Selasa, 19 November 2013

Pancasila: Model Teologi Religionum Yang Kontekstual ?



Pancasila:
Model Teologi Religionum Yang Kontekstual ?[1]
Oleh: Chlaodhius Budhianto

Salah satu masalah serius yang dihadapi umat manusia saat ini adalah pluralitas, khususnya pluralitas agama. Memang pluralitas agama sudah lama ada dan menjadi bagian kehidupan manusia. Namun pluralitas keagamaan pada masa sekarang ini memiliki karakter yang berbeda. Di masa lampau, pluralitas berkarakter pasif. Jika kita mendatanginya kita baru merasakan pluralitas tersebut. Di masa kini pluralitas telah berubah menjadi aktif.[2] Sekarang ini, agama-agama saling bertemu, berhadap-hadapan, berdampingan dan bahkan saling menembus. Akibatnya, siapa yang tidak mempedulikan realitas ini, ia akan tergilas. 
Perubahan karakter ini disamping dipicu oleh globalisasi juga dipicu oleh kesadaran emansipasi yang ada pada setiap kelompok masyarakat. Globalisasi telah menjadikan dunia seperti sebuah kampung kecil. Setiap orang dengan latar belakang agama (dan juga etnis, status sosial, ideologi, kebangsaan, dll.) yang beragam bisa saling bertemu dan hidup bersama dalam kampung kecil ini. Sementara kesadaran emansipasi telah menjadikan setiap hal yang berbeda itu menuntut haknya untuk tampil setara di dalam kehidupan bersama. Pun tidak terkecuali dengan agama-agama. Tak satu kelompok agamapun yang bisa bilang bahwa dirinyalah yang paling berhak tampil sementara kelompok yang lain tidak boleh. 
Pluralitas keagamaan yang bersifat aktif tersebut pada gilirannya menempatkan agama-agama pada berbagai persoalan yang sangat mendasar. Baik persoalan yang terkait dengan jatidirinya, maupun hubungannya dengan agama-agama yang lain. Malah persoalan identitas menjadi yang mendesak untuk segera ditangani. Agama-agama ditantang untuk merumuskan ulang hakekat dirinya. Redefinisi diri ini penting dikerjakan oleh agama-agama mengingat hampir seluruh tradisi keagamaan, selama ini telah hidup dengan sebuah kesadaran diri sebagai “anak tunggal”. Dengan kesadaran diri sebagai anak tunggal ini, agama-agama memandang dirinya sebagai yang paling benar dan karenanya paling berhak hidup. Agama lain adalah saingan. Mereka itu musuh yang mengancam kenyamanan sebagai anak tunggal. Dengan dalih ‘misi’ agama-agama mengumpulkan seluruh daya dan upaya untuk memperkuat diri, memperbesar diri serta menaklukkan yang lain.
Dalam konteks pluralitas sekarang ini, pemahaman diri sebagai “anak tunggal” diperhadapkan dengan agama-agama lain yang juga punya kesadaran sama. Dampak dari perjumpaan semacam ini ialah timbulnya “plural shock” atau “cognitive dissonance”, yaitu suatu kebingungan yang mendekati kekacauan yang terjadi dalam diri penganutnya.[3] Itu disebabkan karena para pemeluk agama kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa apa yang semula diyakini sebagai yang sungguh benar dan diterima begitu saja, kini diperhadapkan dengan sikap yang sama dalam agama yang berbeda. Ternyata umat beragama lain juga memiliki kepercayaan, klaim, dan keyakinan yang utuh. Dengan demikian, agama-agama diperhadapkan dengan krisis.
Menghadapi krisis semacam itu dalam beberapa tahun belakangan, agama-agama telah mengembangkan apa yang disebut dengan teologi religioum atau teologi agama-agama. Teologi ini mencoba menempatkan pluralitas keagamaan sebagai pusat persoalan dan pusat perhatian.[4] Dalam teologi religionum  pluralitas agama tidak dilihat hanya sebagai fakta kehidupan yang mau tidak mau harus diterima. Pluralitas agama ingin dilihat maknanya.
Tulisan ini mencoba mengajukan suatu model theologi religionum yang pernah dihasilkan di bumi Indonesia. Model yang dimaksud ialah Pancasila.

1. Pancasila suatu teologi ? 
Apakah Pancasila suatu teologi ? Jawaban atas pertanyaan ini, amat tergantung pada pemahaman seseorang tentang apa itu agama dan apa itu teologi. Jika agama dipahami dalam perspektif yang dipakai oleh setiap penguasa yang ada di Indonesia,   maka Pancasila bukanlah suatu rumusan teologi.[5] Menurut pemahaman semacam itu, Pancasila tidak lebih dari sebuah ideologi. Namun apabila agama didekati lewat pendekatan yang lain, maka akan dihasilkan suatu pandangan yang lain terhadap Pancasila.
Dalam tulisan ini agama akan dipahami sebagai suatu fenomena sosial. Pemahaman agama yang seperti ini mendapat titik pijak teoritisnya dari Durkheim. Menurut Durkheim, agama tidak lain adalah masyarakat itu sendiri.[6] Sebab ia merupakan kesadaran bersama (collective conciousness) masyarakat yang telah dieksternalisasikan dan diobjektivasikan.[7]  Kesadaran bersama itu lahir sebagai upaya manusia mengatasi pelbagai persoalan yang paling dasar (ultimate concern) dalam hidupnya.[8]  Ultimate concern dimaksud ialah permasalahan makna. Robert N. Bellah menyebut dua hal yang menjadi ultimate concern manusia: nilai yang paling dasar dan frustasi yang paling dasar. Berkenaan dengan kedua ultimate concern itu, agama-agama di satu sisi berperan sebagai pemberi rangkaian makna yang terdiri atas nilai paling dasar yang bisa dijadikan sebagai landasan moralitas. Di sisi lain ia berfungsi untuk memberikan penjelasan-penjelasan atas frustasi-frustasi dasar ini sehingga setiap orang atau kelompok yang mengalaminya dapat menghadapi frustasi-frustasi itu tanpa membuat nilai yang paling dasar kehilangan maknanya sehingga mampu melangsungkan kehidupannya.
Persoalan makna merupakan sesuatu yang abstrak dan sulit dipahami oleh manusia. Agar permasalahan makna dapat ditangkap, ia perlu disimbolisasikan dalam bentuk sistem kepercayaan seperti, dogma, mitos, legenda, dll. Oleh agama simbol-simbol tersebut kemudian ditransendensikan. Dalam arti dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dan dilindungi dengan pelbagai larangan-larangan serta dikarakterisasikan sebagai yang superior dan mengatasi manusia. Lewat pentransendensian ini maka di dalam agama-agama lahirlah apa yang disebut sebagai  yang Sakral.
Dengan memahami agama secara demikian, menjadi jelas bahwa agama tidak lain merupakan suatu konstruksi sosial dari masyarakatnya. Sebagai yang demikian itu, tak ayal jika perwujudan agama menjadi sangat beragam dan luas. Kepercayaan-kepercayaan lokal atau agama-agama suku, yang oleh pemerintah di Indonesia tidak diakui sebagai agama, dengan pemahaman di atas dapat dimasukkan dalam lingkup agama. Malah, negara-bangsa pun bisa menjadi agama dan disebut sebagai agama sipil.
Bahwa negara-bangsa bisa menjadi agama, menjadi jelas dari apa yang dikemukakan Robert N. Bellah. Menurut Bellah, di Amerika dan juga ditempat-tempat yang lain, terdapat elemen-elemen keagamaan tertentu dari kehidupan suatu negara-bangsa yang mirip dengan agama. Dengan mengambil kasus Amerika, Bellah mengatakan hal itu demikian: “Meskipun hal-hal seperti agama  pribadi, kepercayaan, dan asosiasi peribadahan, semuanya itu dianggap urusan setiap pribadi, pada saat yang sama terdapat elemen-elemen tertentu dari orientasi keagamaan mayoritas rakyat Amerika. Elemen-elemen tertentu dari orientasi keagamaan itu memainkan peran penting dalam pengembangan dari institusi Amerika dan masih menjadi sumber dimensi religius bagi segenap kehidupan Amerika, termasuk dalam ruang politik. Dimensi religius umum ini terekspresikan dalam seperangkat kepercayaan, simbol dan ritus yang saya sebut sebagai agama sipil di Amerika”.[9]  Sebagaimana agama-agama yang lain, yang tidak pernah menjadikan masyarakat yang melahirkannya sebagai objek pemujaan, pun demikian dengan agama sipil. Di dalam agama sipil, negara-bangsa tidak pernah dijadikan sebagai objek pemujaan.[10]  
Kini kita beralih kepada persoalan yang kedua yaitu apa itu teologi. Teologi pada dasarnya merupakan refleksi dan sistematisasi dari keimanan seseorang atau sekelompok orang. Secara etimologis, teologi berarti ilmu tentang Theos, yaitu Tuhan atau yang Sakral di dalam agama-agama. Mengingat yang Sakral pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang absolut dan tak terbatas, maka ia tak bisa dijadikan sebagai objek material dari teologi. Yang dapat menjadi obyek material teologi adalah sapaan atau wahyu Yang Ilahi yang ditanggapi melalui iman. Karena isi iman dan kepercayaan berbeda-beda sesuai dengan agama yang dianut, maka teologi juga berbeda-beda menurut agama yang dipeluk oleh pelaku refleksi itu.[11] Maka, tidak ada teologi tunggal, yang ada adalah teologi Kristen, teologi Islam, teologi Hindu, dan teologi sipil dan teologi-teologi lainnya.
Refeksi iman yang dilakukan teologi tidak ditempatkan dalam ruang hampa. Maka teologi tidak pernah menjadi teologi yang obyektif dan mengatasi ruang historis. Bahkan menurut Bevans, sebenarnya tidak ada yang disebut “teologi”, yang ada hanyalah teologi kontekstual. Dalam konteks kekristenan, Bevans menjelaskan teologi kontekstual sebagai teologi yang memperhatikan tiga sumber sekaligus: Kitab Suci, tradisi dan konteks.[12] Konteks yang dimaksud ialah kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer, perubahan sosial dlsb.
Sebagai sebuah refleksi iman, teologi bisa dilakukan oleh siapapun yang beriman. Teologi tidak hanya menjadi hak istimewa para ahli yang dididik dalam keilmuan teologi yang rigid. Teologi juga bisa dilakukan oleh orang-orang beriman yang biasa, yang tidak terdidik  dalam keilmuan teologi. Memang teologi yang dihasilkan oleh kedua kelompok ini berbeda. Meski demikan bukan berarti teologi yang dihasilkan oleh para ahli lebih valid dari teologi yang dihasilkan oleh kaum awam.
Dengan memahami agama dan teologi seperti di atas, kini kita bisa memahami bahwa Pancasila juga sebuah teologi. Ia merupakan refleksi dan sistematisasi keimanan bangsa Indonesia. Sebagai sebuah teologi, Pancasila berbeda dengan misalnya teologi Islam, teologi kristen, teologi Hindu dan lain-lain. Perbedaan itu disamping pengaruh faktor setting sosial yang melahirkannya, juga dipengaruhi oleh tradisi-tradisi keimanan yang beragam.
Di dalam Pancasila tradisi-tradisi yang beragam itu bertemu, berdialog dan berkolaborasi untuk membangun negara-bangsa. Dalam konteks keagamaan, pada saat Pancasila dirumuskan paling tidak ada tiga agama yang turut membentuk Pancasila, yaitu Islam, Kristen dan Hindu. Pemeluk dari ketiga agama ini turut terlibat dalam perumusan Pancasila. Pada saat merumuskan Pancasila, mereka mempertaruhkan keimanan mereka. Yang Islam mempertaruhkan keislamannya, yang Kristen mempertaruhkan kekristenannya, dan yang Hindhu mempertaruhkan kehinduannya. Cuma saja, dalam proses pertaruhan tersebut masing-masing pihak memposisikan diri sebagai seorang warga Negara, yang secara berkeadaban mencoba mencari solusi terbaik bagi masa depan kehidupan bersama mereka.  Dalam proses perumusan itu, masing-masing pendukung tradisi keimanan yang berbeda, termasuk tradisi-tradisi yang dianggap sekuler seperti nasionalisme dan sosialisme/marxis, tidak bersikap eksklusif. Mereka bersedia berdialog dengan yang lain, menerima sesuatu dari yang lain dan juga memberi sesuatu kepada yang lain. Hasilnya ? Lahirlah apa yang belakangan disebut dengan teologi sipil[13] yang bersifat terbuka dan sekaligus transformatif yang disebut dengan teologi Pancasila.

2. Pancasila: Teologi Religionum Yang Kontekstual ?
Teologi religionum dikembangkan dengan maksud untuk menemukan makna keberadaan agama-agama yang lain. Untuk maksud tersebut teologi religionum mengkonsentrasikan diri pada dua hal: pandangan tentang yang Tuhan dan pandangan tentang sesama.[14] Kedua hal ini sangat terkait. Pandangan tentang Tuhan akan mempengaruhi pandangan manusia yang mempercayai Tuhan yang lain.  Jika suatu agama mengembangkan pandangan tentang Tuhan sebagai satu-satunya yang benar, sementara yang lain salah; maka pandangan semacam ini akan melahirkan suatu sikap-sikap diskriminatif dan imperialistis terhadap manusia yang mempunyai pandangan Tuhan yang lain. Berpijak pada dua perhatian teologi religionum itu, kita akan melihat Pancasila. Bagaimanakah Pancasila mengembangkan Pemahamannya tentang Tuhan dan sesama ?
Untuk memahami pandangan tentang Tuhan yang terkandung di dalam Pancasila, kita perlu menempatkan Pancasila di dalam konteksnya, yaitu Pembukaan UUD 1945. Di situ kita bisa menjumpai dua konsep mengenai Tuhan, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa (alinea ketiga) dan Tuhan yang Ketuhanannya itu Maha Esa (alinea keempat, dan sila pertama dari Pancasila). Dalam konstalasi Pembukaan UUD 1945, konsep mengenai Tuhan itu tidak bisa dilepaskan dengan konsep lainnya, yaitu konsep kemerdekaan Indonesia yang terdapat dalam alinea pertama dan kedua Pembukaan UUD 1945.[15] Oleh karena kedua konsep ini sangat berkaitan erat, maka untuk memahami konsep Tuhan dalam Pancasila seturut konteksnya kedua konsep tersebut tak bisa diabaikan.
Analisis terhadap alinea pertama dan kedua Pembukaan UUD 1945, akan ditemukan konsep-konsep pokok yang saling berkaitan.[16] Di alinea pertama, konsep pokoknya ialah kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan yang dihubungkan dengan penjajahan. Pada alinea kedua konsep kuncinya: perjuangan kemerdekaan, pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Di dalam alinea pertama, bangsa Indonesia menyadari bahwa kemerdekaan, perikemanusiaan, dan keadilan merupakan nilai-nilai hakiki dari manusia. Meski kemunculan nilai-nilai tersebut di dalam Pembukaan UUD 1945 memiliki dasar historis dan terikat dengan pengalaman bangsa Indonesia, namun nilai-nilai tersebut bersifat universal. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai tersebut hanya akan terwujud jika tidak ada penjajahan. Pengalaman bangsa Indonesia dijajah telah menjadikan bangsa Indonesia hilang kemanusiaannya karena diperlakukan tidak adil. Oleh karena itu untuk memulihkan kemanusiaan dan keadilan, kemerdekaan menjadi satu-satunya jalan.
Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan ialah hak. Maka dari itu, di dalam alinea kedua, bangsa Indonesia menegaskan tuntutannya akan haknya itu. Istilah perjuangan kemerdekaan dalam alinea kedua ini, menunjuk pada usaha bangsa Indonesia menuntut haknya itu. Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari penjajah. Kemerdekaan itu ialah hasil pencurahan keringat dan darah bangsa Indonesia. Nilai yang mau ditekankan dalam alinea kedua ini ialah usaha nyata manusia.[17] Menurut bangsa Indonesia, keadilan, kemakmuran, persatuan dan kedaulatan tidak akan datang dengan sendirinya. Itu hanya akan terwujud jika ada usaha keras dari manusia untuk mewujudkannya.
Dalam dua alinea berikutnya, Pembukaan UUD 1945 memuat istilah-istilah pokok: Pengakuan adanya berkat rahmat Tuhan, Pernyataan Kemerdekaan (alinea ketiga), pemerintah negara, UUD, Negara yang berkedaulatan rakyat dan Pancasila (alinea keempat).[18]  Di dalam Alinea ketiga, bangsa Indonesia memahami tercapainya kemerdekaan secara berbeda dengan pemahaman yang ada pada alinea kedua. Jika di alinea kedua bangsa Indonesia lebih menekankan pada usaha keras manusia; maka di alinea ketiga diakui adanya campur tangan Tuhan. Bagi bangsa Indonesia, usaha keras manusia ternyata tidak cukup untuk mewujudkan kemerdekaannya. Usaha keras manusia perlu disertai oleh pertolongan Tuhan.
Dengan keyakinan semacam itu, tergambarlah religiositas bangsa Indonesia. Uniknya, religiositas bangsa Indonesia, bukanlah religiositas mayoritas penduduknya (Islam), juga bukan religiositas agama-agama minoritas lainnya yang ada di Indonesia. Religiositas bangsa Indonesia adalah religiositas yang belum pernah dijumpai di dalam agama-agama yang ada di Indonesia pada saat itu (dan pada kadar tertentu, masih dijumpai pada masa kini). Dikatakan demikian oleh karena religiositas agama-agama yang ada di Indonesia, masih bersifat eksklusive, merasa dirinya lebih tinggi dan lebih benar dibanding dengan agama-agama yang lain. Akibat dari religiositas semacam ini, antara agama yang satu dan yang lain tidak jarang berlaku saling menegasikan. Dengan religiositas semacam ini, agama-agama tidak mungkin mampu memahami sesamanya secara positif.
Berbeda dengan religiositas agama-agama yang bersifat eksklusive, religiositas Indonesia justru mau melampaui eksklusivitas tersebut. Ini menjadi jelas dalam proses perumasan konsep Tuhan yang ada dalam pembukaan UUD 1945. Ditinjau dari sisi historisnya, pembukaan UUD 1945 bermula dari Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dihadapan sidang BPUPKI,[19] yang dalam proses selanjutnya dioleh oleh panitia sembilan menjadi apa yang sekarang dikenal dengan piagam Jakarta. Susunan dan isi Piagam Jakarta memang tidak berbeda jauh dengan Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Perbedaan yang fundamental dari keduanya ialah konsep Tuhan. Di dalam Piagam Jakarta, konsep Tuhan bersifat partikular. Tuhan di dalam piagam Jakarta ialah Tuhannya umat Islam, yaitu Allah swt. Kecuali itu, Piagam Jakarta juga termuat tujuh kata yang menganakemaskan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.[20]
Dalam sejarahnya, Piagam Jakarta diperdebatkan oleh anggota BPUPKI. Perdebatan ini terutama mengenai tujuh kata. Perdebatan itu dipicu oleh Latuharhary, yang keberatan dengan dicantumkannya ketujuh kata tersebut. Menurut Latuharhary, ketujuh kata tersebut akan melahirkan syak-prasangka antara golongan yang satu terhadap golongan yang lain.[21]  Selain yang dikhawatirkan Latuharhary, pencantuman ketujuh kata tersebut juga akan berimplikasi pada diskriminasi yang dilakukan negara terhadap agama-agama yang lain. Dengan dicantumkannya ketujuh kata tersebut, maka Islam akan dianakemaskan. Penganakemasan Islam ini menjadi jelas dalam perkataan Soepomo[22] dan rancangan UUD yang dihasilkan BPUPKI. Namun keberatan Latuharhary ditolak oleh Soekarno, karena Piagam Jakarta merupakan gentlement agremant.[23]
Perubahan yang sangat menentukan dan mengubah arah religiositas Indonesia terjadi pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1948. Pada sidang tersebut, ketujuh kata tersebut dihapus. Penghapusan ini terjadi karena seorang opsir Kaigun (angkatan laut) memberitahukan kepada Hatta bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik yang ada di Indonesia Timur~yang pada waktu itu Indonesia Timur secara adminitratif terpisah dengan Indonesia Barat~menyampaikan keberatan terhadap ketujuh kata tersebut dan lebih suka berdiri diluar republik Indonesia jika ketujuh kata itu ditetap ada. Seiring dengan penghapusan ketujuh kata tersebut, I Gusti Ktut Puja mengusulkan kata Allah diganti Tuhan.
Alasan I Gusti Ktut Puja untuk mengganti kata Allah dengan Tuhan memang tidak diungkapkan. Menurut Putu Setia, meski I Gusti Ktut Puja, tidak menggungkapkan alasannya, namun melihat perdebatan selama sidang BPUPKI yang kental dangan warna agama, maka bisa diperkirakan jika I Gusti Ktut Puja ingin menyelamatkan bangsa ini dari warna khas agama tertentu.[24] Jika ini benar~serta mengingat bahwa para peserta sidang secara bulat menerima usulan tersebut~bisa diartikan pula jika kata Tuhan merupakan kata yang paling mampu mewadahi seluruh konsep atau istilah lain yang merujuk pada entitas yang sama, yang secara partikularistik dipahami oleh agama-agama yang ada di Indonesia. Islam yang memahami Tuhan dalam istilah Allah Swt, Kristen memahami dengan istilah Allah Tritunggal, Hindhu menggunakan istilah Sang Hyang Widhi Wasa, dan pelbagai istilah lainnya dalam agama-agama yang berbeda, bisa menerima istilah Tuhan. Dengan demikian kata Tuhan bukan saja bisa diterima, tetapi kata ini juga bisa melampaui dimensi-dimensi partikularistik agama-agama di Indonesia.
Jika religiositas bangsa Indonesia, sebagaimana telah dipaparkan, dikaitkan dengan alinea pertama dimana kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan menjadi nilai-nilai utamanya maka setiap manusia dan agama yang berbeda-beda mempunyai kedudukan yang sederajat. Di dalam religiositas Indonesia, tidak ada yang menjajah dan dijajah. Semuanya setara.
Nilai kesetaraan juga nampak dalam alinea keempat. Sebagaimana telah diungkapkan, konsep kunci yang terkandung di alinea ke empat ialah pemerintah negara, UUD, Negara yang berkedaulatan rakyat dan Pancasila. Keempat konsep pokok ini semuanya mengarah pada kepentingan rakyat. Kepentingan rakyatlah yang harus menjadi dasar penyelengaraan negara. Pemerintah Indonesia tidak bisa dan tidak boleh melayani kepentingan kelompok-kelompok tertentu dari rakyat Indonesia. Dengan pemahaman ini maka penempatan konsep Pancasila menjadi penting,  sebab di dalam Pancasila-lah aspirasi rakyat menjadi nyata.[25]
Bahwa Pancasila merupakan aspirasi rakyat, akan semakin jelas jika Pancasila dipahami dalam kerangka pikir Soekarno yang pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk mempertemukan tiga kepentingan berbeda, yang dalam sidang BPUPKI sedang bertarung. Ketiga kepentingan itu ialah kepentingan kaum nasionalis, kepentingan kaum islamis dan kepentingan kaum sosialis/Marxis.[26] Sintesa ini dapat dilihat dari kelima sila yang diajukan Soekarno, yang jika tidak disetujui bisa diperas menjadi Tri sila, dan jika masih tidak disetujui, bisa diperas lagi menjadi Eka sila. Secara khusus mengenai gagasan Soekarno untuk memeras Pancasila-nya menjadi Trisila, sesungguhnya merupakan gagasan yang berakar di dalam Trisila yang pernah ia dituangkan dalam risalah yang ditulis pada tahun 1926. Trisila 1926 itu ialah:  Nasionalisme, Marxisme dan Islamisme.[27]  Jika dibuat tabel, sintesa yang dibuat Soekarno itu ialah:

Trisila 1926
Pancasila (1945)
Trisila 1945
Eka sila
Nasionalisme
(Jawa Traditional)
Kebangsaan Indonesia (Nasionalisme)

Socio-Nasionalisme




Gotong-royong

Marxisme
Internasionalisme atau perikemanusiaan
Mufakat atau Demokrasi
Socio-Democratie
Kesejahteraan Sosial
Islam
Ketuhanan
Ketuhanan

Jika diperhatikan, ternyata di dalam Pancasilanya Soekarno ketiga kepentingan yang saling bersaing itu tidak dibiarkan begitu saja. Oleh Soekarno, Nasionalisme, Marxisme dan Islamisme ditransformasikan menjadi socio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Dengan rumusan yang transformatif ini, Soekarno berusaha memberi tempat bagi keragaman yang untuk berperan dalam mengembangkan masyarakat dan bangsa Indonesia.[28]  Meski demikian, tempat tersebut diberikan dengan syarat, yaitu mereka harus bersedia untuk saling menerima keberadaan yang lain sebagai bagian dari dirinya. Jika mereka bersedia, konsekuensi logis dari perjumpaan yang saling menerima ini ialah transformasi.[29]
Jadi, Religiositas Indonesia disamping melampaui eksklusivisme, ia juga bersifat transformatif. Oleh karena itu tidak berlebihan jika John Titaley menganggap Religiositas ini sebagai religiositas yang inklusive-transformatif. Jika religiositas bangsa Indonesia, sebagaimana tercermin dalam Pancasila bersifat inklusive-transformatif, sudah sepantasnyalah jika Pancasila disebut sebagai model teologi religionum yang kontekstual di Indonesia. Model seperti ini bisa disejajarkan dengan model yang dikembangkan oleh Paul F. Knitter dengan istilah ‘dialog yang korelasional dan bertanggung jawab global’.[30] Dengan istilahnya ini, Knitter mengakui keragaman dan perbedaan agama-agama. Bersamaan dengan pengakuan tersebut, agama-agama perlu berhubungan secara terbuka dan timbal balik sehingga terjadi proses take and give. Menurut Knitter, dialog semacam ini hanya bisa terwujud apabila agama-agama tidak merasa dirinya superior atas yang lainnya. Jika agama-agama berhubungan sebagaimana dipersayaratkan Knitter, konsekuensi apa yang akan dialami oleh agama-agama ? tentu transformasi-lah yang terjadi. 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bahar, Saafroedin,  Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara R.I., 1995).
Bellah, Robert N., Religi Tokugawa Akar-Akar Budaya Jepang (Jakarta: Gramedia, 1992)
                            , ‘Civil Religion In America’ dalam http://www. robertbellah. com/ articles.html
Berger, Peter L.,  Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial (Jakarta LP3ES 1991)
Dister, Niko Syukur Pengantar Teologi, (Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1991)
Durkheim, Emile., Sejarah Agama: The Elementary Form Of Religious life, (Yogyakarta: Isrcisod, 2001)
Ismail, Faisal,  Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam Dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Knitter, Paul F. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama Dan Tanggung Jawab Global, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).
Pranarka , A.M.W.,  Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: yayasan Proklamasi-CSIS, 1985)
Sukarno, Ir. ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’, dalam Dibawah Bendera Revolusi jilid 1, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005) hlm. 1-22
Tim Balitbang PGI (Peny): Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Titaley,  John     ‘Refleksi Agama Terhadap Tantangan Kebudayaan: Perspektif Kristen’ dalam Retnowinarti dan Johnly E.P. Poerba Agama-Agama dan tantangan Kebudayaan (Jakarta-Salatiga: Balitbang PGI-Yayasan Binadarma, 1994
                           ,‘Suatu Perbandingan Sosio-Historik Konstitusi Madinah dan Konstitusi Indonesia’ dalam SETIA, Jurnal Teologi Persetia No. 1/ tahun 1999
                            ,‘Panggilan Gereja dalam Konteks Heterogenitas Masyarakat Indonesia, dalam Dance I. Palit, dkk., (Ed) Dinamika Nasionalisme Indonesia (Salatiga: Yayasan Bina Darma 1999)
                            ,Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual: Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Teologi di UKSW (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2001)



[1] Pernah dipublikasikan  dalam Jurnal Teologi Sangkakala, Edisi 1 vol 1 Okt. 2009
[2]Th. Sumartana, Theologia Religionum, dalam Tim Balitbang PGI (Peny): Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 19
[3]Martin L.Sinaga, “Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia”, dalam Tim Balitbang PGI, Ibid.  hlm. 3.
[4] Th. Sumartana dalam Tim Balitbang PGI, Ibid.  hlm. 19
[5]Pandangan para penguasa di Indonesia tentang agama mulai dirumuskan oleh Departemen Agama pada tahun 1952 .  Rumusan tersebut mencoba memahami agama lewat memerinci unsur-unsur utama dari agama, yang antara  lain: 1) harus menyembah Tuhan Yang Esa, 2) mempunyai nabi,  3). Mempunyai kitab Suci, 4) mempunyai kaidah-kaidah hidup dan 5) mendapat pengakuan sebagai agama dari luar negeri. Sekalipun pemahaman tentang agama yang semacam ini tidak pernah muncul dalam kebijakan-kebijakan pemerintah R.I, tetapi pemahaman tersebut cukup dominan dalam membentuk cara pandang penguasa-penguasa R.I dalam memahami agama. Lih.  Broto Semedi, Kehidupan Beragama Berdasarkan Pancasila Menuju Toleransi Agama,  (Yogyakarta: TPK Gunung Mulia, cet. 1, tt), 8 ; Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 116-119
yang harus
[6] Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementary Form Of Religious life, (Yogyakarta: Isrcisod, 2001)
[7] Istilah tersebut dipinjam dari Trialektika Peter L. Berger yaitu ekternalisasi dan objektivasi dan Internalisasi. Menurut Berger, Eksternalisasi ialah pencurahan kedirian secara terus menerus ke dalam dunia. Melalui pencurahan kedirian ini, manusia kemudian menghasilkan sesuatu, baik itu yang berbentuk fisis maupun mental. Bagi manusia, eksternalisasi ini adalah sebuah keharusan. Ini adalah tuntutan dari “kodrat” manusia, yang memang “belum lengkap” semenjak manusia dilahirkan. Sementara obyektifasi adalah pentransformasian produk-produk yang dihasilkan dalam proses eksternalisasi, menjadi sesuatu yang bukan hanya ciptaan manusia, tetapi juga sesuatu yang berbeda dari penciptanya. Adapun internalisasi adalah peresapan kembali produk-produk yang diciptakan manusia itu (yang sekaligus berbeda dengan manusia), dan ditransformasikan sekali lagi ke dalam struktur kesadaran manusia.Berger, Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial (Jakarta LP3ES 1991)., Hlm. 4-5
[8] Robert N. Bellah, Religi Religi Tokugawa Akar-Akar Budaya Jepang (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 10-11
[9]Robert N. Bellah, “Civil Religion In America”, dalam http://www. robertbellah.com/articles.html
[10]Ibid.
[11]Niko Syukur Dister, Pengantar Teologi, (Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 34
[12] Ibid. hlm. 6-8
[13] Istilah Teologi Sipil adalah istilah yang dipakai oleh Andrew Shank untuk menyebut teologi para warga Negara. Berbeda dengan teologi konfensional (teologi yang dihasilkan oleh agama-agama tertentu, seperti Islam Kristen, Hindu Budha, dll) yang dituntun oleh kesetiaan kepada identitas dan narasi-narasi kelompok keagamaan, teologi sipil dituntun oleh kesetiaan kepada identitas sebagai seorang warga Negara dengan segala narasi kebangsaannya. Sekalipun berbeda, teologi Sipil tidak perlu dipertentangkan dengan teologi konfensional , sebab Teologi Sipil  juga berkaitan dengan teologi konfensional dan memperhadapkan identitas kewarganegaraan dengan narasi kebangsaannya kepada Tuhan. Lih. Andrew Shanks, Agama Sipil, (Yogyakarta: Jalasutra 2003), Sipil tidak perlu diperte
[14] John Titaley Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual: Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Teologi di UKSW (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW) hlm. 3
[15]Ibid, hlm. 27
[16] Bdk. John Titaley, ‘Suatu Perbandingan Sosio-Historik Konstitusi Madinah dan Konstitusi Indonesia’ dalam SETIA, Jurnal Teologi Persetia No. 1/ tahun 1999, hlm. 10
[17] Ibid. hlm. 13
[18] Ibid hlm. 14-19
[19] Pidato Soekarno dihadapan siding BPUPKI ini kemudian dikenal sebagai pidato Lahirnya Pancasila. Lih. Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara R.I., 1995) hlm 63-84
[20] Tujuh kata yang dimaksud ialah: ‘dengan  kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Ketujuh kata ini terdapat di dalam alinea keempat.
[21] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara R.I., 1995) hlm. 215-216.
[22]Ibid hlm. 266
[23]Ibid.,  hlm. 216
[24] Putu Setia, ‘Refleksi Agama-Agama Atas 50 Tahun Kemerdekaan Perspeltif Hindu’ dalam Tim Balitbang PGI Op.cit., hlm. 228.
[25] John Titaley, ‘Suatu Perbandingan Sosio-Historik... Op. Cit., hlm. 17
[26] Para ahli masih bersilang pendapat mengenai pelbagai kepentingan yang bertarung pada sidang BPUPKI ini. Faisal Ismail menyebut dua kekuatan yaitu nasionalis sekuler dan nasionalis muslim. Sementara, A.M.W. Pranarka menyebut tiga kekuatan: kebangsaan, islam dan ideologi barat modern sekuler.  Kami sendiri sepakat dengan John Titaley, bahwa dalam persidangan tersebut terdapat tiga kekuatan ideologis yang saling bersaing: Nasionalisme (khususnya tradisionalisme Jawa), Islam dan Sosialisme/Marxisme. Mengenai keterlibatan Nasionalisme dan Islam kiranya sudah diterima luas. Namun untuk sosialisme/marxis, banyak pihak yang enggan mengakui.  Padahal sosialisme juga turut andil bagian dalam pertikaian itu dan turut berjasa pula dalam meletakkan dasar-dasar nation-state Indonesia. Keterlibatan sosialisme/Marxisme terlihat dari pidato Soepomo dalam sidang BPUPKI tersebut. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat dalam: Faisal Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam Dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)  hlm. 4;  A.M.W. Pranarka , Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: yayasan Proklamasi-CSIS, 1985) hlm. 47-48.; John Titaley, ‘Kemerdekaan dan Masa  Depan Indonesia: Suatu Refleksi Teologis’ dalam Martin L. Sinaga, hlm. 202
[27] Risalah ini dapat dijumpai dalam Ir. Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi jilid 1, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005) hlm. 1-22
[28] John Titaley, ‘Kemerdekaan  dalam Tim Balitbang PGI. .Op. Cit., hlm. 204
[29] Konsekuensi logis ini bisa dimungkinkan mengingat hubungan-hubungan social pada dasarnya bercirikan trialektika yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Lih. Footnote 4 diatas.
[30] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama Dan Tanggung Jawab Global, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar