Kamis, 21 November 2013

Bersaksi: Prinsip dan Strategi Pelaksanaannya

Bersaksi: Prinsip dan Strategi Pelaksanaannya
Chlaodhius Budhianto, S.Th, M.Si

A.    Pendahuluan.

Dalam lingkungan kehidupan Kristen, bersaksi atau mengabarkan injil (kabar baik), merupakan suatu kata yang penting, bahkan amat penting.  Bersaksi merupakan amanat Tuhan bagi setiap pengikutnya, Sama seperti Allah telah mengutus Yesus, sekarang Yesus mengutus  setiap pegikutnya untuk meneruskan tugas perutusanya (Yoh. 20:21; Kis. 1: 8). Akan tetapi, tidak sedikit orang Kristen yang menjadi alergi ketika diminta  melaksanakannya. Kenapa ? sebabnya ada dua. Pertama, banyak orang Kristen memahami pekabaran injil secara berlebihan. Pekabaran injil dilihat sebagai kegiatan yang sama sekali terpisah dari kehidupan keseharian kita, seperti bekerja, menuntut ilmu, mengasuh anak, bergaul dengan teman-teman, dll.  Sebagian dari mereka, melihat seorang Pekabar Injil adalah orang yang diutus ke luar daerah atau keluar negeri untuk mengabarkan  injil kepada suku-suku terasing atau orang-orang yang sama sekali belum pernah mendengar injil. Dan orang yang mengabarkan injil, juga bukan sembarang orang; tetapi orang-orang tertentu, yaitu orang-orang yang sudah ahli dalam agama Kristen seperti para pendeta atau sarjana-sarjana teologi. Kedua, sebagian lagi melihat kesaksian atau pekabaran Injil sebagai menyaksikan pengalaman-pengalaman hidup yang luar biasa, seperti disembuhkan dari sakit-penyakit yang menaun, tanpa dokter, terlepas dari beban berat yang menghimpit, pengalaman diberkati, dll. Celakanya, kesaksian semacam ini dilihat sebagai satu-satunya kesaksian yang paling benar, sehingga harus dijadikan model bagi semua orang Kristen. Akibatnya, tidak sedikit dari orang Kristen yang takut untuk bersaksi. Mereka merasa tidak punya pengalaman-pengalaman seperti itu.  Dan yang lebih celaka lagi, tidak sedikit pula dari orang kristen yang kecewa kepada Tuhan, sebab merasa dianaktirikan Tuhan.: “Kenapa Tuhan memberi pengalaman rohani yang hebat kepada orang itu, dan tidak memberikannya kepada saya?”
Karena gambaran-gambaran semacam itu, tidak mengherankan jika banyak orang Kristen, menjadi sedikit alergi ketika mendengar kata-kata pekabaran Injil atau bersaksi. Sekalipun orang Kristen menyadari bahwa pekabaran injil adalah tugas perutusannya, mereka enggan untuk mengabarkan injil. Keengganan itu semakin bertambah besar dengan adanya isu kristenisasi dan resiko yang harus ditanggung akibat dari kegiatan PI.
Sebenarnya, mengabarkan injil, tidak sesulit sebagaimana dibayangkan. Sebab, sesungguhnya sangat dekat dengan kegiatan keseharian kita. PI dapat kita lakukan dalam kehidupan keseharian kita. Ketika kita bekerja, menuntut ilmu, mengasuh anak, bergaul dengan tetangga dll, kita bisa bersaksi. Sama seperti kegiatan-kegiatan  kita lainnya, resiko memang selalu ada di dalam mengabarkan Injil. Kalau kita mengendarai sepeda motor, apa resikonya ? jatuh dan kecelakaan! Jika itu resikonya, apakah kita berhenti berkendara?  Tentu tidak.
PI akan menjadi sederhana, jika kita mau menempatkannya dalam kerangka tugas dan perutusan Yesus yang  diserahkanNya kepada Gereja untuk diteruskan.

B.     Gereja dan Kesaksiannya

“Gereja bukan dari dunia, tetapi diutus ke dalam dunia.” Kalimat ini dengan tepat mengungkapkan siapa sesungguhnya Gereja. Kalimat tersebut dengan gamblang mau menjelaskan siapa sesungguhnya gereja. Ada dua hal yang mau dijelaskan. Pertama, gereja bukan suatu lembaga yang berasal dari dunia ini. Gereja adalah persekutuan yang didirikan oleh Yesus Kristus. Dialah pendiri, pemilik dan kepala Gereja yang satu-satunya. Sentralitas Yesus inilah yang menjadikan persekutuan yang bernama Gereja itu berbeda dengan LSM atau Partai Politik. Kedua, Gereja dihadirkan oleh Tuhan bukan untuk dirinya sendiri. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar (eks=keluar; kaleoo=memanggil). Mereka disendirikan untuk menjalankan misi.
Misi berarti “tugas dan panggilan gereja, seluruh makna keberadaan gereja dan kehadirannya di dunia, yang biasa disebut sebagai tridarma Gereja: bersaksi, bersekutu dan melayani.” Bersaksi (marturia) berhubungan dengan aspek ritual dan kesaksian terhadap dunia luar, bersekutu (koinonia) berhubungan dengan aspek institusional dan pembinaan hidup bersama, sementara diakonia berkaitan dengan aspek etis dan pelayanan social. Tridarma itu bagaikan segitiga, yang ujung-ujungnya saling bertemu, sehingga salah satu dari, ketiganya mencakup dua aspek lainnya. Di dalam aspek bersaksi, misalnya, ada aspek melayani dan bersekutu.
Bersekutu
 
                                      Melayani                                             Bersaksi

Isi dari misi gereja adalah melanjutkan misi Allah yang dikerjakan Yesus:  “Bertobatlah karena Kerajaan Allah sudah dekat” (Mat. 4:17). Tugas perutusan Yesus adalah tugas perutusan yang rangkap: pembaharuan spiritual dan pembaharuan social. Sampai saat ini, masih ada gereja (dan orang Kristen) yang tidak menyadari dimensi rangkap dari perutusan Yesus itu, sehingga dalam menjalankan perutusannya cenderung berat sebelah. Satu kelompok menekankan misi Yesus sebagai misi “penyelamatan jiwa” secara individual. Inti dari kelompok ini amat sederhana: “sekiranya semua orang bertobat dan menjadi murid Kristus, maka semua masalahnya akan  beres”. Kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, perang, tidak aka ada di dunia ini. Kelompok lainnya, berpandangan bahwa misi Yesus adalah “misi penyelamatan social.” Sekalipun “penyelamatan jiwa” tidak disangkal, kelompok kedua ini lebih mengedepankan pembaharuan social. Bagi kelompok ini, selama struktur masyarakat masih jahat, maka orang-orang yang secara individual baik, ia tidak bisa berbuat banyak. Cepat atau lambat, ia akan berbuat jahat pula.
Kerajaan Allah, sebagai inti dari pemberitaan Yesus, perlu dipahami sebagai pemerintahan Allah, di mana kuasa dan kehendaknya dilakukan. Kerajaan Allah adalah sesuatu yang dinamis, dalam pengertian kuasa yang menghidupkan (Mrk. 9:1), keadaan bahagia dan sejahtera (Mat. 8:11), tata tertib yang baru (Mat. 5:19), sebagai suasana rohani (Lukas 9: 62) atau sebagai suatu karunia (Luk. 12: 32).
Yesus menjadikan “kerajaan Allah” sebagai agenda dari pekerjaan dan pelayanan-Nya (Luk. 4: 18-19) dan melihat karyanya itu sebagai perwujudan dari Kerajaan Allah. Ketika Yohanes Pembaptis menyuruh murid-muridnya menemui Yesus dan menanyakan tentang keberadaanNya, Yesus hanya mengajak mereka untuk melihat apa yang ia lakukan: yang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik (Mat. 11:4-6). Dalam seluruh pelayananan dan pengajaran Yesus, orang-orang yang tersingkir itu, diperhatikan dan diperjuangkan nasibnya, sehingga mereka memperoleh kehidupan yang layak. Dalam pengertian ini, Yesus adalah seorang aktifis social yang mereformasi kehidupan sosial. Serentak dengan itu, Yesus juga menyerukan pertobatan. "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil! Bertobat artinya berbalik dari hidup yang lama. Percaya artinya menyerahkan diri kepada Allah.
Injil, atau kabar baik bahwa kerajaan Allah telah datang itu bersifat menyeluruh. Injil yang menyelamatkan itu, tidak hanya menyelamatkan jiwa; tetapi juga manusia secara social. Injil yang hanya menyelamatkan jiwa, belum menjadi injil yang penuh. Begitu juga injil yang hanya menyelamatkan  manusia secara social. Manusia membutuhkan injil yang penuh itu, yaitu untuk hatinya, untuk perutnya, untuk diri pribadinya, juga untuk seluruh konteks kehidupannya.
Apa arti dari hakekat gereja dan misinya itu bagi kesaksian ? itu artinya gereja menjadi arena dimana injil diberitakan. Ya kesaksiannya, ya persekutuannya, ya pelayanan sosialnya. Hal yang sama juga berlaku bagi setiap orang Kristen. Seluruh kehidupan  orang Kristen adalah arena di mana Injil—seharusnya—disaksikan. Ini artinya, di dalam pekerjaannya, di dalam studinya, di dalam hidup berkeluarganya dan di dalam hidup bermasyarakat, setiap orang Kristen selalu membawa Injil, untuk disaksikan kepada orang banyak.

C.    Prinsip-prinsip  Dasar dalam Bersaksi

Hal yang tidak kalah penting dalam bersaksi adalah prinsip. Terkadang orang Kristen melalaikan hal ini. Entah karena tidak tahu atau karena terlalu bersemangat dalam memberitakan Injil. Tidak sedikit orang Kristen yang berpendapat: “Pokoke memberitakan Injil.” Jika seperti ini, akan timbul bahaya. Bisa-bisa Injil itu telah di discount. Dan yang paling berbahaya, Injil  tidak lagi menjadi Injil atau kabar baik, tapi menjadi kabar buruk.

1.      Holistik (menyeluruh)

Sudah dikatakan di depan, bahwa injil kerajaan Allah yang menyelamatkan itu, mencakup dua aspek sekaligus: keselamatan spiritual-individual dan keselamatan social material. Kita tidak boleh memberitakan salah satu dari keduanya. Beritakan dan nyatakan Injil kerajaan Allab itu secara utuh dan menyeluruh.  Holistik artinya melihat kebuluhan manusia baik kebutuhan-kebutuhan individualnya maupun sosialnya. kebutuhan-kebutuhan fisik, psikis maupun kebutuhan spiritualnya. Kebutuhan-kebutuhan sekarang di bumi ini maupun nanti selelah mati. dan sebagainya. Jika injil tidak diberitakan secara utuh, saya khawatir, kesaksian kita hanya akan mengajak orang untuk mengikuti Yesus yang jauh, Yesus yang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan dan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang nyata. Yesus yang terasing tidak mempunyai makna bagi manusia di tengah konteks kehidupan mereka yang nyata.

2.      Injil tidak boleh di discount

Banyak kalangan, mengatakan bahwa era sekarang adalah era pasar agama. Sekarang ini agama-agama saling bertemu dan berlomba-lomba untuk menjadi agama yang pantas “dibeli” oleh banyak orang, tidak terkecuali orang-orang Kristen. Sebagai orang Kristen, apakah kita tidak menginginkan supaya banyak orang percaya kepada Kristus ? keinginan semacam ini, sering menggoda para saksi kristus, untuk menjadi salesman. Apa yang penting bagi salesman ? Yang penting adalah target, Yang penting bagi salesmen adalah produknya laris, laku di pasar. Oleh karena itu, mereka berusaha me-masar-kan produknya semenarik mugkin. Kalau perlu, data yang selengkap-lengkapnya tentang produk itu sengaja disembunyikan. Yang diiklankan hanyalah yang baik-baik. Seorang salesman akan dianggap hebat dan berhasil kalau ia berhasil menjual sebuah produk sebanyak-bayaknya, walaupun produk itu sendiri banyak cacatnya.

Sebenarnya ada kemiripan antara seorang pemberita injil dengan salesman. Sebagai pemberita Injil, kita juga harus memberitakan injil dengan menarik. Orang tidak akan tertarik kepada injil, jika cara kita memberitakannya tidak menarik. Jika kita memberitakan Injil yang tidak relevan dengan apa yang dibutuhkan orang dan tidak menjawab apa yang ditanyakan orang, maka orang lain tidak akan memperhatikan apa yang kita beritakan.

Tetapi, ada perbedaan yang amat penting antara pemberita injil dan salesman. Yang paling penting dalam pemberitaan injil, bukanlah agar Injil itu diterima oleh sebanyak mungkin orang, dan oleh karena itu, seperti iklan, injil kita poles sedemikian rupa, kita discount supaya laris. Yang paling penting dalam pemberitaan injil adalah INJIL itu sendiri. Yang paling penting dalam pemberitaan injil adalah agar injil itu diberitakan seluas-luasnya, dengan selengkap-lengkapnya, sebenar-benarnya dan sejelas-jelasnya. Sebab, injil yang benar belum tentu memenuhi selera konsumen. Beritakan injil dengan benar dan jelas, sekalipun orang nanti akan menolaknya. Dalam memberitakan Injil, tidak ada discount, tidak ada harga obral.

3.      Bukan Kristenisasi

Karena Pekabaran Injil bukan target oriented, maka Pekabaran Injil bukan kristenisasi. Ukuran PI bukanlah seberapa banyak orang yang berhasil kita kristenkan. Tujuan PI adalah memberitakan injil dengan jelas dan benar—apapun hasilnya. Itu tidak berarti bahwa, kuantitas tidak penting. Kuantitas tetap penting, tetapi kuantitas yang berkualitas. Pertambahan jumlah orang Kristen yang tidak berkualitas hanya menambah statistic, tapi tidak menambah apa-apa yang bermakna.

4.      Integritas

Paulus dengan tepat menggambarkan siapa sebenarnya saksi-saksi injil itu: “Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus” (2 Kor. 3:3). Dalam pemberitaan Injil, orang mau melihat, apakah saksi-saksi injil itu, menghayati injil atau tidak. Pemberitaan injil, dalah kesaksian yang otentik. Orang yang cuma pintar memberitakan Injil, tapi dia sendiri tidak hidup dalam injil, adalah batu sandungan dan kesaksian yang buruk bagi Injil. Mahatma Gandi, pernah berkata “mengapa aku harus menjadi orang Kristen, padahal orang Kristen tidak lebih baik dari orang-orang seagamaku? Padahal, Mahatma Gandhi sudah amat dekat dengan Yesus. Ajaranya yang terkenal yaitu Ahimsa dan Satyagraha diinspirasikan oleh Yesus, dan ketika ia ditembak mati di saku bajunya orang mendapatkan tulisan Khotbah di Bukit. Jadi integritas itu penting. Saksi-saksi Injil harus hidup dalam injil, hidup oleh injil dan hidup untuk injil.

D.    Strategi Kesaksian Kristen

Dimanapun dan kapanpun kesaksian Kristen adalah tetap, yaitu memberitakan Injil Kerajaan Allah. Tetapi, kesaksian kita itu, selalu punya alamat. Kita selalu bersaksi pada alamat tertentu dan di dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Oleh karena itu, mengenali alamat adalah peting, sebab alamat akan menentukan bagaimana kita bersaksi. Cara-cara bersaksi yang dikembangkan di Amerika dan berhasil di sana; belum tentu sesuai dan berhasil untuk diterapkan di Indonesia. Pendek kata, diperlukan cara-cara bersaksi yang berbeda-beda.
Dalam konteks Indonesia, ada tiga strategi yang bisa kita kembangkan dalam memberitakan injil:

1.      Menjalin persahabatan dengan sebayak mugkin orang

Bersahabat dengan banyak orang, bukan alat/sarana dalam bersaksi, tetapi itu adalah kesaksian kita. Bersahabat berarti kita membangun persaudaraan dan perdamaian (yang merupakan dua pilar penting dalam kerajaan Allah) dengan orang lain. Kalau kita mau bersaksi, jangan menciptakan tembok-tembok yang bisa memisahkan kita dengan orang lain. Jika ini yang kita lakukan, jangankan bicara tentang injil, mencoba mendekati dan menolong mereka saja, kita sudah dicurigai dan ditolak. Situasinya akan berbeda ketika kita telah mengembangkan persahabatan dengan mereka. Pengalaman saya dengan sahabat-sahabat saya yang non-kristen, menunjukkan kalau mereka juga antusias untuk mendengarkan kesaksian-kesaksian saya. Dan bahkan, mereka bersedia untuk saya doakan ketika mereka sedang mengalami berbagai kesulitan. Tapi ingat menyaksikan injil kepada sahabat-sahabat kita, harus disertai dengan rasa hormat kepada mereka.

Memberitakan injil dalam persahabatan, mempunyai keuntungan dalam dua hal yaitu kita bisa bersaksi lewat perbuatan dan bersaksi lewat perkataan. Persahabatan akan memungkinkan kita untuk memahami sahabat-sahabat kita. Dalam bersahabat, seringkali kita terlibat dalam sharing pengalaman dan sharing persoalan kehidupan. Saat seperti ini merupakan saat-saat emas di mana kita bisa menyaksikan iman kita, baik melalui perbuatan maupun perkataan.

2.      Mengembangkan berbagai bentuk pelayanan social

Sama seperti persahabatan, pelayanan social juga bukan alat dalam bersaksi. Pelayanan social adalah wujud kesaksian kita. Di dalam pelayanan social, perhatian utama kita kita arahkan kepada mereka-mereka yang tersisih, yaitu orang-orang yang miskin, orang-orang yang kelaparan, orang-orang yang diperlakukan tidak adil, orang-orang yang dipenjara, dll. Kepada orang-orang seperti itu, injil perlu diberitakan sebab kepada merekalah, kerajaan Allah pertama-tama dinyatakan oleh Yesus (Luk. 4: 18- 19).

Di dalam pelayanan social kita memperjuangkan nasib orang-orang yang tersisih dan dengan demikian kita berpartisipasi dalam menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah, lewat mentrasformasikan kehidupan social, yang seringkali tidak berpihak kepada orang-orang yang tersisih.

3.      Membentuk jejaring

Di banyak tempat di Indonesia, menjadi orang yang percaya kepada Kristus bukan perkara yang mudah. Tidak jarang orang-orang yang percaya kepada Kristus, harus menanggung resiko untuk diasingkan, diancam, dipecat dari pekerjaan, dimatikan sumber-sumber penghasilanya. Menghadapi kenyataan seperti ini, kita tidak dapat sekedar mengatakan bahwa itulah salib yang harus mereka pikul. Saksi-saksi injil tidak bisa berkata seperti itu. Sekalipun orang-orang yang terancam itu berada jauh dari tempat kita dan bukan hasil dari kesaksian kita, kita harus berusaha membantu mereka, sebab disitulah makna persekutuan kita. Sebagai saksi-saksi Kristus, kita tidak bisa bersikap egois.

Lalu apa yang bisa kita lakukan ? disinilah pentingnya jaringan di antara sesama orang Kristen dan gereja-gereja di Indonesia. Melalui jaringan yang kita bangun, kita bisa membantu saudara-saudara kita yang jauh itu. Misalnya, ada saudara-saudara kita yang terancam di daerah Sumatera, kita bisa bekerja sama dengan gereja-gereja di Sumatera, untuk menolong mereka.

System jaringan, juga akan mempermudah kita dalam memperluas dan mengefektifkan wilayah kesaksian kita. Misalnya, kami, di GKJTU, terbeban untuk memberitakan Injil di Mentawai. Kami tidak perlu mengirim utusan kami ke Mentawai. Kami cukup bekerja sama dengan gereja di sana. Di Mentawai, kami mendukung gagasan gereja Mentawai untuk mendirikan stasiun radio. Kami tidak perlu, megirimkan tenaga kami ke sana. Apa yang kami lakukan adalah mendukung mereka dalam hal pendanaan dan meghubungkan mereka dengan jaringan kami lainnya yang lebih berpengalaman dalam bidang ke-radio-an.  Kenapa ini kami lakukan ? itu karena kami percaya bahwa injil akan lebih effektif jika diberitakan oleh orang-orang setempat, sebab merekalah yang lebih tahu ‘wilayahnya’ sehingga lebih memudahkan dalam menemukan metode yang paling tepat untuk mengabarkan injil di sana.

4.      Bersaksi dalam hidup sehari-hari

Kehidupan sehari-hari adalah kehidupan yang paling dekat dengan kita. Banyak orang melihat, kehidupan sehari-hari adalah kehidupan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kesaksian. Padahal, dalam kehidupan sehari-harilah kita punya banyak waktu untuk menyaksikan injil. Dalam kaitannya dengan hal ini, saya teringat dengan sebuah buku dari seorang presenter terkemuka di Amerika bernama Oprah. Dalam buku berjudul The Gospel According to Oprah (Injil menurut Oprah), Oprah berbagi pengalaman bagaimana Injil dapat meringankan berbagai masalah dalam hidup sehari-hari dan dalam bahasa sehari-hari pula. Bagi Oprah mengkothbahkan Injil bukan berarti berbicara mengenai surge dan neraka saja, tetapi juga mengajarkan bagaimana seorang Ibu dapat mengatur lemari pakaiannya, dll. Dalam hal ini, kita juga bisa mengabarkan Injil lewat cara mengatur keuangan keluarga kita, memanfaatkan waktu kita, mendidik anak-anak kita, bersaksi juga bisa kita lakukan pada saat bekerja, dll.



Penutup

Bersaksi adalah tugas semua orang percaya. Bersaksi tidak menjadi hak khusus para pendeta, maupun para ahli teologi. Menjadi saksi Kristus, bisa dilakukan oleh siapa saja. Bersaksi juga bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, sebab ketika kita menyadari bahwa kita semua adalah ‘surat-surat Kristus’ maka hidup kita sendiri adalah kesaksian yang hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar