Tuhan Dalam Pergolakan Rasio Manusia:
Telaah Atas Nasib Tuhan Di Dunia Modern Dan Postmodern
Oleh : Chlaodhius Budhianto
Tuhan dan manusia merupakan dua entitas yang senantiasa
terlibat dalam suatu pergulatan. Dalam pergulatan ini bisa saja terjadi banyak
kemungkinan. Bisa saja Tuhan yang kalah, bahkan terbunuh. Yang sebaliknya,
manusia yang kalah, juga bisa terjadi. Kemungkinan ketiga, yaitu draw, dimana
keduanya bisa menemukan jalan keluar yang sama-sama memuaskan, tak jarang
terjadi.
Telaah atas nasib Tuhan dalam dunia modern dan postmodern
memperlihatkan betapa kedua entitas tersebut senantiasa terlibat dalam
pergulatan.
1. Di Ujung Tanduk : Nasib Tuhan Dalam Dunia
Modern
1.1 Realitas
kemodernan: Pengertian dan Pandangan Dunia
Entitas
modern (berasal dari ‘modernus’: baru, sekarang) dewasa ini dipahami secara
beragam. Ada yang memahaminya dengan modernism (modernisme), modernity
(modern atau modernitas) serta modernization (modernisasi). Pemahaman
tersebut tidaklah keliru sebab entitas modern memang mencakup ketiga istilah
itu dan secara bersama-sama, ketiga istilah itu membentuk realitas kemodernan
yaitu sebuah realitas yang berupa keseluruhan ide, prinsip dan pola hidup serta
pola interaksi yang muncul dari berbagai macam bidang mulai dari filsafat,
politik, ekonomi, sosial sampai budaya yang disangkutpautkan dengan proses
transformasi dunia yang telah melepaskan diri dari peninabobokan Tuhan dan
Agama. Walau tidak bisa dipersalahkan, pemakaian atas ketiga istilah tersebut
harus hati-hati, jangan sampai ketiga istilah itu saling dipertukarkan dan
dipahami secara tumpang tindih. Sebab ketiga istilah tersebut mengacu pada tiga
hal berbeda dari realitas kemodernan. modenism lebih mengacu pada
konseptual/ideologi, modernity menunjuk pada konkretisasi modernisme,
dan modernization lebih mengarah pada proses menjadi modern.
Sebagai
sebuah realitas, kemodernan mencakup dua aspek. Aspek lahiriah berbentuk
pranata-pranata, entah itu pranata sosial, ekonomi, politik maupun budaya; dan
aspek. batiniah yang berupa kesadaran dan pemikiran. Kedua aspek ini
berhubungan secara dialektis dan membentuk pandangan dunia (world view)
modern.
World
view modern bertumpu pada dua elemen dasar: pemahaman akan diri dan
pemahaman akan alam. Elemen pertama muncul seiring dengan keberhasilan
‘anak-anak’ renaisans dan Aufklarung dalam menemukan tempat mereka dalam
tatanan kosmos yaitu sebagai subjek yang otonom. Berpangkal pada temuan ini,
manusia modern mempunyai komitmen formal akan kebebasan. Sebagai subjek otonom,
manusia modern menolak semua keyakinan dan otoritas yang membatasi kebebasan
manusia.
Berangkat
dari kesadaran diri itu, muncullah kesadaran yang lain: distansi, sekulerisasi,
progress (kemajuan), dan individuasi. Manusia modern adalah manusia yang
mencoba membebaskan diri dari alam. Ini dilakukan dengan distansi
(pengambilan jarak) terhadap alam dan dilanjutkan dengan ‘desakralisasi’ dan sekulerisasi.
Manusia modern juga manusia yang ingin keluar dari belenggu kolektifitas lewat
proses individuasi. Setelah bebas dari alam dan masyarakat, waktu jadi
sasaran berikutnya. Waktu sirkuler diputus dan diubah menjadi waktu linear, yang bergerak menuju kemajuan (progres).
Elemen
kedua world view modern adalah pandangan akan alam yang sebatas materi.
Jika sebelumnya alam dipercaya punya ‘jiwa’ atau nilai-nilai illahi, dalam
modernitas jiwa alam dibuang jauh. Malah dalam world view modern yang
belakangan, bukan jiwa alam yang dibuang. Jiwa manusiapun dibuang. Jiwa manusia
dianggap sebagai suatu epifenomenal yang diidentikkan dengan otak. Sebagai
yang tersusun dari materi alam bersifat mekanistik. Alam ibarat sebuah mesin
yang sekali waktu pernah dibuat dan berjalan sendiri sesuai dengan
mekanismenya. Hal ini secara gamblang dijelaskan oleh teori evolusi. Dengan
memandang alam seperti itu, maka karakter dasar dari dunia modern adalah
materialis dan mekanis.
1.2.. Kemodernan dan Pembunuhan Terhadap Tuhan
Pada
awal perkembangannya, realitas kemodernan lebih banyak ditanggapi secara
positif. Ia ibarat angin segar yang menjanjikan transformasi kehidupan ke arah
yang lebih baik. Janji itu memang terpenuhi. Banyak hal baru yang disumbangkan
oleh realitas kemodernan. Ilmu Pengetahuan dan kembarannya yaitu teknologi
telah menghasilkan banyak hal berharga yang menjadi penopang kehidupan masa
sekarang. Kesadaran diri sebagai subjek yang otonom dan memiliki komitmen akan
kebebasan telah menghasilkan piranti-piranti hukum yang memungkinkan terjaganya
harkat dan martabat manusia. Pandangan mereka tentang alam telah memampukan
manusia untuk mengeksplorasi alam sehingga memampukan manusia untuk memperluas
horizonnya dan sekaligus mengambil sumber-sumber tersembunyi yang disediakan
alam.
Namun
kemajuan itu harus dibayar mahal. Di samping nilai positif yang
disumbangkannya, world view modern juga memberikan efek sampingan yang
negatif. Krisis ekologi, disorientasi nilai hidup bersama, militerisme,
tribalisme, imperialisme dan nuklirisme, menjadi konsekuensi world view
modern. Efek samping ini mengakibatkan manusia jatuh kedalam ketakbermaknaan.
Penyebab
dari ketidakbermaknaan itu ialah karena manusia modern mengingkari dan bahkan
menghilangkan nilai-nilai dasariah yang mengarahkan manusia pada kebermaknaan,
yaitu Tuhan. Manusia modern mengingkari dan malah membunuh Tuhan. Padahal,
Tuhan merupakan alamat dimana manusia mengarahkan keprihatinannya yang
mendasar, termasuk keprihatinannya akan ketakbermaknaan. Jika arah itu tiada,
kemana manusia mengarahkan keprihatinannya akan ketakbermaknaan ?
Rasio
menjadi aktor utama dibalik terbunuhnya Tuhan. Dengan rasio manusia modern
telah berhasil menaklukkan realitas: waktu, masyarakat dan alam. Misteri ketiga
realitas itu berhasil dikupas. Namun semua itu belum memuaskan. Masih ada
realitas yang belum ditaklukkan: Tuhan.
Karena itu beramai-ramai mereka menguak misteri Tuhan. Hasilnya? dihadapan
rasio dan produk-produknya Tuhan tidak berdaya dan keberadaaNya tak pantas
dipercayai. Ada beberapa alasan penolakkan dunia modern terhadap Tuhan:
a. Pandangan
Tuhan yang supranatural bertentangan dangan fakta kehidupan dan ilmu
pengetahuan.
Secara
tradisional, Tuhan dipahami secara supranaturalistik. Tuhan dipahami sebagai
yang ada di dunia ini dan dimanapun juga. Ia menciptakan dunia dari ex
nihilo (kekosongan). Segala yang terjadi di dunia tidak lepas dari
tangannya. Tuhan ini memiliki beberapa sifat utama: Mahakuasa, Mahabaik,
Mahasempurna, Mahapengasih, pencipta dunia yang bertujuan, sumber norma-norma
moral, jaminan dasar bagi bermaknanya hidup manusia, landasan harapan yang bisa
diandalkan demi kemenangan akhir kebaikan atas kejahatan dan yang patut
disembah.
Oleh
manusia modern, gagasan Tuhan yang seperti itu digugat. Fakta kehidupan berupa
kejahatan dan penderitaan dipakai sebagai senjata pertama untuk menggugat
Tuhan. Fakta ini dipertentangkan dengan kemahakuasaanNya, yang dipahami sebagai
satu-satunya pemilik kekuasaan. Dengan kemahakuasaanNya, Dia dipercayai sebagai
pencipta dunia serta isinya dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dan
mengatur dunia secara sepihak sesuai kehendakNya. Karena itu Tuhan sepenuhnya
bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di dunia. Dihadapan
kemahakuasaanNya, dunia sepenuhnya takluk. Dunia tidak punya kekuatan untuk
menyimpang ataupun menentang kehendak Tuhan. Dalam hubungannya dengan Tuhan
dunia sepenuhnya pasif.
Manusia
modern mengangap kejahatan dan penderitaan sebagai ‘pemberontakan’ ciptaan
terhadap penciptanya. Ternyata, di dunia ini juga ada kekuatan lain selain
Tuhan. Adanya kejahatan dan penderitaan mengindikasikan bahwa kedaulatan Tuhan
yang memampukanNya mengatur dunia secara sepihak dinyatakan bangkrut. Jika
Tuhan memang berdaulat dan mampu mengatur dunia sekehendak hatinya, dan jika
memang dunia hanya pasif, mengapa di dunia ada kejahatan dan penderitaan?
bukankah kejahatan dan penderitaan membuktikan bahwa dunia tidak pasif ?
Persoalan
kejahatan dan penderitaan adalah masalah yang sulit dipecahkan. Manusia modern
juga tidak menerima begitu saja jawaban simplistik yang diberikan kitab suci
maupun agama, yang menyatakan bahwa kejahatan dan penderitaan adalah cobaan dan
atau hukuman Tuhan. Karena itu, orang modern mempersalahkan Tuhan dan tidak
mempercayaiNya.
Senjata
kedua yang dipakai menggugat Tuhan adalah hasil ilmu pengetahuan khususnya
teori evolusi. Sebenarnya teori ini, dalam bentuknya yang paling awal,
bermaksud membela kemahakuasaan Tuhan dalam hubungannya dengan penderitaan dan
kejahatan. Hal ini dilakukan dengan membatasi langkah Tuhan pada penciptaan
materi yang paling awal. Pada fase ini materi diciptakan secara ex nihilo
dan diberi hukum-hukum umum serta kemampuan reproduksi dan pewarisan. Setelah
fase ini, Tuhan mengundurkan diri dari dunia ~ hanya sesekali intervensi ke
dalam dunia lewat mujizat ~ dan membiarkan dunia berjalan sendiri sesuai
hukum-hukum umum yang diberikanNya. Dengan mengubah wajah Tuhan dari
supranaturalistik ke deistik, teori evolusi tidak lagi memandang kejahatan dan
penderitaan sebagai sesuatu yang dihubungkan secara langsung dengan Tuhan. Ia
hanyalah bagian dari hukum-hukum evolusi.
Walau
begitu, pemecahan ini tetap tidak memuaskan. Pemecahan itu justru membuka
masalah baru. Gagasan mengenai semua spesies diciptakan Tuhan secara ex
nihilo bertolak belakang dengan bukti bahwa mereka berasal dari spesies
yang lebih awal dan mengalami modifikasi lewat survival of the fittest. Tidak semua spesies yang ada
sekarang adalah spesies-spesies yang diciptakan oleh Tuhan secara ex nihilo.
Manusia, misalnya, ia bukanlah spesies tersendiri (spesies manusia) yang sejak
awal diciptakan Tuhan secara ex nihilo, melainkan berasal dari spesies
lain yang telah mengalami
modifikasi.
Selain
masalah tersebut, teori evolusi juga memunculkan masalah yang lain yang semakin
rumit. Mengapa Tuhan yang memiliki kekuatan supernatural memilih menciptakan
dunia dengan cara seperti itu ? Mengapa Tuhan rela menunggu begitu lama untuk
munculnya mahluk yang memiliki lebih banyak kebebasan dan nilai-nilai? Mengapa
Ia merancang suatu proses yang penuh kesia-siaan dan penderitaan ? Kenyataan
bahwa dunia muncul melalui suatu proses evolusi yang panjang, lambat, sia-sia
dan penuh penderitaan mengandaikan bahwa doktrin adanya pencipta illahi salah.
Dalam proses penjadiannya dunia dan isinya sama sekali lepas dari tangan Tuhan.
Semuanya hasil seleksi alam.
b. Pandangan
dunia modern terhadap alam menolak adanya Tuhan.
Pokok
ini masih terkait dengan persoalan kemahakuasaan Tuhan. Cuma yang digugat
sekarang menjadi hubungan Tuhan dan alam. Telah dikatakan bahwa Tuhan dipercaya
berhubungan langsung dengan alam. Dialah pengendali dan penggerak alam.
Pandangan dunia modern menolak hubungan itu.
Pangkal
penolakan itu berkisar pada hubungan roh dan materi. Roh dan materi merupakan
dua hal yang tidak bisa saling berhubungan. Materi tidak mengindra. Ia terdiri
atas sesuatu yang keras, padat, bermassa dan tak bisa menembus. Komposisi ini
tidak memungkinkan terjadinya hubungan antara Tuhan yang adalah roh dengan
materi. Penolakan itu semakin diperkuat dengan adanya empirisme inderawi.
Menurut empirisme ini semua pengetahuan diperoleh melalui persepsi inderawi dan
semua persepsi inderawi diperoleh melalui indra fisik. Oleh karena indra fisik
hanya bisa mencerap benda-benda fisik dan material, maka meskipun ada Tuhan
alam tetap tak bisa mencerap Tuhan. Tuhan bukan benda-benda fisik atau material
dia adalah roh.
c. Ideal-ideal
Ilmu Pengetahuan menolak keberadaan Tuhan.
Pembunuhan
terhadap Tuhan terus berlanjut. Kali ini yang dipakai senjata adalah
ideal-ideal ilmu pengetahuan: determinisme prediktif, reduksionisme dan
saintisme. Determinisme prediktif ialah suatu ideal akan keteramalan. Masa
depan dunia bisa diramalkan jika dunia
sepenuhnya deterministik, sehingga pengetahuan tentang hukum-hukum alam
dan kondisi yang berlangsung saat ini akan memberikan pengetahuan tentang masa
depan. Ideal ini memberi dorongan kuat pada ilmu pengetahuan untuk melihat
manusia dan alam secara materialistik. Dengan cara pandang ini manusia dan alam
diyakini tidak memiliki jiwa yang bebas dan bisa menentukan nasibnya sendiri.
Jika alam dan manusia memiliki jiwa, maka ilmu pengetahuan tidak mungkin ada.
Pun demikian dengan campur tangan Tuhan. Agar masa depan bisa diramalkan Tuhan
tidak boleh campur tangan sebab jika Dia campur tangan, campur tangannya ini
akan memunculkan hal-hal yang tidak diramalkan.
Ideal
reduksionisme juga menentang adanya pengaruh Tuhan dalam dunia. Ideal ini
menyatakan jika segala sesuatu pada prinsipnya bisa dijelaskan kedalam
bagian-bagian yang paling sederhana. Reduksionis selalu dimulai dari yang
paling elementer mengarah keatas. Tidak pernah sebaliknya. Jika yang terjadi
adalah dari atas ke bawah, maka reduksionisme akan menjadi ideal yang salah.
Berdasar pemahaman ini maka adanya pengaruh Tuhan ke dalam dunia adalah tidak
mungkin, sebab Tuhan adalah sesuatu yang diyakini lebih tinggi dari pada dunia.
Ideal
ketiga dari ilmu pengetahuan modern adalah saintisme. Ideal ini menyatakan
bahwa tidak ada penjelasan yang asli selain yang bisa diberikan oleh ilmu-ilmu
alam. Penjelasan yang diberikan ilmu alam sudah lengkap, tidak memerlukan tambahan
dari yang lain (teologi ataupun filsafat).
Ideal ini memberi dorongan untuk menolak adanya sebab apapun diluar yang
bisa ditangani ilmu-ilmu alam, yaitu sebab-sebab alamiah. Dengan pemahaman ini,
penyebab dari Tuhan ditolak karena bukan sebab-sebab alamiah namun sebab-sebab
supra-alamiah.
d. Peghayatan
terhadap Tuhan mengancam komitmen manusia modern terhadap kebebasan. Penolakan terhadap Tuhan oleh manusia
modern, disamping disebabkan oleh persoalan diseputar Tuhan sendiri juga dipicu
oleh sikap orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Bagi orang modern, sikap
orang-orang yang percaya kepada Tuhan dinilai
menghambat komitmen manusia modern akan kebebasan dari segala bentuk
penindasan. Dorongan untuk memperoleh kebebasan intelektual berbenturan dengan
kebenaran mutlak dari agama. Kasus Galileo Galilei menjadi contoh akan hal ini.
Di
bidang lain juga demikian. Bidang sosial politik misalnya, dorongan untuk
menentukan nasib sendiri seringkali berbenturan dengan sistem politik yang
dinyatakan berasal dari Tuhan. Pada bidang ini, legitimasi religius dipakai
untuk membenarkan pelbagai bentuk penindasan terhadap orang-orang yang
bermaksud menentukan nasib sendiri.
2. Era Postmodern: Era Kebangkitan Tuhan
Dipenghujung
abad ke-20, dunia modern benar-benar mengalami antiklimaks. Krisis kehidupan
yang diakibatkannya tidak mampu lagi ditanggung oleh manusia. Karena itu banyak
manusia tidak percaya lagi pada janji-janji dunia modern dan ‘meninggalkannya’
untuk mencari sesuatu yang lain. Pencarian itu bermuara pada dunia
postmodern.
2.1 Realitas
Postmodern: Pengertian
Postmodern
merupakan suatu fenomena mutakhir yang banyak dipergunjingkan dalam kehidupan
manusia masa kini. Terkadang ia disambut
dengan sangat antusias, tidak jarang pula ia diterima secara sinis dan
diolok-olok. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan Postmodern ? Secara umum
postmodern merupakan suatu realitas yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang
ditimbulkan oleh realitas kemodernan. Sebagai reaksi atas kemodernan,
postmodern tidak berwajah tunggal. Paling tidak ada tiga wajah. Pertama
wajah yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok merevisi kemodernan dengan cara
kembali ke pola pikir pramodern. Yang tergabung dalam kelompok ini misalnya
gerakan New Ages, fisika baru seperti F. Capra, filsafat perennial dll. Kedua,
kelompok-kelompok yang merevisi kemodernan dengan jalan dekonstruksi. Kelompok
ini bergerak pada persoalan linguistik, seperti Derida, Foucalt, Lyotard, dll.
Dengan mengambil jalur dekonstruksi, mereka mencoba mengatasi world view modern
dengan gagasan anti world view. Kelompok ketiga adalah kelompok
yang ingin merevisi kemodernan dengan jalan melancarkan kritik imanen terhadap
kemodernan. Artinya, kelompok ini mencoba memperbarui kemodernan dengan cara
membersihkan unsur-unsur negatif dari kemodernan.
Mengingat
terbatasnya tempat serta relevansinya bagi topik bahasan maka dibawah ini hanya
akan dibahas postmodern kelompok yang ketiga.
Sebagai
sebuah kritik imanen terhadap kemodernan, postmodern kelompok ketiga pada
dasarnya punya kesinambungan dengan kemodernan. Cuma, mereka telah membersihkan
kemodernan dari unsur-unsur negatifnya, yaitu unsur-unsur yang menyebabkan
manusia modern mengalami krisis. Dengan kata lain, aspek-aspek yang menyebabkan
terbunuhnya Tuhan. Karena itu, tidak berlebihan jika postmodern disebut sebagai
‘juru selamat’ Tuhan. Bagaimanakah peran juru selamat itu dimainkan ? Peran
tersebut dimainkan dengan meredefinisikan Tuhan, dunia, ilmu pengetahuan dan
teori evolusi.
2.2. Postmodern dan Pembangkitan Tuhan
a. Tuhan postmodern dan masalah penderitaan dan
kejahatan.
Problem
penolakan dunia modern terhadap Tuhan adalah karena gagasan tradisional tentang
Tuhan yang supranaturalistik tidak berdaya dihadapan fakta kejahatan dan
penderitaan. Guna mengatasi persoalan itu, dunia postmodern tidak menghadirkan
Tuhan sebagai yang supernaturalistik, namun sebagai yang naturalistik. Tuhan
postmodern atau Tuhan yang naturalistik bukanlah mahluk spiritual yang ada di
‘seberang’ sana. Tuhan adalah salah satu unsur di alam semesta ini. Tuhan
merupakan suatu wujud aktual yang bersama dengan wujud-wujud aktual lainnya
membentuk realitas atau alam semesta.
Di
dalam masing-masing wujud aktual tersebut terdapat suatu kuasa yang disebut
dengan kreatifitas, yaitu prinsip dasariah dan daya dinamis yang memungkinkan
terjadinya gerak terus menerus dalam alam semesta. Berbekal kreatifitas ini
wujud-wujud aktual itu hidup dan berkembang. Jadi dalam gagasan kreatifitas
ini, Tuhan bukan satu-satunya pemilik kekuasan sebagaimana diyakini oleh paham
Tuhan supernaturalistik. Mahluk-mahluk atau wujud-wujud aktual lainnya juga
memiliki kekuasaan yang inheren di dalam diri mereka.
Walau
sama-sama sebagai wujud aktual dan bukan satu-satunya pemilik kekuasaan, tidak
berarti Tuhan sama saja dengan wujud-wujud aktual lainnya. Tuhan tetap memiliki
status ontologis berbeda. Ini terjadi karena Tuhan memiliki dua aspek yang
tidak dimiliki oleh wujud-wujud aktual lainnya selain Tuhan. Dua aspek yang
hanya dimiliki oleh Tuhan adalah aspek awali dan aspek akhiri.
Aspek
awali, dimaksudkan sebagai aspek pencipta, yang oleh kaum postmodernis disebut
prinsip konkresi, yang menciptakan dasar awali dari tatanan alam semesta dan
sebagai dasar kebaruan dalam proses mewujudnya suatu peristiwa atau wujud
aktual. Penciptaan oleh Tuhan disini tidak boleh diartikan sebagai penciptaan
yang ex nihilo. Penciptaan itu hanya boleh diartikan sebagai penataan.
Tidak ada waktu dimana Tuhan ada sendirian. Tuhan selalu ada bersama-sama
dengan wujud-wujud aktual lainnya. Cuma, wujud-wujud aktual itu amatlah kacau.
Supaya wujud-wujud aktual itu tertib dan mengarah pada kebaruan, mereka perlu
ditata. Disinilah peran Tuhan. Tuhan mengatur mereka supaya tertib.
Peran
pengaturan ini dimainkan Tuhan dengan memberi wujud konseptual, yaitu
kemungkinan-kemungkinan murni yang akan memberi prinsip pembentuk bagi setiap
wujud-wujud aktual. Wujud konseptual itu sekaligus menjadi sumber awali bagi
cita-cita diri setiap wujud aktual. Lewat cara ini Tuhan memberi struktur dan
kerangka umum bagi setiap wujud aktual dalam membentuk diri. Dengan kata lain,
melalui wujud konseptual, Tuhan memainkan peran sebagai pengarah yang mencoba
mengarahkan perjalanan pembentukan diri wujud-wujud aktual. Sebagai pengarah,
Tuhan bukan panglima. Dia ibarat orang tua yang bijak dan penuh kasih mendidik
dan mempengaruhi anak-anaknya bukan dengan sosok yang menakutkan ataupun
perintah dan larangan yang ketat, namun dengan cara menumbuhkan sikap kasih dan
hormat serta dengan usaha membangkitkan semangat mereka untuk mengejar suatu
cita-cita luhur. Lewat cara ini Tuhan memberi kebebasan pada wujud-wujud aktual
itu untuk menanggapi atau tidak pengarahanNya. Mereka diberi kebebasan untuk
memberi isi konkret pada wujud konseptual yang telah diberikanNya.
Dengan
memahami bahwa wujud-wujud aktual memiliki kuasa (kreatifitas) dan kebebasan,
kini bisa melihat mengapa kejahatan dan penderitaan bisa ada di dunia.
Kejahatan dan penderitaan bisa muncul karena dalam mewujudkan dirinya
wujud-wujud aktual (termasuk di dalamnya manusia) diberi kebebasan untuk
mengambil sikap dan bertindak. Mereka juga punya kuasa untuk menentang Tuhan.
Karena itu penderitaan dan kejahatan tidak dengan serta merta berasal dari
Tuhan. Tuhan tidak mengendalikan wujud-wujud aktual tersebut. Tuhan hanya memberi
kerangka umum, sementara isi konkretnya menjadi tanggung jawab wujud-wujud
aktual itu. Apakah isi konkret itu mau diisi dengan kejahatan dan sesuatu yang
menyengsarakan atau sebaliknya, menjadi hak dan tanggung jawab mereka. Dengan
demikian Tuhan tidak bisa dipersalahkan.
Walau
demikian, tidak berarti Tuhan lepas tangan terhadap segala yang terjadi atau
dilakukan oleh wujud-wujud aktual. Tuhan tidak lepas tangan, sebaliknya Tuhan
amat terpengaruh dan digerakkan oleh apa yang terjadi dan yang dilakukan
wujud-wujud aktual.
Ini
menjadi jelas dalam aspek kedua, yaitu aspek akhiri. Pada aspek ini antara
Tuhan dan semua wujud aktual terdapat hubungan yang timbal balik dan saling
ketergantungan. Aspek akhiri mengandung pemahaman bahwa Tuhan adalah hakim dan penyelamat.
Tuhan dipengaruhi dan digerakan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia,
khususnya pelaksanaan kebebasan setiap wujud aktual. Artinya apapun yang dibuat
oleh setiap wujud aktual dalam membentuk diri diperhitungkan oleh Tuhan dalam
aspek akhiri.
b. Tuhan postmodern dan Teori Evolusi
Masalah
yang diangkat oleh teori evolusi dalam hubungannya dengan Tuhan yang
supernaturalistik adalah penciptaan dari creatio ex nihilo dan
ketidakmungkinan campur tangan Tuhan dalam proses evolusi. Pokok ini tidak
perlu dibahas panjang lebar, diatas telah dikemukakan bahwa kaum postmodernpun
tidak mengakui adanya penciptaan yang ex nihilo. Tuhan postmodern atau
Tuhan yang naturalistik tidak menciptakan dunia dari kekosongan. Tuhan
postmodern hanya menciptakan (tepatnya mengatur) dunia dari kekacauan. Jadi
antara teori evolusi dan teori penciptaan postmodern sesunguhnya tidak perlu
dipertentangkan. Karena itu, eksistensi Tuhan tidak perlu ditolak oleh teori
evolusi. Pun sebaliknya, teori evolusi tidak berarti merendahkan martabat
Tuhan. Sebab, bagi kaum postmodern, begitulah ‘fakta’ penciptaan. Tuhan yang
naturalistik hanya bisa menciptakan dunia melalui suatu proses evolusia yang
panjang dan lambat, yang dipenuhi dengan jalan buntu dan ketidaksempurnaan. Penciptaan
haruslah melalui suatu proses yang berjalan selangkah demi selangkah.
Objek-objek yang rumit tidak bisa diciptakan sekali jadi. Proses itu memerlukan
waktu.
Selain
meredefinisikan ‘penciptaan’ kaum postmodern juga menafsirkan kembali seleksi
alam. Jika penganut teori evolusi, menganggap seleksi alam sebagai sebuah
proses alamiah yang sama sekali lepas dari campur tangan Tuhan, maka kaum
postmodern anggapan seperti itu. Ada tiga hal yang diungkapkan kaum Postmodern
dalam membela campur tangan Tuhan dalam proses seleksi alam. Pertama, Tuhan
mempengaruhi mahluk secara langsung tetapi tidak secara langsung mempengaruhi
perilaku jasmani mereka yang menjadi tempat paling banyak berlangsungnya
pengaruh seleksi alam. Pengaruh Tuhan itu hanya berlaku pada aspek-aspek yang
tersembunyi dari setiap mahluk dan hanya berupa kerangka konseptual. Kedua, disamping secara langsung,
pengaruh Tuhan dalam seleksi alam juga lewat cara-cara yang tidak langsung.
Pengaruh tidak langsung ini dikerjakan dengan ‘memanfaatkan’ mahluk yang satu
guna mempengaruhi mahluk yang lain. Contohnya ialah Tuhan mempengaruhi mahluk
yang lebih rendah melalui mahluk yang lebih tinggi.
b. Tuhan postmodern dan Alam
Dunia
modern memandang alam secara materialistik, mekanistik. Karena itu tidak
mungkin bila Tuhan mempengaruhi dan menggerakkan alam. Anggapan semacam ini
ditolak oleh kaum postmodern, karena anggapan itu mempunyai kelemahan mendasar.
Bagaimana manusia bisa mengenal masa lalu, dunia luar, sebab-musabab,
kebebasan, dan nilai-nilai, jika ia hanya terdiri dari materi ? Semua persoalan
itu tidak bisa dipecahkan oleh dunia modern.
Dalam
kacamata postmodern, alam yang terdiri atas wujud-wujud aktual yang saling
berinteraksi, tidak terdiri dari materi belaka tapi juga memiliki ‘jiwa’ yaitu
kreatifitas. Kreatifitas inipula yang menjadi sifat dasar setiap wujud-wujud
aktual yang ada di alam. Dengan kreatifitas ini, setiap wujud aktual pada
dirinya sendiri bersifat kreatif. Mereka mempunyai kekuatan untuk mewujudkan
diri mereka sendiri. Perwujudan diri ini dilakukan dalam interaksinya dengan
wujud-wujud aktual yang lain, lalu membentuk suatu sintesa sehingga terciptalah
suatu wujud aktual yang baru. Dengan proses seperti ini jelaslah ungkapan kaum
postmodern “Yang banyak menjadi satu dan bertambah satu”.
Lewat
pemahaman tersebut, kaum postmodernis mampu memecahkan persoalan yang tidak
bisa dipecahkan oleh kaum modernis. Masa lalu, dunia luar, sebab-musabab,
kebebasan, dan nilai-nilai, bisa diketahui oleh karena manusia memiliki
persepsi ekstrainderawi, yaitu suatu persepsi yang tidak hanya melibatkan
persepsi noninderawi, tetapi juga suatu persepsi yang lebih banyak tersimpan dalam tataran
tidak sadar. Telepati atau persepsi langsung isi jiwa orang lain dan clairvoyance
atau persepsi secara noninderawi pada situasi atau benda fisik lain merupakan
dua bentuk utama dari persepsi ekstrainderawi ini. Dengan persepsi
ekstrainderawi ini, manusia tidak hanya bisa mengetahui masa lalu mereka,
asal-usul mereka, kebebasan dan nilai-nilai, tetapi juga memungkinkan manusia
untuk mengenal Tuhan yang mempengaruhi alam
d. Tuhan postmodern dan komitmen pada kebebasan
Persoalan
kebebasan pun juga bukan hambatan bagi dunia postmodern untuk mengakui
keberadaan Tuhan. Sebab Tuhan Postmodern adalah Tuhan yang menghargai
kebebasan.
3. Penutup
Paparan
akan nasib Tuhan di dua ‘dunia’ diatas sesungguhnya merupakan suatu telaah atas
pergulatan antara manusia dan Tuhan. Di dalam pergulatan itu, bisa terjadi
tiga kemungkinan. Pertama, Tuhan
yang mengalami kekalahan seperti yang dialamiNya dalam kisah Yakub (Kej 32:
22-32) bahkan kematian seperti yang terjadi di dunia modern. Kedua, bisa
saja Tuhan yang menang seperti yang terjadi dalam dunia Postmodern. Dan yang ketiga,
tidak ada yang menang dan yang kalah, seperti yang terjadi dalam kisah Abraham
(Kej. 19:1-29). Pengungkapan ketiga kemungkinan ini, sesungguhnya tidak
dimaksudkan untuk menunjukkan siapa yang pantas menjadi juara (yang sering
menang dalam pergulatan). Namun ingin menunjukkan aspek pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban
ini tidak harus menunggu saat berakhirnya kehidupan atau saat dimana manusia
dan Tuhan bertemu muka lawan muka. Pertanggungjawaban itu boleh dan malah harus
dilakukan pada masa ini dan di dunia ini. Pertanggungjawaban itupun juga harus dilakukan
oleh dua pihak manusia dan Tuhan. Manusia harus mempertanggungjawabkan
keyakinannya akan Tuhan dan Tuhanpun harus mempertanggungjawabkan kepercayaan
yang diberikan manusia kepadaNya.
Secara
khusus mengenai pertanggungjawaban manusia, pertanggung jawaban tersebut perlu
melibatkan seluruh eksistensinya. Paparan diatas memang lebih menonjolkan
pertanggungjawaban manusia pada dimensi pemahaman. Hal ini bukan berarti
dimensi pemahaman menjadi dimensi yang paling utama dalam upaya manusia untuk
mempertanggungjawabkan keyakinannya akan Tuhan. Bagaimanapun, pemahaman hanya
salah satu dimensi saja dalam pertanggungjawaban manusia akan keyakinannya.
Jika dimensi pemahaman dimutlakkan, keyakinan manusia itu akan menjadi kering
dan akan menjebak manusia pada suatu debat kusir yang tak berkesudahan. Agar
manusia terhindar dari hal tersebut, pertanggungjawabannya perlu melibatkan
seluruh eksistensinya. Pertanggungjawaban itu perlu melibatkan pengalaman dan
penghayatan pribadi serta sosial. Hanya dengan melibatkan seluruh eksistensinya
keyakinan manusia akan Tuhan bisa menjadi keyakinan yang hidup dan menghidupi.
Daftar Pustaka
Grifin,
David Ray, 2006, Tuhan dan Agama Dalam Dunia Postmodern, Yogyakarta:
Kanisius
Grifin,
David Ray (ed), 2006, Visi-Visi Postmodern Spiritual dan Masyarakat,
Yogyakarta: Kanisius
Hardiman,
F. Budi., 2003, Melampaui Positifisme Dan Modernisme Diskursus Filosofis
Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius
Hardiyanto,
Sugeng, 1996, Percaya Yang Selalu Belajar Kumpulan Tulisan Diseputar Iman
dan Ilmu Pengetahuan, Salatiga: PPs-AM UKSW
Jakob,
Tom, 2005, Paham Allah Dalam
Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius
Kewuel,
Hipolitus K. 2006, Allah Dalam Dunia Postmodern, Malang: Penerbit Dioma
Lyotard,
Jean-Francois, 2003. Kondisi [Era] Posmodern, Yogyakarta: Panta Rhei
Books
Sudarminta,
J., 1994, Model Pemahaman Tentang Allah dalam Filsafat Proses Alfred N.
Whitehead. Dalam Budi Susanto, S.J. Teologi & Praksis Komunitas
Postmodern, Yogyakarta: Kanisius.
Sugiharto,
I. Bambang, 1996, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius
Wora,
Emanuel, 2006, Perenialisme Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta:
Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar