Toleran
Tapi Diskriminatif:
Kritik Terhadap Gagasan Pemberlakuan
Piagam Jakarta Berbasis Piagam Madinah
Oleh: Chlaodhius Budhianto
Pendahuluan
Sejak runtuhnya era pemerintahan
Orde Baru yang otoriter dan berganti dengan era Reformasi ada kegamangan yang
luar biasa terhadap system kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Munculnya kembali seruan untuk menghidupkan piagam
Jakarta menjadi penanda dari kegamangan tersebut. Menariknya, seruan tersebut
tidak terbatas pada keinginan untuk mengadopsi piagam Jakarta begitu saja.
Untuk menenangkan pihak-pihak yang sejak dulu menentang Piagam Jakarta,
pihak-pihak yang mendukung keberadaan Piagam Jakarta mencoba
mereinterpretasikan piagam tersebut dalam terang Piagam Madinah.
Piagam Madinah merupakan sebuah kesepakatan
yang telah dibuat oleh Nabi Muhammad SAW dengan berbagai kelompok etno-religius
di Madinah. Piagam tersebut ditengarai sebagai sebuah piagam yang mencerminkan
bahwa di bawah hukum-hukum Islam, kelompok atau umat non-muslim tidak
didiskriminasi. Di sana ada toleransi yang memungkinkan kelompok atau umat
non-muslim untuk menjalankan agama dan keyakinannya secara bebas.
Reinterpertasi Piagam Jakarta dalam
bingkai Piagam Madinah juga dikerjakan dalam bingkai pengembangan civil society. Dalam bingkai ini, civil society, disejajarkan dengan
masyarakat beradab yang hidup berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam
piagam Madinah atau masyarakat madani.
Tulisan ini akan mencoba menguji
keyakinan-keyakinan tersebut. Benarkah di dalam Piagam Madinah tidak terdapat
diskriminasi ? Akan tetapi sebelum menguji keberadaan piagam Madinah, penting
untuk melihat keberadaan Piagam Jakarta terlebih dahulu.
Piagam Jakarta
Keberadaan Piagam Jakarta tidak bisa dilepaskan dari Pidato Soekarno
dihadapan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Pidato Soekarno yang kemudian
dikenal sebagai pidato lahirnya Pancasila itu memperoleh sambutan yang hangat
dari peserta sidang.
Peserta Sidang BPUPKI, menganggap Pidato Soekarno pada tanggal 1
Juni 1945 sebagai jalan keluar bagi kebuntuan politik sebagai akibat dari
polarisasi ideologis berkenaan dengan dasar Negara. Ada tiga kelompok yang saat
itu bertarung, yaitu mereka yang menginginkan Islam sebagai dasar
negara, mereka yang mencoba menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang
memisahkan agama dan Negara, serta mereka yang menganjurkan negara yang disebut
sebagai negara integralistik. Sekalipun begitu perdebatan yang paling serius,
emosional dan cenderung konfrontasional terjadi antara dua kelompok yang
disebut terakhir berhadapan dengan kelompok pertama. Sehingga polarisasi
semakin menyempit, menjadi dua kubu: pendukung paham nasionalisme dan pendukung
Islam.[1] Uraian Soekarno yang bersifat kompromis dipandang dapat meneduhkan
pertentangan yang mulai tajam antara kedua pendukung tersebut.
Oleh karena itu sebelum persidangan berakhir, dibentuklah sebuah
panitia kecil. Panitia ini beranggotakan 9 orang dan berasal dari dua kubu yang
bertikai tersebut. Pendukung paham
kebangsaan diwakili oleh Ir.
SOEKARNO, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A Maramis, Mr. Achmad Subardjo dan Mr. Muhammad Yamin. Sementara pendukung
paham Islam yaitu Abikusno Tjokrosujoso,
Abdul Kahar Muzakir. H.A. Salim, dan Wachid
Hasjim. Ada beberapa tugas yang perlu diselesaikan oleh panitia
ini:
1.
Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar Negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada
tanggal 1 Juni 1945.[2]
Sekalipun telah diredakan oleh Soekarno lewat pidatonya tanggal 1
Juni 1945, pendukung nasionalisme dan pendukung Islam yang ada di dalam panitia
kecil masih saja berdebat soal apakah Negara Indonesia akan didirikan di atas
dasar Islam atau tidak. Dalam perdebatan ini kelompok yang menginginkan
Islam sebagai dasar Negara berada di atas angin. Ini terbukti dengan
ditetapkannya hasil kerja panitia 9 itu yang kemudian dikenal dengan Piagam
Jakarta[5] pada
tanggal 22 Juni 1945 yang sangat kental nuansa islamnya. Secara lengkap bunyi
dari piagam Jakarta adalah sebagai berikut:
PIAGAM JAKARTA
“Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan
peri-keadilan.
Dan
perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu
gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum Dasar Negara Indonesia yang
terbentuk dalam suatu Susunan Hukum Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat, dengan berdasar kepada: Ke- Tuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk–pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 22-6-2605
(1945).
Ir. SOEKARNO
Drs. Mohammad Hatta
Mr. A.A Maramis
Abikusno
Tjokrosujoso
Abdul Kahar Muzakir
H.A. Salim
Mr. Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Mr. Muhammad Yamin
Dalam piagam tersebut nuansa Islam terlihat dalam penggunaan kata
“ALLAH” pada alinea ketiga dan kalimat “Ke-Tuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk–pemeluknya.” Kata Allah dalam piagam tersebut menunjuk kepada
Tuhan yang personal, yaitu Tuhan orang-orang Islam yang dikenal dengan nama
Allah. Memang orang-orang Kristen di Indonesia juga terbiasa menyebut Tuhan-nya
dengan sebutan Allah. Tetapi Allah dalam
piagam Jakarta ini terutama menunjuk pada Allahnya orang Islam. Sementara itu
kalimat “Ke-Tuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk–pemeluknya,”
akan memberikan posisi yang strategis kepada umat Islam. Dengan kalimat yang
islamis ini, “umat islam Indonesia memperoleh posisi yang strategis yang
memungkinkan mereka untuk menerapkan syari’at bagi komunitasnya dalam
negara Indonesi merdeka, meskipun mereka
harus menerima Pancasila dan bukannya Islam sebagai dasar dan ideology Negara.”.[6]
Menurut pendapat umat Islam, kalimat “dengan menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk–pemeluknya” tidak akan diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kalimat itu hanya berlaku bagi umat muslim. Mereka juga berpandangan bahwa
hak-hak kelompok non-muslim tidak akan dihilangkan, sebab “umat Islam tetap
menjalankan, atau melakukan ibadah dalam batas-batas toleransi agama terhadap
kelompok-kelompok agama lain di negara ini dengan tidak memaksakan keimanan dan
ajaran mereka pada urnat yang lain.”[7]
Posisi ini juga sesuai dengan ayal AI-Qur'an: "Tidak ada paksaan dalam
agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
salah..."[8]
Menurut Faisal Ismail, pandangan
kelompok muslim yang demikian itu bisa disejajarkan dengan pandangan nabi Muhammad
ketika ia membagun komunitas muslim di Madinah pada tahun pertama Hijriyah (622
M) berdasarkan apa yang disebut dengan Piagam Madinah.[9]
Pada era reformasi, pendapat Ismail itu mendapatkan dukungan yang kuat.
Berbagai kelompok Muslim yang ingin memperjuangkan kembalinya piagam Jakarta
sering mengangkat wacana masyarakat madani yang ditopang oleh piagam madinah.
Bahkan Pada masa pemeritahannya, Habibie berusaha menjadikan konsep masyarakat
madani sebagai arah pengembangan masyarakat Indonesia.
Ketika piagam Jakarta itu dibahas
dalam sidang BPUPKI pada tanggal 11 Juli
1945, beberapa peserta sidang berkeberatan dengan piagam itu. Latuharhary,
anggota BPUPKI yang beragama Kristen, berkeberatan karena baginya pernyataan “Ke-Tuhanan,
dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk–pemeluknya” akan menghasilkan
berbagai kesulitan yang besar sekali terutama bagi agama-agama lain dan adat.[10]
Sementara Djajadiningrat berpendapat bahwa kalimat tersebut akan bias
menimbulkan fanatisme agama.[11]
Menanggapi keberatan Latuharhary,
Agus Salim[12]
menyatakan bahwa tidak ada lagi pertikaian antara hukum agama dan Hukum adat di
Minangkabau, pertikaian itu telah diselesaikan. Agus salim juga mengatakan bahwa “wajib umat Islam menjalankan syariat,
biarpun tidak ada Indonesia merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia,
itu adalah suatu Hak umat Islam yang dipegangnya.” Terhadap kekhawatiran akan
adanya pemaksaan dalam hal beragama, ia mengatakan “keamanan bangsa-bangsa lain
yang tidak beragama Islam dalam 300 tahun yang lalu itu tidak berdasar kepada
kekuasaan Balatentara, tetapi pada adat-istiadatnya umat Islam yang 90% itu.”[13]
Dengan kata lain, kebebasan beragama bagi umat lain akan sangat ditentukan oleh
mayoritas, yaitu islam. Hal senada juga diungkapkan oleh Wachid Hasyim, ketika
ia berkata “dengan susunan pemerintahan didasarkan atas perwakilan dan
permusyawaratan, jadi kalau ada kejadian paksaan, soal itu bisa diajukan dan
diselesaikan.”[14]
Sementara itu Soekarno, selaku ketua
panitia Sembilan, berusaha meyakinkan peserta sidang bahwa piagam Jakarta
adalah hasil kompromi. Jika “kalimat itu
tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak islam tidak bisa menerima preambule ini;
jadi perselisihan nanti terus.”[15]
Lebih lanjut Soekarno berkata:
marilah kita sekarang menjalankan pengorbanan
itu, dan pengorbanan yang saya minta kepada saudara-saudara yang tidak sefaham
dengan golongan- golongan yang dinamakan golongan Islam ialah supaya
saudara-saudara mufakati apa yang saya usulkan. . . . Saya minta supaya apa
yang saya usulkan itu diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian, walaupun saya
mengetahui bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat-hebatnya terutama sekali
dari saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama
Islam. Saya minta dengan rasa menangis supaya sukalah saudara-saudara
menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita.[16]
Dengan apa yang dikatakan Soekarno itu, persoalan
Piagam Jakarta selesai.[17]
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 11 Juli 1945. Pada tanggal itu juga, BPUPKI
membentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dan menyerahkan rumusan piagam
Jakarta kepada Panitia yang baru dibentuk itu. Dan oleh Panitia Perancang
Undang-Undang Dasar, dikelola lebih lanjut dan dijadikan sebagai dasar untuk
merancang Pernyataan Indonesia Merdeka dan Pembukaan UUD 1945.
Piagam Madinah:
Toleran tapi Diskriminatif
Sangat
menarik bahwa piagam Jakarta, sekuat tenaga coba diperjuangkan oleh kelompok
Islam (baik pada masa sidang BPUPKI maupun pada masa sekarang) untuk dijadikan
sebagai dasar negara. Oleh kelompok Islam, perjuagan itu didasarkan pada dua
hal sekaligus. Pertama, jumlah umat
islam di Indonesia yang adalah mayoritas.[18]
Kedua, keyakinan bahwa piagam
tersebut tidak akan mengurangi hak-hak orang lain, khususnya dalam hal
beragama. Pada masa kini, perjuangan itu dilakukan dengan mengasosiasikan
piagam Jakarta dengan piagam Madinah. Sebagaimana di dalam piagam Madinah, di
mana kebebasan dan toleransi beragama sangat dijunjung tinggi, maka semangat
itu pula yang akan meladasi diberlakukannya kembali piagam Jakarta.
Mengingat
krusialnya masalah ini dengan konteks Indonesia masa kini, maka tilikan
terhadap piagam madinah adalah penting dalam rangka menyikapi secara kritis
berbagai upaya pemberlakuan kembali piagam Jakarta.
Dilihat dari sejarahnya, piagam
Madinah lahir dari suatu proses pembentukan suatu masyarakat di kota Madinah
(Yatsrib) ketika Nabi Muhammad melakukan Hijrahnya dari Mekkah. Madinah
merupakan sebuah kota yang plural, baik dalam hal etnisitas maupun dalam hal
keagamaan. Ada 8 suku utama bangsa Arab yang tinggal di Madinah. Orang-orang Yahudi juga banyak yang tinggal
di sana. Banyak kalangan menilai bahwa
madinah pada masa Nabi Muhammad adalah kota yang sangat beradab sebab setiap
warganya tunduk dan patuh kepada ajaran kepatuhan yang dinyatakan dalam
supremasi hukum dan peraturan, sehingga kota madinah pada masa itu juga
dipandang sebagai “Negara” Islam yang Ideal.
Dalam hijrahnya ke Madinah pada
tahun 622, nabi bermaksud
untuk menjadikan kota itu sebagai basis bagi misinya dalam menyebarkan agama
Islam. Dalam proses ini nabi dan orang-orang Muhajirin (orang Islam
Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi) bertemu dengan orang Ansar (penduduk Muslim di
Madinah), penduduk Madinah non-muslim, orang Yahudi dan kelompok-kelompok lain. Dalam proses memberitakan misinya
itu, potensi perlawanan bisa muncul, terutama dari orang-orang Yahudi, sebab sebagai
umat Tuhan mereka meragukan pemberitaan Nabi. Kecuali itu, umat Yahudi di
Madinah mempunyai posisi yang sangat strategis. Mereka merupakan Mayoritas
penduduk Madinah yang kuat dan makmur.
Tempat tinggal mereka dikelilingi oleh banteng-benteng yang kokoh dan
dipersenjatai dengan berbagai senjata yang dibuat oleh mereka sendiri. Oleh
karena itu tak berlebihan jika orang Yahudi adalah penguasa perekonomian dan
politik kota madinah. Situasi ini berbeda sekali dengan para pengikut Nabi yang
lemah, dan tidak mampu, pengangguran dan sangat tergantung pada belas kasihan
orang-orang Anshar. Dalam situasi seperti itu, Nabi membuat perjanjian dengan orang-orang
Yahudi. Perjanjian inilah yang kemudian disebut sebagai Piagam Madinah dan
dijadikan sebagai Undang-Undang Dasar bagi “Negara” Madinah.
Piagam
madinah terdiri atas 47 Pasal yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama,
yaitu pasal 1-23 berisi perjanjian antara Muhajirin
dan Anshar. Bagian kedua, pasal
24-47 berupa perjanjian antara nabi dengan orang-orang Yahudi dan
kelompok-kelompok lainnya. Dalam piagam
madinah, kedudukan dan keberadaan orang-orang non-muslim tidak diusik.
Orang-orang non muslim diberikan kebebasan untuk melaksanakan ajaran agamanya.
Ada toleransi dalam piagam tersebut.
Sarjana-sarjana Barat
dan, juga sarjana Muslim sepakat bahwa piagam ini adalah otentik. Julius
Wellhausen mengemukakan empat alasan yang
mendasari otentitas piagam ini.[19] Pertama, grammar dan kosakata yang dipakai sangat
arkhaic. Kedua, teks perjanjian itu
penuh dengan alusi yang hanya bisa dipahami oleh orang yang sezaman dengan
diadakannya perjanjian itu. Ketiga,
teks perjanjian itu merefleksikan hukum suku-suku kuno, jauh sebelum Islam
hadir. Keempat, jika ada pemalsuan
terhadap perjanjian itu, tentu ia akan merefleksikan fenomena masa-masa Islam,
misalnya, non-Muslim pasti tidak masuk dalam kategori umma wahida.
Meski teks dari
Piagam Madinah diyakini otentik, perjanjian ini tak lepas dari berbagai persoalan. Hal
pertama yang perlu dicermati adalah bahwa di dalam piagam tersebut tidak ada kata-kata nation of Islam atau "negara
Islam". Ini adalah perjanjian antara orang Islam dan non-Muslim untuk
membangun satu tatanan bersama. Hal kedua, dan ini yang sangat penting, para sejarawan tidak
pernah sepakat tentang bagaimana cara Piagam Madinah disepakati. Apakah
perjanjian itu merupakan perjanjian yang bersifat sepihak yang hanya dibuat
oleh Nabi Muhammad dan kelompok-kelompok lain hanya diminta untuk menyetujui (a unilateral edict) atau piagam itu mengalami proses perdebatan dan
diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (a
negotiated settlement)?
Keberadaan kelompok-kelompok Yahudi, yang karena alasan-alasan sosial
keagamaan, menolak piagam tersebut dan kemudian tidak diikutsertakan dalam
pembentukan masyarakat madinah yang berlandaskan pada Piagam Madinah,[20] memperlihatkan bahwa piagam tersebut merupakan suatu unilateral edict. Dalam perjanjian
semacam ini, tidak ada equality
diantara orang-orang yang terlibat. Ketidaksederajatan
tersebut menjadi semakin kuat dengan adanya konsep Dhimmah.
Dhimmah (Dhimmi) adalah istilah yang dikenakan
kepada penduduk non muslim yang diijinkan untuk tinggal di Negara-negara muslim
selama setahun atau lebih.[21] Orang-orang yang tergolong ke dalam dhimmah, diberi kebebasan untuk mengatur dirinya dalam
masalah-masalah pribadi dan pengaturan itu harus tunduk pada ketentuan
perundang-undangan Negara Islam dalam urusan-urusan publik, sebab menurut
ketentuan-ketentuan syariah semua urusan
publik adalah hak ekslusif dari umat Islam. Dalam arti ini kaum dhimmi hanya memiliki kebebasan
untuk berpendapat, berkepercayaan, berekspresi dan berkumpul hanya di dalam
komunitas mereka sendiri. Kebebasan-kebebasan itu bersifat terbatas, yaitu
hanya berkaitan dengan praktik-praktik keagamaan dan pelaksanaan urusan-urusan
pribadi mereka di dalam kelompoknya sendiri.
Mereka juga tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan
keyakinan-keyakinan (agama)-nya ke masyarakat luas.
Kebebasan kaum dhimmi tidak
termasuk kebebasan di wilayah publik. Dalam bidang hukum misalnya, mereka tidak
memiliki persamaan dihadapan hukum dengan umat Islam. Dan lagi, mereka juga
dilarang untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik atau memegang jabatan
yang akan memberinya kesempatan untuk memiliki otoritas yang sama dengan kaum
muslim. Akibatnya, kaum dhimmi menjadi
kelompok masyarakat kelas dua, yang statusnya lebih rendah dari umat muslim.
Penutup
Dari
paparan di atas terlihat bahwa, baik piagam Jakarta maupun Piagama Madinah,
menyimpan sebuah persoalan yang sangat mendasar ketika keduanya hendak
diterapkan dalam konteks kehidupan bernegara-bangsa Indonesia yang plural.
Sekalipun orang-orang yang berusaha menghidupkan kedua piagam tersebut selalu
melontarkan toleransi, tetapi toleransi tersebut bersifat bersifat
diskriminatif. Toleransi tersebut tidak menjamin adanya kesetaraan dalam
berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di antara berbagai
kelompok yang berbeda.
[1]Beberapa
kalangan menyebut kedua kelompok itu sebagai nasionalisme sekuler dan
nasionalisme Islam. Menurut hemat saya, penamaan semacam itu kurang tepat sebab
orang-orang yang dikelompokkan sebagai nasionalisme sekuler, tidak bisa
dikatakan sekuler. Soekarno dan Hatta merupakan orang-orang muslim yang taat,
namun tidak menginginkan suatu negara Islam
[2]Panitia
Lima, Uraian Pancasila, (Jakarta:
Penerbit Mutiara, 1994), hlm. 25
[3] Ibid
[4] Setelah
diperiksa oleh Panitia Kecil, Usul-usul tersebut diklasifikasikan ke dalam 9
kelompok: 1) usul yang meminta kemerdekaan secepatnya, 2) tentang dasar
negara, 3) soal unificatie atau federatie, 4) bentuk Negara dan kepala
Negara, 5) warga Negara, 6) mengenai daerah, 7) soal agama dan Negara, 8) soal
pembelaan, 9) soal keuangan. Lih. Saafroedin
Bahar, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting), Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945 -
22 Agustus 1945, dengan kala Pengantar oleh Taufik Abdullah. Jakarta:
Sekretariat Negara R.I., 1995), hlm. 88-89
[5] Nama
Piagam Jakarta sebenarnya bukan nama resmi yang diajukan oleh Panitia 9 ataupun
oleh BPUPKI. Nama itu diberikan oleh Muhammad Yamin. Lih. Arief Priyadi, Wawancara Dengan Sayuti Melik, (Jakarta:
CSIS,tt), hlm. 63
[6] Faisal
Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas
Agama, Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999) hlm. 46
[7] Ibid
[8] Yamin
dikutip oleh Faisal Ismail, ibid.
[9] Ibid
[10] Saafroedin Bahar, Risalah . . ., 216
[11] Ibid.
217
[12] Ibid.
216
[13] Ibid. 217
[14] Ibid.
[15] Ibid
216, 218
[16] Ibid., 357
[17]Ibid.
Sekalipun begitu, ketika piagam
Jakarta dijabarkan kedalam batang tubuh UUD, perdebatan kembali muncul. Dalam
kaitannya dengan piagam Jakarta, perdebatan terjadi utamanya pada pasal 4 ayat
2 dan pasal 28 (sekarang pasal 29 dari UUD 1945). Dikedua pasal tersebut Wachid Hasim
mengusulkan dua hal. Pertama, Pada
pasal 4 (2) dicantumkan peryataan yang berbunyi “yang dapat menjadi presiden
hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kedua, Isi pasal 28 diubah
menjadi “Agama Negara ialah agama Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang
yang beragama lain. Usulan itu mendapat dukungan dari kelompok Islam
tetapi ditentang oleh beberapa anggota
lainnya seperti Agus Salim, Djajadiningrat, Otto Iskandardinata, Akan tetapi pada akhirya Batang tubuh yang
bersifat diskriminatif itu akhirnya ditetapkan sebagai Rancangan UUD oleh sidag
BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945.
[18] Yang
sangat menarik di sini adalah bahwa di dalam BPUPKI, jumlah pendukung Islam
cukup kecil. Dari 62 orang anggota BPUPKI, kelompok yang mewakili umat Islam
hayalah 25 % (sekitar 15 orang) dari jumlah keseluruhan.
[19] Ahmad
Najib Burhani, “Piagam Jakarta dan Piagam Madinah,” diakses dari http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/30/opini/1402740.htm
[20] Olaf
Schumann, Menghadapi Tantangan
Memperjuangkan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 280
[21]
Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi
Syariah: Wacana Kebebasan Sipil Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional
dalam Islam (Yogyakarta: LKIS), 172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar