Selasa, 19 November 2013

Tuhan Dalam Pergolakan Rasio Manusia

Tuhan Dalam Pergolakan Rasio Manusia:

Telaah Atas Nasib Tuhan Di Dunia Modern Dan Postmodern

Oleh : Chlaodhius Budhianto

Tuhan dan manusia merupakan dua entitas yang senantiasa terlibat dalam suatu pergulatan. Dalam pergulatan ini bisa saja terjadi banyak kemungkinan. Bisa saja Tuhan yang kalah, bahkan terbunuh. Yang sebaliknya, manusia yang kalah, juga bisa terjadi. Kemungkinan ketiga, yaitu draw, dimana keduanya bisa menemukan jalan keluar yang sama-sama memuaskan, tak jarang terjadi.
Telaah atas nasib Tuhan dalam dunia modern dan postmodern memperlihatkan betapa kedua entitas tersebut senantiasa terlibat dalam pergulatan.


1.  Di Ujung Tanduk : Nasib Tuhan Dalam Dunia Modern
1.1  Realitas kemodernan: Pengertian dan Pandangan Dunia
Entitas modern (berasal dari ‘modernus’: baru, sekarang) dewasa ini dipahami secara beragam. Ada yang memahaminya dengan modernism (modernisme), modernity (modern atau modernitas) serta modernization (modernisasi). Pemahaman tersebut tidaklah keliru sebab entitas modern memang mencakup ketiga istilah itu dan secara bersama-sama, ketiga istilah itu membentuk realitas kemodernan yaitu sebuah realitas yang berupa keseluruhan ide, prinsip dan pola hidup serta pola interaksi yang muncul dari berbagai macam bidang mulai dari filsafat, politik, ekonomi, sosial sampai budaya yang disangkutpautkan dengan proses transformasi dunia yang telah melepaskan diri dari peninabobokan Tuhan dan Agama. Walau tidak bisa dipersalahkan, pemakaian atas ketiga istilah tersebut harus hati-hati, jangan sampai ketiga istilah itu saling dipertukarkan dan dipahami secara tumpang tindih. Sebab ketiga istilah tersebut mengacu pada tiga hal berbeda dari realitas kemodernan. modenism lebih mengacu pada konseptual/ideologi, modernity menunjuk pada konkretisasi modernisme, dan modernization lebih mengarah pada proses menjadi modern.
Sebagai sebuah realitas, kemodernan mencakup dua aspek. Aspek lahiriah berbentuk pranata-pranata, entah itu pranata sosial, ekonomi, politik maupun budaya; dan aspek. batiniah yang berupa kesadaran dan pemikiran. Kedua aspek ini berhubungan secara dialektis dan membentuk pandangan dunia (world view) modern.
World view modern bertumpu pada dua elemen dasar: pemahaman akan diri dan pemahaman akan alam. Elemen pertama muncul seiring dengan keberhasilan ‘anak-anak’ renaisans dan Aufklarung dalam menemukan tempat mereka dalam tatanan kosmos yaitu sebagai subjek yang otonom. Berpangkal pada temuan ini, manusia modern mempunyai komitmen formal akan kebebasan. Sebagai subjek otonom, manusia modern menolak semua keyakinan dan otoritas yang membatasi kebebasan manusia.
Berangkat dari kesadaran diri itu, muncullah kesadaran yang lain: distansi, sekulerisasi, progress (kemajuan), dan individuasi. Manusia modern adalah manusia yang mencoba membebaskan diri dari alam. Ini dilakukan dengan distansi (pengambilan jarak) terhadap alam dan dilanjutkan dengan ‘desakralisasi’ dan sekulerisasi. Manusia modern juga manusia yang ingin keluar dari belenggu kolektifitas lewat proses individuasi. Setelah bebas dari alam dan masyarakat, waktu jadi sasaran berikutnya. Waktu sirkuler diputus dan diubah menjadi waktu  linear, yang bergerak menuju kemajuan (progres).
Elemen kedua world view modern adalah pandangan akan alam yang sebatas materi. Jika sebelumnya alam dipercaya punya ‘jiwa’ atau nilai-nilai illahi, dalam modernitas jiwa alam dibuang jauh. Malah dalam world view modern yang belakangan, bukan jiwa alam yang dibuang. Jiwa manusiapun dibuang. Jiwa manusia dianggap sebagai suatu epifenomenal yang diidentikkan dengan otak. Sebagai yang tersusun dari materi alam bersifat mekanistik. Alam ibarat sebuah mesin yang sekali waktu pernah dibuat dan berjalan sendiri sesuai dengan mekanismenya. Hal ini secara gamblang dijelaskan oleh teori evolusi. Dengan memandang alam seperti itu, maka karakter dasar dari dunia modern adalah materialis dan mekanis.

1.2.. Kemodernan dan Pembunuhan Terhadap Tuhan
Pada awal perkembangannya, realitas kemodernan lebih banyak ditanggapi secara positif. Ia ibarat angin segar yang menjanjikan transformasi kehidupan ke arah yang lebih baik. Janji itu memang terpenuhi. Banyak hal baru yang disumbangkan oleh realitas kemodernan. Ilmu Pengetahuan dan kembarannya yaitu teknologi telah menghasilkan banyak hal berharga yang menjadi penopang kehidupan masa sekarang. Kesadaran diri sebagai subjek yang otonom dan memiliki komitmen akan kebebasan telah menghasilkan piranti-piranti hukum yang memungkinkan terjaganya harkat dan martabat manusia. Pandangan mereka tentang alam telah memampukan manusia untuk mengeksplorasi alam sehingga memampukan manusia untuk memperluas horizonnya dan sekaligus mengambil sumber-sumber tersembunyi yang disediakan alam.
Namun kemajuan itu harus dibayar mahal. Di samping nilai positif yang disumbangkannya, world view modern juga memberikan efek sampingan yang negatif. Krisis ekologi, disorientasi nilai hidup bersama, militerisme, tribalisme, imperialisme dan nuklirisme, menjadi konsekuensi world view modern. Efek samping ini mengakibatkan manusia jatuh kedalam ketakbermaknaan.
Penyebab dari ketidakbermaknaan itu ialah karena manusia modern mengingkari dan bahkan menghilangkan nilai-nilai dasariah yang mengarahkan manusia pada kebermaknaan, yaitu Tuhan. Manusia modern mengingkari dan malah membunuh Tuhan. Padahal, Tuhan merupakan alamat dimana manusia mengarahkan keprihatinannya yang mendasar, termasuk keprihatinannya akan ketakbermaknaan. Jika arah itu tiada, kemana manusia mengarahkan keprihatinannya akan ketakbermaknaan ?
Rasio menjadi aktor utama dibalik terbunuhnya Tuhan. Dengan rasio manusia modern telah berhasil menaklukkan realitas: waktu, masyarakat dan alam. Misteri ketiga realitas itu berhasil dikupas. Namun semua itu belum memuaskan. Masih ada realitas yang belum ditaklukkan:  Tuhan. Karena itu beramai-ramai mereka menguak misteri Tuhan. Hasilnya? dihadapan rasio dan produk-produknya Tuhan tidak berdaya dan keberadaaNya tak pantas dipercayai. Ada beberapa alasan penolakkan dunia modern terhadap Tuhan:

a.      Pandangan Tuhan yang supranatural bertentangan dangan fakta kehidupan dan ilmu pengetahuan.
Secara tradisional, Tuhan dipahami secara supranaturalistik. Tuhan dipahami sebagai yang ada di dunia ini dan dimanapun juga. Ia menciptakan dunia dari ex nihilo (kekosongan). Segala yang terjadi di dunia tidak lepas dari tangannya. Tuhan ini memiliki beberapa sifat utama: Mahakuasa, Mahabaik, Mahasempurna, Mahapengasih, pencipta dunia yang bertujuan, sumber norma-norma moral, jaminan dasar bagi bermaknanya hidup manusia, landasan harapan yang bisa diandalkan demi kemenangan akhir kebaikan atas kejahatan dan yang patut disembah.
Oleh manusia modern, gagasan Tuhan yang seperti itu digugat. Fakta kehidupan berupa kejahatan dan penderitaan dipakai sebagai senjata pertama untuk menggugat Tuhan. Fakta ini dipertentangkan dengan kemahakuasaanNya, yang dipahami sebagai satu-satunya pemilik kekuasaan. Dengan kemahakuasaanNya, Dia dipercayai sebagai pencipta dunia serta isinya dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dan mengatur dunia secara sepihak sesuai kehendakNya. Karena itu Tuhan sepenuhnya bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di dunia. Dihadapan kemahakuasaanNya, dunia sepenuhnya takluk. Dunia tidak punya kekuatan untuk menyimpang ataupun menentang kehendak Tuhan. Dalam hubungannya dengan Tuhan dunia sepenuhnya pasif.
Manusia modern mengangap kejahatan dan penderitaan sebagai ‘pemberontakan’ ciptaan terhadap penciptanya. Ternyata, di dunia ini juga ada kekuatan lain selain Tuhan. Adanya kejahatan dan penderitaan mengindikasikan bahwa kedaulatan Tuhan yang memampukanNya mengatur dunia secara sepihak dinyatakan bangkrut. Jika Tuhan memang berdaulat dan mampu mengatur dunia sekehendak hatinya, dan jika memang dunia hanya pasif, mengapa di dunia ada kejahatan dan penderitaan? bukankah kejahatan dan penderitaan membuktikan bahwa dunia tidak pasif ?
Persoalan kejahatan dan penderitaan adalah masalah yang sulit dipecahkan. Manusia modern juga tidak menerima begitu saja jawaban simplistik yang diberikan kitab suci maupun agama, yang menyatakan bahwa kejahatan dan penderitaan adalah cobaan dan atau hukuman Tuhan. Karena itu, orang modern mempersalahkan Tuhan dan tidak mempercayaiNya.
Senjata kedua yang dipakai menggugat Tuhan adalah hasil ilmu pengetahuan khususnya teori evolusi. Sebenarnya teori ini, dalam bentuknya yang paling awal, bermaksud membela kemahakuasaan Tuhan dalam hubungannya dengan penderitaan dan kejahatan. Hal ini dilakukan dengan membatasi langkah Tuhan pada penciptaan materi yang paling awal. Pada fase ini materi diciptakan secara ex nihilo dan diberi hukum-hukum umum serta kemampuan reproduksi dan pewarisan. Setelah fase ini, Tuhan mengundurkan diri dari dunia ~ hanya sesekali intervensi ke dalam dunia lewat mujizat ~ dan membiarkan dunia berjalan sendiri sesuai hukum-hukum umum yang diberikanNya. Dengan mengubah wajah Tuhan dari supranaturalistik ke deistik, teori evolusi tidak lagi memandang kejahatan dan penderitaan sebagai sesuatu yang dihubungkan secara langsung dengan Tuhan. Ia hanyalah bagian dari hukum-hukum evolusi.
Walau begitu, pemecahan ini tetap tidak memuaskan. Pemecahan itu justru membuka masalah baru. Gagasan mengenai semua spesies diciptakan Tuhan secara ex nihilo bertolak belakang dengan bukti bahwa mereka berasal dari spesies yang lebih awal dan mengalami modifikasi lewat survival of  the fittest. Tidak semua spesies yang ada sekarang adalah spesies-spesies yang diciptakan oleh Tuhan secara ex nihilo. Manusia, misalnya, ia bukanlah spesies tersendiri (spesies manusia) yang sejak awal diciptakan Tuhan secara ex nihilo, melainkan berasal dari spesies lain yang  telah mengalami modifikasi. 
Selain masalah tersebut, teori evolusi juga memunculkan masalah yang lain yang semakin rumit. Mengapa Tuhan yang memiliki kekuatan supernatural memilih menciptakan dunia dengan cara seperti itu ? Mengapa Tuhan rela menunggu begitu lama untuk munculnya mahluk yang memiliki lebih banyak kebebasan dan nilai-nilai? Mengapa Ia merancang suatu proses yang penuh kesia-siaan dan penderitaan ? Kenyataan bahwa dunia muncul melalui suatu proses evolusi yang panjang, lambat, sia-sia dan penuh penderitaan mengandaikan bahwa doktrin adanya pencipta illahi salah. Dalam proses penjadiannya dunia dan isinya sama sekali lepas dari tangan Tuhan. Semuanya hasil seleksi alam.

b.    Pandangan dunia modern terhadap alam menolak adanya Tuhan.
Pokok ini masih terkait dengan persoalan kemahakuasaan Tuhan. Cuma yang digugat sekarang menjadi hubungan Tuhan dan alam. Telah dikatakan bahwa Tuhan dipercaya berhubungan langsung dengan alam. Dialah pengendali dan penggerak alam. Pandangan dunia modern menolak hubungan itu.
Pangkal penolakan itu berkisar pada hubungan roh dan materi. Roh dan materi merupakan dua hal yang tidak bisa saling berhubungan. Materi tidak mengindra. Ia terdiri atas sesuatu yang keras, padat, bermassa dan tak bisa menembus. Komposisi ini tidak memungkinkan terjadinya hubungan antara Tuhan yang adalah roh dengan materi. Penolakan itu semakin diperkuat dengan adanya empirisme inderawi. Menurut empirisme ini semua pengetahuan diperoleh melalui persepsi inderawi dan semua persepsi inderawi diperoleh melalui indra fisik. Oleh karena indra fisik hanya bisa mencerap benda-benda fisik dan material, maka meskipun ada Tuhan alam tetap tak bisa mencerap Tuhan. Tuhan bukan benda-benda fisik atau material dia adalah roh.

c.   Ideal-ideal Ilmu Pengetahuan menolak keberadaan Tuhan.
            Pembunuhan terhadap Tuhan terus berlanjut. Kali ini yang dipakai senjata adalah ideal-ideal ilmu pengetahuan: determinisme prediktif, reduksionisme dan saintisme. Determinisme prediktif ialah suatu ideal akan keteramalan. Masa depan dunia bisa diramalkan jika dunia  sepenuhnya deterministik, sehingga pengetahuan tentang hukum-hukum alam dan kondisi yang berlangsung saat ini akan memberikan pengetahuan tentang masa depan. Ideal ini memberi dorongan kuat pada ilmu pengetahuan untuk melihat manusia dan alam secara materialistik. Dengan cara pandang ini manusia dan alam diyakini tidak memiliki jiwa yang bebas dan bisa menentukan nasibnya sendiri. Jika alam dan manusia memiliki jiwa, maka ilmu pengetahuan tidak mungkin ada. Pun demikian dengan campur tangan Tuhan. Agar masa depan bisa diramalkan Tuhan tidak boleh campur tangan sebab jika Dia campur tangan, campur tangannya ini akan memunculkan hal-hal yang tidak diramalkan.
Ideal reduksionisme juga menentang adanya pengaruh Tuhan dalam dunia. Ideal ini menyatakan jika segala sesuatu pada prinsipnya bisa dijelaskan kedalam bagian-bagian yang paling sederhana. Reduksionis selalu dimulai dari yang paling elementer mengarah keatas. Tidak pernah sebaliknya. Jika yang terjadi adalah dari atas ke bawah, maka reduksionisme akan menjadi ideal yang salah. Berdasar pemahaman ini maka adanya pengaruh Tuhan ke dalam dunia adalah tidak mungkin, sebab Tuhan adalah sesuatu yang diyakini lebih tinggi dari pada dunia.
Ideal ketiga dari ilmu pengetahuan modern adalah saintisme. Ideal ini menyatakan bahwa tidak ada penjelasan yang asli selain yang bisa diberikan oleh ilmu-ilmu alam. Penjelasan yang diberikan ilmu alam sudah lengkap, tidak memerlukan tambahan dari yang lain (teologi ataupun filsafat).  Ideal ini memberi dorongan untuk menolak adanya sebab apapun diluar yang bisa ditangani ilmu-ilmu alam, yaitu sebab-sebab alamiah. Dengan pemahaman ini, penyebab dari Tuhan ditolak karena bukan sebab-sebab alamiah namun sebab-sebab supra-alamiah.

d.   Peghayatan terhadap Tuhan mengancam komitmen manusia modern terhadap kebebasan.      Penolakan terhadap Tuhan oleh manusia modern, disamping disebabkan oleh persoalan diseputar Tuhan sendiri juga dipicu oleh sikap orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Bagi orang modern, sikap orang-orang yang percaya kepada Tuhan dinilai  menghambat komitmen manusia modern akan kebebasan dari segala bentuk penindasan. Dorongan untuk memperoleh kebebasan intelektual berbenturan dengan kebenaran mutlak dari agama. Kasus Galileo Galilei menjadi contoh akan hal ini.
Di bidang lain juga demikian. Bidang sosial politik misalnya, dorongan untuk menentukan nasib sendiri seringkali berbenturan dengan sistem politik yang dinyatakan berasal dari Tuhan. Pada bidang ini, legitimasi religius dipakai untuk membenarkan pelbagai bentuk penindasan terhadap orang-orang yang bermaksud menentukan nasib sendiri.

2.  Era Postmodern: Era Kebangkitan Tuhan 

            Dipenghujung abad ke-20, dunia modern benar-benar mengalami antiklimaks. Krisis kehidupan yang diakibatkannya tidak mampu lagi ditanggung oleh manusia. Karena itu banyak manusia tidak percaya lagi pada janji-janji dunia modern dan ‘meninggalkannya’ untuk mencari sesuatu yang lain. Pencarian itu bermuara pada dunia postmodern. 

2.1  Realitas Postmodern: Pengertian
Postmodern merupakan suatu fenomena mutakhir yang banyak dipergunjingkan dalam kehidupan manusia masa kini.  Terkadang ia disambut dengan sangat antusias, tidak jarang pula ia diterima secara sinis dan diolok-olok. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan Postmodern ? Secara umum postmodern merupakan suatu realitas yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang ditimbulkan oleh realitas kemodernan. Sebagai reaksi atas kemodernan, postmodern tidak berwajah tunggal. Paling tidak ada tiga wajah. Pertama wajah yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok merevisi kemodernan dengan cara kembali ke pola pikir pramodern. Yang tergabung dalam kelompok ini misalnya gerakan New Ages, fisika baru seperti F. Capra, filsafat perennial dll. Kedua, kelompok-kelompok yang merevisi kemodernan dengan jalan dekonstruksi. Kelompok ini bergerak pada persoalan linguistik, seperti Derida, Foucalt, Lyotard, dll. Dengan mengambil jalur dekonstruksi, mereka mencoba mengatasi world view modern dengan gagasan anti world view. Kelompok ketiga adalah kelompok yang ingin merevisi kemodernan dengan jalan melancarkan kritik imanen terhadap kemodernan. Artinya, kelompok ini mencoba memperbarui kemodernan dengan cara membersihkan unsur-unsur negatif dari kemodernan.
Mengingat terbatasnya tempat serta relevansinya bagi topik bahasan maka dibawah ini hanya akan dibahas postmodern kelompok yang ketiga.
Sebagai sebuah kritik imanen terhadap kemodernan, postmodern kelompok ketiga pada dasarnya punya kesinambungan dengan kemodernan. Cuma, mereka telah membersihkan kemodernan dari unsur-unsur negatifnya, yaitu unsur-unsur yang menyebabkan manusia modern mengalami krisis. Dengan kata lain, aspek-aspek yang menyebabkan terbunuhnya Tuhan. Karena itu, tidak berlebihan jika postmodern disebut sebagai ‘juru selamat’ Tuhan. Bagaimanakah peran juru selamat itu dimainkan ? Peran tersebut dimainkan dengan meredefinisikan Tuhan, dunia, ilmu pengetahuan dan teori evolusi.

2.2. Postmodern dan Pembangkitan Tuhan
a. Tuhan postmodern dan masalah penderitaan dan kejahatan. 
Problem penolakan dunia modern terhadap Tuhan adalah karena gagasan tradisional tentang Tuhan yang supranaturalistik tidak berdaya dihadapan fakta kejahatan dan penderitaan. Guna mengatasi persoalan itu, dunia postmodern tidak menghadirkan Tuhan sebagai yang supernaturalistik, namun sebagai yang naturalistik. Tuhan postmodern atau Tuhan yang naturalistik bukanlah mahluk spiritual yang ada di ‘seberang’ sana. Tuhan adalah salah satu unsur di alam semesta ini. Tuhan merupakan suatu wujud aktual yang bersama dengan wujud-wujud aktual lainnya membentuk realitas atau alam semesta.
Di dalam masing-masing wujud aktual tersebut terdapat suatu kuasa yang disebut dengan kreatifitas, yaitu prinsip dasariah dan daya dinamis yang memungkinkan terjadinya gerak terus menerus dalam alam semesta. Berbekal kreatifitas ini wujud-wujud aktual itu hidup dan berkembang. Jadi dalam gagasan kreatifitas ini, Tuhan bukan satu-satunya pemilik kekuasan sebagaimana diyakini oleh paham Tuhan supernaturalistik. Mahluk-mahluk atau wujud-wujud aktual lainnya juga memiliki kekuasaan yang inheren di dalam diri mereka.
Walau sama-sama sebagai wujud aktual dan bukan satu-satunya pemilik kekuasaan, tidak berarti Tuhan sama saja dengan wujud-wujud aktual lainnya. Tuhan tetap memiliki status ontologis berbeda. Ini terjadi karena Tuhan memiliki dua aspek yang tidak dimiliki oleh wujud-wujud aktual lainnya selain Tuhan. Dua aspek yang hanya dimiliki oleh Tuhan adalah aspek awali dan aspek akhiri. 
Aspek awali, dimaksudkan sebagai aspek pencipta, yang oleh kaum postmodernis disebut prinsip konkresi, yang menciptakan dasar awali dari tatanan alam semesta dan sebagai dasar kebaruan dalam proses mewujudnya suatu peristiwa atau wujud aktual. Penciptaan oleh Tuhan disini tidak boleh diartikan sebagai penciptaan yang ex nihilo. Penciptaan itu hanya boleh diartikan sebagai penataan. Tidak ada waktu dimana Tuhan ada sendirian. Tuhan selalu ada bersama-sama dengan wujud-wujud aktual lainnya. Cuma, wujud-wujud aktual itu amatlah kacau. Supaya wujud-wujud aktual itu tertib dan mengarah pada kebaruan, mereka perlu ditata. Disinilah peran Tuhan. Tuhan mengatur mereka supaya tertib.
Peran pengaturan ini dimainkan Tuhan dengan memberi wujud konseptual, yaitu kemungkinan-kemungkinan murni yang akan memberi prinsip pembentuk bagi setiap wujud-wujud aktual. Wujud konseptual itu sekaligus menjadi sumber awali bagi cita-cita diri setiap wujud aktual. Lewat cara ini Tuhan memberi struktur dan kerangka umum bagi setiap wujud aktual dalam membentuk diri. Dengan kata lain, melalui wujud konseptual, Tuhan memainkan peran sebagai pengarah yang mencoba mengarahkan perjalanan pembentukan diri wujud-wujud aktual. Sebagai pengarah, Tuhan bukan panglima. Dia ibarat orang tua yang bijak dan penuh kasih mendidik dan mempengaruhi anak-anaknya bukan dengan sosok yang menakutkan ataupun perintah dan larangan yang ketat, namun dengan cara menumbuhkan sikap kasih dan hormat serta dengan usaha membangkitkan semangat mereka untuk mengejar suatu cita-cita luhur. Lewat cara ini Tuhan memberi kebebasan pada wujud-wujud aktual itu untuk menanggapi atau tidak pengarahanNya. Mereka diberi kebebasan untuk memberi isi konkret pada wujud konseptual yang telah diberikanNya.
Dengan memahami bahwa wujud-wujud aktual memiliki kuasa (kreatifitas) dan kebebasan, kini bisa melihat mengapa kejahatan dan penderitaan bisa ada di dunia. Kejahatan dan penderitaan bisa muncul karena dalam mewujudkan dirinya wujud-wujud aktual (termasuk di dalamnya manusia) diberi kebebasan untuk mengambil sikap dan bertindak. Mereka juga punya kuasa untuk menentang Tuhan. Karena itu penderitaan dan kejahatan tidak dengan serta merta berasal dari Tuhan. Tuhan tidak mengendalikan wujud-wujud aktual tersebut. Tuhan hanya memberi kerangka umum, sementara isi konkretnya menjadi tanggung jawab wujud-wujud aktual itu. Apakah isi konkret itu mau diisi dengan kejahatan dan sesuatu yang menyengsarakan atau sebaliknya, menjadi hak dan tanggung jawab mereka. Dengan demikian Tuhan tidak bisa dipersalahkan.
Walau demikian, tidak berarti Tuhan lepas tangan terhadap segala yang terjadi atau dilakukan oleh wujud-wujud aktual. Tuhan tidak lepas tangan, sebaliknya Tuhan amat terpengaruh dan digerakkan oleh apa yang terjadi dan yang dilakukan wujud-wujud aktual.
Ini menjadi jelas dalam aspek kedua, yaitu aspek akhiri. Pada aspek ini antara Tuhan dan semua wujud aktual terdapat hubungan yang timbal balik dan saling ketergantungan. Aspek akhiri mengandung pemahaman bahwa Tuhan adalah hakim dan penyelamat. Tuhan dipengaruhi dan digerakan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia, khususnya pelaksanaan kebebasan setiap wujud aktual. Artinya apapun yang dibuat oleh setiap wujud aktual dalam membentuk diri diperhitungkan oleh Tuhan dalam aspek akhiri.

b. Tuhan postmodern dan Teori Evolusi
Masalah yang diangkat oleh teori evolusi dalam hubungannya dengan Tuhan yang supernaturalistik adalah penciptaan dari creatio ex nihilo dan ketidakmungkinan campur tangan Tuhan dalam proses evolusi. Pokok ini tidak perlu dibahas panjang lebar, diatas telah dikemukakan bahwa kaum postmodernpun tidak mengakui adanya penciptaan yang ex nihilo. Tuhan postmodern atau Tuhan yang naturalistik tidak menciptakan dunia dari kekosongan. Tuhan postmodern hanya menciptakan (tepatnya mengatur) dunia dari kekacauan. Jadi antara teori evolusi dan teori penciptaan postmodern sesunguhnya tidak perlu dipertentangkan. Karena itu, eksistensi Tuhan tidak perlu ditolak oleh teori evolusi. Pun sebaliknya, teori evolusi tidak berarti merendahkan martabat Tuhan. Sebab, bagi kaum postmodern, begitulah ‘fakta’ penciptaan. Tuhan yang naturalistik hanya bisa menciptakan dunia melalui suatu proses evolusia yang panjang dan lambat, yang dipenuhi dengan jalan buntu dan ketidaksempurnaan. Penciptaan haruslah melalui suatu proses yang berjalan selangkah demi selangkah. Objek-objek yang rumit tidak bisa diciptakan sekali jadi. Proses itu memerlukan waktu.
Selain meredefinisikan ‘penciptaan’ kaum postmodern juga menafsirkan kembali seleksi alam. Jika penganut teori evolusi, menganggap seleksi alam sebagai sebuah proses alamiah yang sama sekali lepas dari campur tangan Tuhan, maka kaum postmodern anggapan seperti itu. Ada tiga hal yang diungkapkan kaum Postmodern dalam membela campur tangan Tuhan dalam proses seleksi alam. Pertama, Tuhan mempengaruhi mahluk secara langsung tetapi tidak secara langsung mempengaruhi perilaku jasmani mereka yang menjadi tempat paling banyak berlangsungnya pengaruh seleksi alam. Pengaruh Tuhan itu hanya berlaku pada aspek-aspek yang tersembunyi dari setiap mahluk dan hanya berupa kerangka konseptual.  Kedua, disamping secara langsung, pengaruh Tuhan dalam seleksi alam juga lewat cara-cara yang tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ini dikerjakan dengan ‘memanfaatkan’ mahluk yang satu guna mempengaruhi mahluk yang lain. Contohnya ialah Tuhan mempengaruhi mahluk yang lebih rendah melalui mahluk yang lebih tinggi. 

b. Tuhan postmodern dan Alam 
Dunia modern memandang alam secara materialistik, mekanistik. Karena itu tidak mungkin bila Tuhan mempengaruhi dan menggerakkan alam. Anggapan semacam ini ditolak oleh kaum postmodern, karena anggapan itu mempunyai kelemahan mendasar. Bagaimana manusia bisa mengenal masa lalu, dunia luar, sebab-musabab, kebebasan, dan nilai-nilai, jika ia hanya terdiri dari materi ? Semua persoalan itu tidak bisa dipecahkan oleh dunia modern.
Dalam kacamata postmodern, alam yang terdiri atas wujud-wujud aktual yang saling berinteraksi, tidak terdiri dari materi belaka tapi juga memiliki ‘jiwa’ yaitu kreatifitas. Kreatifitas inipula yang menjadi sifat dasar setiap wujud-wujud aktual yang ada di alam. Dengan kreatifitas ini, setiap wujud aktual pada dirinya sendiri bersifat kreatif. Mereka mempunyai kekuatan untuk mewujudkan diri mereka sendiri. Perwujudan diri ini dilakukan dalam interaksinya dengan wujud-wujud aktual yang lain, lalu membentuk suatu sintesa sehingga terciptalah suatu wujud aktual yang baru. Dengan proses seperti ini jelaslah ungkapan kaum postmodern “Yang banyak menjadi satu dan bertambah satu”.
Lewat pemahaman tersebut, kaum postmodernis mampu memecahkan persoalan yang tidak bisa dipecahkan oleh kaum modernis. Masa lalu, dunia luar, sebab-musabab, kebebasan, dan nilai-nilai, bisa diketahui oleh karena manusia memiliki persepsi ekstrainderawi, yaitu suatu persepsi yang tidak hanya melibatkan persepsi noninderawi, tetapi juga suatu persepsi  yang lebih banyak tersimpan dalam tataran tidak sadar. Telepati atau persepsi langsung isi jiwa orang lain dan clairvoyance atau persepsi secara noninderawi pada situasi atau benda fisik lain merupakan dua bentuk utama dari persepsi ekstrainderawi ini. Dengan persepsi ekstrainderawi ini, manusia tidak hanya bisa mengetahui masa lalu mereka, asal-usul mereka, kebebasan dan nilai-nilai, tetapi juga memungkinkan manusia untuk mengenal Tuhan yang mempengaruhi alam

d. Tuhan postmodern dan komitmen pada kebebasan
Persoalan kebebasan pun juga bukan hambatan bagi dunia postmodern untuk mengakui keberadaan Tuhan. Sebab Tuhan Postmodern adalah Tuhan yang menghargai kebebasan. 

3. Penutup

Paparan akan nasib Tuhan di dua ‘dunia’ diatas sesungguhnya merupakan suatu telaah atas pergulatan antara manusia dan Tuhan. Di dalam pergulatan itu, bisa terjadi tiga  kemungkinan. Pertama, Tuhan yang mengalami kekalahan seperti yang dialamiNya dalam kisah Yakub (Kej 32: 22-32) bahkan kematian seperti yang terjadi di dunia modern. Kedua, bisa saja Tuhan yang menang seperti yang terjadi dalam dunia Postmodern. Dan yang ketiga, tidak ada yang menang dan yang kalah, seperti yang terjadi dalam kisah Abraham (Kej. 19:1-29). Pengungkapan ketiga kemungkinan ini, sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk menunjukkan siapa yang pantas menjadi juara (yang sering menang dalam pergulatan). Namun ingin menunjukkan aspek pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban ini tidak harus menunggu saat berakhirnya kehidupan atau saat dimana manusia dan Tuhan bertemu muka lawan muka. Pertanggungjawaban itu boleh dan malah harus dilakukan pada masa ini dan di dunia ini. Pertanggungjawaban itupun juga harus dilakukan oleh dua pihak manusia dan Tuhan. Manusia harus mempertanggungjawabkan keyakinannya akan Tuhan dan Tuhanpun harus mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan manusia kepadaNya.
Secara khusus mengenai pertanggungjawaban manusia, pertanggung jawaban tersebut perlu melibatkan seluruh eksistensinya. Paparan diatas memang lebih menonjolkan pertanggungjawaban manusia pada dimensi pemahaman. Hal ini bukan berarti dimensi pemahaman menjadi dimensi yang paling utama dalam upaya manusia untuk mempertanggungjawabkan keyakinannya akan Tuhan. Bagaimanapun, pemahaman hanya salah satu dimensi saja dalam pertanggungjawaban manusia akan keyakinannya. Jika dimensi pemahaman dimutlakkan, keyakinan manusia itu akan menjadi kering dan akan menjebak manusia pada suatu debat kusir yang tak berkesudahan. Agar manusia terhindar dari hal tersebut, pertanggungjawabannya perlu melibatkan seluruh eksistensinya. Pertanggungjawaban itu perlu melibatkan pengalaman dan penghayatan pribadi serta sosial. Hanya dengan melibatkan seluruh eksistensinya keyakinan manusia akan Tuhan bisa menjadi keyakinan yang hidup dan menghidupi.

Daftar Pustaka

Grifin, David Ray, 2006, Tuhan dan Agama Dalam Dunia Postmodern, Yogyakarta: Kanisius
Grifin, David Ray (ed), 2006, Visi-Visi Postmodern Spiritual dan Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius
Hardiman, F. Budi., 2003, Melampaui Positifisme Dan Modernisme Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius
Hardiyanto, Sugeng, 1996, Percaya Yang Selalu Belajar Kumpulan Tulisan Diseputar Iman dan Ilmu Pengetahuan, Salatiga: PPs-AM UKSW
Jakob, Tom, 2005,  Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius
Kewuel, Hipolitus K. 2006, Allah Dalam Dunia Postmodern, Malang: Penerbit Dioma
Lyotard, Jean-Francois, 2003. Kondisi [Era] Posmodern, Yogyakarta: Panta Rhei Books
Sudarminta, J., 1994, Model Pemahaman Tentang Allah dalam Filsafat Proses Alfred N. Whitehead. Dalam Budi Susanto, S.J. Teologi & Praksis Komunitas Postmodern, Yogyakarta: Kanisius.
Sugiharto, I. Bambang, 1996, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius     
Wora, Emanuel, 2006, Perenialisme Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius


Tidak ada komentar:

Posting Komentar