Selasa, 19 November 2013

Toleran Tapi Diskriminatif: Kritik Terhadap Gagasan Pemberlakuan Piagam Jakarta Berbasis Piagam Madinah

Toleran Tapi Diskriminatif:
Kritik Terhadap Gagasan Pemberlakuan Piagam Jakarta Berbasis Piagam Madinah

Oleh: Chlaodhius Budhianto

Pendahuluan
Sejak runtuhnya era pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan berganti dengan era Reformasi ada kegamangan yang luar biasa terhadap system kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Munculnya kembali seruan untuk menghidupkan piagam Jakarta menjadi penanda dari kegamangan tersebut. Menariknya, seruan tersebut tidak terbatas pada keinginan untuk mengadopsi piagam Jakarta begitu saja. Untuk menenangkan pihak-pihak yang sejak dulu menentang Piagam Jakarta, pihak-pihak yang mendukung keberadaan Piagam Jakarta mencoba mereinterpretasikan piagam tersebut dalam terang Piagam Madinah.
 Piagam Madinah merupakan sebuah kesepakatan yang telah dibuat oleh Nabi Muhammad SAW dengan berbagai kelompok etno-religius di Madinah. Piagam tersebut ditengarai sebagai sebuah piagam yang mencerminkan bahwa di bawah hukum-hukum Islam, kelompok atau umat non-muslim tidak didiskriminasi. Di sana ada toleransi yang memungkinkan kelompok atau umat non-muslim untuk menjalankan agama dan keyakinannya secara bebas.
Reinterpertasi Piagam Jakarta dalam bingkai Piagam Madinah juga dikerjakan dalam bingkai pengembangan civil society. Dalam bingkai ini, civil society, disejajarkan dengan masyarakat beradab yang hidup berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam piagam Madinah atau masyarakat madani.
Tulisan ini akan mencoba menguji keyakinan-keyakinan tersebut. Benarkah di dalam Piagam Madinah tidak terdapat diskriminasi ? Akan tetapi sebelum menguji keberadaan piagam Madinah, penting untuk melihat keberadaan Piagam Jakarta terlebih dahulu.

 Piagam Jakarta
Keberadaan Piagam Jakarta tidak bisa dilepaskan dari Pidato Soekarno dihadapan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Pidato Soekarno yang kemudian dikenal sebagai pidato lahirnya Pancasila itu memperoleh sambutan yang hangat dari peserta sidang. 
Peserta Sidang BPUPKI, menganggap Pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai jalan keluar bagi kebuntuan politik sebagai akibat dari polarisasi ideologis berkenaan dengan dasar Negara. Ada tiga kelompok yang saat itu bertarung, yaitu mereka yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, mereka yang mencoba menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang memisahkan agama dan Negara, serta mereka yang menganjurkan negara yang disebut sebagai negara integralistik. Sekalipun begitu perdebatan yang paling serius, emosional dan cenderung konfrontasional terjadi antara dua kelompok yang disebut terakhir berhadapan dengan kelompok pertama. Sehingga polarisasi semakin menyempit, menjadi dua kubu: pendukung paham nasionalisme dan pendukung Islam.[1] Uraian Soekarno yang bersifat kompromis dipandang dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara kedua pendukung tersebut.
Oleh karena itu sebelum persidangan berakhir, dibentuklah sebuah panitia kecil. Panitia ini beranggotakan 9 orang dan berasal dari dua kubu yang bertikai tersebut. Pendukung paham  kebangsaan diwakili oleh Ir. SOEKARNO, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A Maramis, Mr. Achmad Subardjo  dan Mr. Muhammad Yamin. Sementara pendukung paham Islam yaitu  Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir. H.A. Salim, dan  Wachid Hasjim.  Ada beberapa  tugas yang perlu diselesaikan oleh panitia ini:
1.      Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar Negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.[2]
2.      Menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia merdeka.[3]
3.      Mengembangkan berbagai usul yang masuk ke BPUPKI mengenai kemerdekaan Indonesia.[4]

Sekalipun telah diredakan oleh Soekarno lewat pidatonya tanggal 1 Juni 1945, pendukung nasionalisme dan pendukung Islam yang ada di dalam panitia kecil masih saja berdebat soal apakah Negara Indonesia akan didirikan di atas dasar Islam atau tidak. Dalam perdebatan ini kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar Negara berada di atas angin. Ini terbukti dengan ditetapkannya hasil kerja panitia 9 itu yang kemudian dikenal dengan  Piagam Jakarta[5] pada tanggal 22 Juni 1945 yang sangat kental nuansa islamnya. Secara lengkap bunyi dari piagam Jakarta adalah sebagai berikut:

PIAGAM JAKARTA

 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.



Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu Susunan Hukum Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: Ke- Tuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk–pemeluknya,  menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22-6-2605 (1945).
Ir. SOEKARNO
Drs. Mohammad Hatta
Mr. A.A Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdul Kahar Muzakir
H.A. Salim
Mr. Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Mr. Muhammad Yamin


Dalam piagam tersebut nuansa Islam terlihat dalam penggunaan kata “ALLAH” pada alinea ketiga dan kalimat “Ke-Tuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk–pemeluknya.” Kata Allah dalam piagam tersebut menunjuk kepada Tuhan yang personal, yaitu Tuhan orang-orang Islam yang dikenal dengan nama Allah. Memang orang-orang Kristen di Indonesia juga terbiasa menyebut Tuhan-nya dengan  sebutan Allah. Tetapi Allah dalam piagam Jakarta ini terutama menunjuk pada Allahnya orang Islam. Sementara itu kalimat Ke-Tuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk–pemeluknya,” akan memberikan posisi yang strategis kepada umat Islam. Dengan kalimat yang islamis ini, “umat islam Indonesia memperoleh posisi yang strategis yang memungkinkan mereka untuk menerapkan syari’at bagi komunitasnya dalam negara  Indonesi merdeka, meskipun mereka harus menerima Pancasila dan bukannya Islam sebagai dasar dan ideology Negara.”.[6]  
Menurut pendapat umat Islam,  kalimat “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk–pemeluknya” tidak akan diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalimat itu hanya berlaku bagi umat muslim. Mereka juga berpandangan bahwa hak-hak kelompok non-muslim tidak akan dihilangkan, sebab “umat Islam tetap menjalankan, atau melakukan ibadah dalam batas-batas toleransi agama terhadap kelompok-kelompok agama lain di negara ini dengan tidak memaksakan keimanan dan ajaran mereka pada urnat yang lain.”[7] Posisi ini juga sesuai dengan ayal AI-Qur'an: "Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah..."[8] 
Menurut Faisal Ismail, pandangan kelompok muslim yang demikian itu bisa disejajarkan dengan pandangan nabi Muhammad ketika ia membagun komunitas muslim di Madinah pada tahun pertama Hijriyah (622 M) berdasarkan apa yang disebut dengan Piagam Madinah.[9] Pada era reformasi, pendapat Ismail itu mendapatkan dukungan yang kuat. Berbagai kelompok Muslim yang ingin memperjuangkan kembalinya piagam Jakarta sering mengangkat wacana masyarakat madani yang ditopang oleh piagam madinah. Bahkan Pada masa pemeritahannya, Habibie berusaha menjadikan konsep masyarakat madani sebagai arah pengembangan masyarakat Indonesia.
Ketika piagam Jakarta itu dibahas dalam sidang BPUPKI pada  tanggal 11 Juli 1945, beberapa peserta sidang berkeberatan dengan piagam itu. Latuharhary, anggota BPUPKI yang beragama Kristen, berkeberatan karena baginya pernyataan Ke-Tuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk–pemeluknya” akan menghasilkan berbagai kesulitan yang besar sekali terutama bagi agama-agama lain dan adat.[10] Sementara Djajadiningrat berpendapat bahwa kalimat tersebut akan bias menimbulkan fanatisme agama.[11]
Menanggapi keberatan Latuharhary, Agus Salim[12] menyatakan bahwa tidak ada lagi pertikaian antara hukum agama dan Hukum adat di Minangkabau, pertikaian itu telah diselesaikan. Agus salim juga mengatakan  bahwa “wajib umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia, itu adalah suatu Hak umat Islam yang dipegangnya.” Terhadap kekhawatiran akan adanya pemaksaan dalam hal beragama, ia mengatakan “keamanan bangsa-bangsa lain yang tidak beragama Islam dalam 300 tahun yang lalu itu tidak berdasar kepada kekuasaan Balatentara, tetapi pada adat-istiadatnya umat Islam yang 90% itu.”[13] Dengan kata lain, kebebasan beragama bagi umat lain akan sangat ditentukan oleh mayoritas, yaitu islam. Hal senada juga diungkapkan oleh Wachid Hasyim, ketika ia berkata “dengan susunan pemerintahan didasarkan atas perwakilan dan permusyawaratan, jadi kalau ada kejadian paksaan, soal itu bisa diajukan dan diselesaikan.”[14]
Sementara itu Soekarno, selaku ketua panitia Sembilan, berusaha meyakinkan peserta sidang bahwa piagam Jakarta adalah hasil kompromi. Jika  “kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak islam tidak bisa menerima preambule ini; jadi perselisihan nanti terus.”[15] Lebih lanjut Soekarno berkata:

marilah kita sekarang menjalankan pengorbanan itu, dan pengorbanan yang saya minta kepada saudara-saudara yang tidak sefaham dengan golongan- golongan yang dinamakan golongan Islam ialah supaya saudara-saudara mufakati apa yang saya usulkan. . . . Saya minta supaya apa yang saya usulkan itu diterima dengan bulat-bulat  oleh anggota sekalian, walaupun saya mengetahui bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat-hebatnya terutama sekali dari saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam. Saya minta dengan rasa menangis supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita.[16]

Dengan apa yang dikatakan Soekarno itu, persoalan Piagam Jakarta selesai.[17] Peristiwa ini terjadi pada tanggal 11 Juli 1945. Pada tanggal itu juga, BPUPKI membentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dan menyerahkan rumusan piagam Jakarta kepada Panitia yang baru dibentuk itu. Dan oleh Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, dikelola lebih lanjut dan dijadikan sebagai dasar untuk merancang Pernyataan Indonesia Merdeka dan Pembukaan UUD 1945.

Piagam Madinah: Toleran tapi Diskriminatif
            Sangat menarik bahwa piagam Jakarta, sekuat tenaga coba diperjuangkan oleh kelompok Islam (baik pada masa sidang BPUPKI maupun pada masa sekarang) untuk dijadikan sebagai dasar negara. Oleh kelompok Islam, perjuagan itu didasarkan pada dua hal sekaligus. Pertama, jumlah umat islam di Indonesia yang adalah mayoritas.[18] Kedua, keyakinan bahwa piagam tersebut tidak akan mengurangi hak-hak orang lain, khususnya dalam hal beragama. Pada masa kini, perjuangan itu dilakukan dengan mengasosiasikan piagam Jakarta dengan piagam Madinah. Sebagaimana di dalam piagam Madinah, di mana kebebasan dan toleransi beragama sangat dijunjung tinggi, maka semangat itu pula yang akan meladasi diberlakukannya kembali piagam Jakarta.
            Mengingat krusialnya masalah ini dengan konteks Indonesia masa kini, maka tilikan terhadap piagam madinah adalah penting dalam rangka menyikapi secara kritis berbagai upaya pemberlakuan kembali piagam Jakarta.
Dilihat dari sejarahnya, piagam Madinah lahir dari suatu proses pembentukan suatu masyarakat di kota Madinah (Yatsrib) ketika Nabi Muhammad melakukan Hijrahnya dari Mekkah. Madinah merupakan sebuah kota yang plural, baik dalam hal etnisitas maupun dalam hal keagamaan. Ada 8 suku utama bangsa Arab yang tinggal di Madinah.  Orang-orang Yahudi juga banyak yang tinggal di sana.  Banyak kalangan menilai bahwa madinah pada masa Nabi Muhammad adalah kota yang sangat beradab sebab setiap warganya tunduk dan patuh kepada ajaran kepatuhan yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan, sehingga kota madinah pada masa itu juga dipandang sebagai “Negara” Islam yang Ideal.
Dalam hijrahnya ke Madinah pada tahun 622, nabi bermaksud untuk menjadikan kota itu sebagai basis bagi misinya dalam menyebarkan agama Islam. Dalam proses ini nabi dan orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi) bertemu dengan orang Ansar (penduduk Muslim di Madinah), penduduk Madinah non-muslim, orang Yahudi dan kelompok-kelompok lain. Dalam proses memberitakan misinya itu, potensi perlawanan bisa muncul, terutama dari orang-orang Yahudi, sebab sebagai umat Tuhan mereka meragukan pemberitaan Nabi. Kecuali itu, umat Yahudi di Madinah mempunyai posisi yang sangat strategis. Mereka merupakan Mayoritas penduduk Madinah yang kuat dan makmur.  Tempat tinggal mereka dikelilingi oleh banteng-benteng yang kokoh dan dipersenjatai dengan berbagai senjata yang dibuat oleh mereka sendiri. Oleh karena itu tak berlebihan jika orang Yahudi adalah penguasa perekonomian dan politik kota madinah. Situasi ini berbeda sekali dengan para pengikut Nabi yang lemah, dan tidak mampu, pengangguran dan sangat tergantung pada belas kasihan orang-orang Anshar. Dalam situasi seperti itu, Nabi membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Perjanjian inilah yang kemudian disebut sebagai Piagam Madinah dan dijadikan sebagai Undang-Undang Dasar bagi “Negara” Madinah.  
            Piagam madinah terdiri atas 47 Pasal yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, yaitu pasal 1-23 berisi perjanjian antara Muhajirin dan Anshar. Bagian kedua, pasal 24-47 berupa perjanjian antara nabi dengan orang-orang Yahudi dan kelompok-kelompok lainnya.  Dalam piagam madinah, kedudukan dan keberadaan orang-orang non-muslim tidak diusik. Orang-orang non muslim diberikan kebebasan untuk melaksanakan ajaran agamanya. Ada toleransi dalam piagam tersebut.  
Sarjana-sarjana Barat dan, juga sarjana Muslim sepakat bahwa piagam ini adalah otentik. Julius Wellhausen mengemukakan empat alasan yang mendasari otentitas piagam ini.[19] Pertama, grammar dan kosakata yang dipakai sangat arkhaic. Kedua, teks perjanjian itu penuh dengan alusi yang hanya bisa dipahami oleh orang yang sezaman dengan diadakannya perjanjian itu. Ketiga, teks perjanjian itu merefleksikan hukum suku-suku kuno, jauh sebelum Islam hadir. Keempat, jika ada pemalsuan terhadap perjanjian itu, tentu ia akan merefleksikan fenomena masa-masa Islam, misalnya, non-Muslim pasti tidak masuk dalam kategori umma wahida.
Meski teks dari Piagam Madinah diyakini otentik, perjanjian ini tak lepas dari berbagai persoalan. Hal pertama yang perlu dicermati adalah bahwa di dalam piagam tersebut tidak ada kata-kata nation of Islam atau "negara Islam". Ini adalah perjanjian antara orang Islam dan non-Muslim untuk membangun satu tatanan bersama. Hal kedua, dan ini yang sangat penting, para sejarawan tidak pernah sepakat tentang bagaimana cara Piagam Madinah disepakati. Apakah perjanjian itu merupakan perjanjian yang bersifat sepihak yang hanya dibuat oleh Nabi Muhammad dan kelompok-kelompok lain hanya diminta untuk menyetujui (a unilateral edict) atau piagam itu mengalami proses perdebatan dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (a negotiated settlement)?
Keberadaan kelompok-kelompok Yahudi, yang karena alasan-alasan sosial keagamaan, menolak piagam tersebut dan kemudian tidak diikutsertakan dalam pembentukan masyarakat madinah yang berlandaskan pada Piagam Madinah,[20] memperlihatkan bahwa piagam tersebut merupakan suatu unilateral edict. Dalam perjanjian semacam ini, tidak ada equality diantara orang-orang yang terlibat.  Ketidaksederajatan tersebut menjadi semakin kuat dengan adanya konsep Dhimmah.
Dhimmah (Dhimmi) adalah istilah yang dikenakan kepada penduduk non muslim yang diijinkan untuk tinggal di Negara-negara muslim selama setahun atau lebih.[21] Orang-orang yang tergolong ke dalam dhimmah, diberi kebebasan untuk mengatur dirinya dalam masalah-masalah pribadi dan pengaturan itu harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan Negara Islam dalam urusan-urusan publik, sebab menurut ketentuan-ketentuan syariah semua urusan  publik adalah hak ekslusif dari umat Islam. Dalam arti ini kaum dhimmi hanya memiliki kebebasan untuk berpendapat, berkepercayaan, berekspresi dan berkumpul hanya di dalam komunitas mereka sendiri. Kebebasan-kebebasan itu bersifat terbatas, yaitu hanya berkaitan dengan praktik-praktik keagamaan dan pelaksanaan urusan-urusan pribadi mereka di dalam kelompoknya sendiri.  Mereka juga tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan keyakinan-keyakinan (agama)-nya ke masyarakat luas.
Kebebasan kaum dhimmi tidak termasuk kebebasan di wilayah publik. Dalam bidang hukum misalnya, mereka tidak memiliki persamaan dihadapan hukum dengan umat Islam. Dan lagi, mereka juga dilarang untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik atau memegang jabatan yang akan memberinya kesempatan untuk memiliki otoritas yang sama dengan kaum muslim. Akibatnya, kaum dhimmi menjadi kelompok masyarakat kelas dua, yang statusnya lebih rendah dari umat muslim.


Penutup
            Dari paparan di atas terlihat bahwa, baik piagam Jakarta maupun Piagama Madinah, menyimpan sebuah persoalan yang sangat mendasar ketika keduanya hendak diterapkan dalam konteks kehidupan bernegara-bangsa Indonesia yang plural. Sekalipun orang-orang yang berusaha menghidupkan kedua piagam tersebut selalu melontarkan toleransi, tetapi toleransi tersebut bersifat bersifat diskriminatif. Toleransi tersebut tidak menjamin adanya kesetaraan dalam berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di antara berbagai kelompok yang berbeda.




[1]Beberapa kalangan menyebut kedua kelompok itu sebagai nasionalisme sekuler dan nasionalisme Islam. Menurut hemat saya, penamaan semacam itu kurang tepat sebab orang-orang yang dikelompokkan sebagai nasionalisme sekuler, tidak bisa dikatakan sekuler. Soekarno dan Hatta merupakan orang-orang muslim yang taat, namun tidak menginginkan suatu negara Islam
[2]Panitia Lima, Uraian Pancasila, (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1994), hlm. 25
[3] Ibid
[4] Setelah diperiksa oleh Panitia Kecil, Usul-usul tersebut diklasifikasikan ke dalam 9 kelompok: 1) usul yang meminta kemerdekaan secepatnya, 2) tentang dasar negara,  3) soal unificatie atau federatie, 4) bentuk Negara dan kepala Negara, 5) warga Negara, 6) mengenai daerah, 7) soal agama dan Negara, 8) soal pembelaan, 9) soal keuangan. Lih. Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945, dengan kala Pengantar oleh Taufik Abdullah. Jakarta: Sekretariat Negara R.I., 1995), hlm. 88-89
[5] Nama Piagam Jakarta sebenarnya bukan nama resmi yang diajukan oleh Panitia 9 ataupun oleh BPUPKI. Nama itu diberikan oleh Muhammad Yamin. Lih. Arief Priyadi, Wawancara Dengan Sayuti Melik, (Jakarta: CSIS,tt), hlm. 63
[6] Faisal Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama, Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999) hlm. 46
[7] Ibid
[8] Yamin dikutip oleh Faisal Ismail, ibid.
[9] Ibid
[10] Saafroedin Bahar, Risalah . . ., 216
[11] Ibid. 217
[12] Ibid. 216
[13] Ibid. 217
[14] Ibid.
[15] Ibid 216, 218
[16] Ibid., 357
[17]Ibid. Sekalipun begitu, ketika piagam Jakarta dijabarkan kedalam batang tubuh UUD, perdebatan kembali muncul. Dalam kaitannya dengan piagam Jakarta, perdebatan terjadi utamanya pada pasal 4 ayat 2 dan pasal 28 (sekarang pasal 29 dari UUD 1945).  Dikedua pasal tersebut Wachid Hasim mengusulkan dua hal. Pertama, Pada pasal 4 (2) dicantumkan peryataan yang berbunyi “yang dapat menjadi presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kedua, Isi pasal 28 diubah menjadi “Agama Negara ialah agama Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain. Usulan itu mendapat dukungan dari kelompok Islam tetapi  ditentang oleh beberapa anggota lainnya seperti Agus Salim, Djajadiningrat, Otto Iskandardinata,  Akan tetapi pada akhirya Batang tubuh yang bersifat diskriminatif itu akhirnya ditetapkan sebagai Rancangan UUD oleh sidag BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945.
[18] Yang sangat menarik di sini adalah bahwa di dalam BPUPKI, jumlah pendukung Islam cukup kecil. Dari 62 orang anggota BPUPKI, kelompok yang mewakili umat Islam hayalah 25 % (sekitar 15 orang) dari jumlah keseluruhan.
[19] Ahmad Najib Burhani, “Piagam Jakarta dan Piagam Madinah,” diakses dari  http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/30/opini/1402740.htm
[20] Olaf Schumann, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 280
[21] Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam (Yogyakarta: LKIS), 172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar