. 19
[5]Pandangan
para penguasa di Indonesia tentang agama mulai dirumuskan oleh Departemen Agama
pada tahun 1952 . Rumusan tersebut
mencoba memahami agama lewat memerinci unsur-unsur utama dari agama, yang
antara lain: 1) harus menyembah Tuhan
Yang Esa, 2) mempunyai nabi, 3).
Mempunyai kitab Suci, 4) mempunyai kaidah-kaidah hidup dan 5) mendapat
pengakuan sebagai agama dari luar negeri. Sekalipun pemahaman tentang agama
yang semacam ini tidak pernah muncul dalam kebijakan-kebijakan pemerintah R.I,
tetapi pemahaman tersebut cukup dominan dalam membentuk cara pandang
penguasa-penguasa R.I dalam memahami agama. Lih. Broto Semedi, Kehidupan Beragama Berdasarkan Pancasila Menuju Toleransi Agama, (Yogyakarta: TPK Gunung Mulia, cet. 1,
tt), 8 ; Rahmat Subagya, Kepercayaan
dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 116-119
yang harus
[6]
Emile Durkheim, Sejarah Agama: The
Elementary Form Of Religious life, (Yogyakarta:
Isrcisod, 2001)
[7] Istilah tersebut dipinjam dari Trialektika
Peter L. Berger yaitu ekternalisasi dan objektivasi dan Internalisasi. Menurut
Berger, Eksternalisasi ialah
pencurahan kedirian secara terus menerus ke dalam dunia. Melalui pencurahan
kedirian ini, manusia kemudian menghasilkan sesuatu, baik itu yang berbentuk
fisis maupun mental. Bagi manusia, eksternalisasi ini adalah sebuah keharusan.
Ini adalah tuntutan dari “kodrat” manusia, yang memang “belum lengkap” semenjak
manusia dilahirkan. Sementara obyektifasi
adalah pentransformasian produk-produk yang dihasilkan dalam proses
eksternalisasi, menjadi sesuatu yang bukan hanya ciptaan manusia, tetapi juga
sesuatu yang berbeda dari penciptanya. Adapun internalisasi adalah peresapan kembali
produk-produk yang diciptakan manusia itu (yang sekaligus berbeda dengan
manusia), dan ditransformasikan sekali lagi ke dalam struktur kesadaran
manusia.Berger, Langit
Suci Agama Sebagai Realitas Sosial (Jakarta LP3ES 1991)., Hlm. 4-5
[8] Robert N. Bellah, Religi Religi Tokugawa
Akar-Akar Budaya Jepang (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 10-11
[10]Ibid.
[11]Niko Syukur Dister, Pengantar Teologi,
(Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 34
[12] Ibid. hlm. 6-8
[13] Istilah
Teologi Sipil adalah istilah yang dipakai oleh Andrew Shank untuk menyebut
teologi para warga Negara. Berbeda dengan teologi konfensional (teologi yang
dihasilkan oleh agama-agama tertentu, seperti Islam Kristen, Hindu Budha, dll)
yang dituntun oleh kesetiaan kepada identitas dan narasi-narasi kelompok
keagamaan, teologi sipil dituntun oleh kesetiaan kepada identitas sebagai
seorang warga Negara dengan segala narasi kebangsaannya. Sekalipun berbeda,
teologi Sipil tidak perlu dipertentangkan dengan teologi konfensional , sebab
Teologi Sipil juga berkaitan dengan
teologi konfensional dan memperhadapkan identitas kewarganegaraan dengan narasi
kebangsaannya kepada Tuhan. Lih. Andrew Shanks, Agama Sipil, (Yogyakarta: Jalasutra 2003), Sipil tidak perlu
diperte
[14] John Titaley Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual: Pidato Pengukuhan Guru
Besar Ilmu Teologi di UKSW (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW) hlm. 3
[16] Bdk. John Titaley, ‘Suatu Perbandingan
Sosio-Historik Konstitusi Madinah dan Konstitusi Indonesia’ dalam SETIA, Jurnal
Teologi Persetia No. 1/ tahun 1999, hlm. 10
[17] Ibid. hlm. 13
[18] Ibid hlm. 14-19
[19] Pidato Soekarno dihadapan siding BPUPKI
ini kemudian dikenal sebagai pidato Lahirnya Pancasila. Lih. Saafroedin Bahar,
Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945-22 Agustus
1945 (Jakarta: Sekretariat Negara R.I., 1995) hlm 63-84
[20] Tujuh kata yang dimaksud ialah:
‘dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Ketujuh kata ini terdapat di dalam alinea
keempat.
[21] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan
Nannie Hudawati (Tim Penyunting) Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta:
Sekretariat Negara R.I., 1995) hlm. 215-216.
[22]Ibid hlm. 266
[23]Ibid.,
hlm. 216
[24] Putu Setia, ‘Refleksi Agama-Agama Atas 50
Tahun Kemerdekaan Perspeltif Hindu’ dalam Tim Balitbang PGI Op.cit., hlm. 228.
[25] John Titaley, ‘Suatu Perbandingan
Sosio-Historik... Op. Cit., hlm. 17
[26] Para ahli masih bersilang pendapat
mengenai pelbagai kepentingan yang bertarung pada sidang BPUPKI ini. Faisal
Ismail menyebut dua kekuatan yaitu nasionalis
sekuler dan nasionalis muslim.
Sementara, A.M.W. Pranarka menyebut tiga kekuatan: kebangsaan, islam dan ideologi barat modern sekuler. Kami sendiri sepakat dengan John Titaley,
bahwa dalam persidangan tersebut terdapat tiga kekuatan ideologis yang saling
bersaing: Nasionalisme (khususnya
tradisionalisme Jawa), Islam dan
Sosialisme/Marxisme. Mengenai keterlibatan Nasionalisme dan Islam kiranya
sudah diterima luas. Namun untuk sosialisme/marxis,
banyak pihak yang enggan mengakui.
Padahal sosialisme juga turut andil bagian dalam pertikaian itu dan
turut berjasa pula dalam meletakkan dasar-dasar nation-state Indonesia. Keterlibatan sosialisme/Marxisme terlihat
dari pidato Soepomo dalam sidang BPUPKI tersebut. Perbedaan pendapat ini dapat
dilihat dalam: Faisal Ismail, Ideologi,
Hegemoni dan Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam Dan Pancasila, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1999) hlm. 4; A.M.W. Pranarka , Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: yayasan
Proklamasi-CSIS, 1985) hlm. 47-48.; John Titaley, ‘Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia: Suatu Refleksi Teologis’
dalam Martin L. Sinaga, hlm. 202
[27] Risalah ini dapat dijumpai dalam Ir.
Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi
jilid 1, (Jakarta: Yayasan Bung
Karno, 2005) hlm. 1-22
[28] John Titaley, ‘Kemerdekaan dalam Tim Balitbang PGI. .Op. Cit., hlm. 204
[29] Konsekuensi logis ini bisa dimungkinkan
mengingat hubungan-hubungan social pada dasarnya bercirikan trialektika yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Lih. Footnote 4
diatas.
[30]
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama Dan Tanggung Jawab
Global, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar