Rabu, 20 November 2013

Teologi Sosial Kritis

Teologi Sosial Kritis
Oleh: Chlaodhius Budhianto

Sampai beberapa waktu yang lalu, pesan dan ajaran kristen lebih banyak di dominasi oleh hal-hal yang sifatnya pribadi: berurusan dengan spiritualitas pribadi, dosa-dosa yang bersifat pribadi serta keselamatan eskatologis yang juga bersifat pribadi. Berkat dialognya dengan ilmu-ilmu sosial, banyak orang Kristen—khususnya para pemikir-pemikirnya—mulai menyadari bahwa pemahaman yang demikian tidak memadahi lagi.
Sebagaimana diperlihatkan oleh ilmu sosiologi, kehidupan manusia itu tidak semata-mata bersifat individual tetapi juga bersifat sosial. Hal semacam itu terbukti dari fakta bahwa di sepanjang rentang kehidupannya manusia  secara konstan terlibat dalam interaksi dengan orang lain. Ketika lahir, manusia terlahir dalam sebuah keluarga dan menjalin hubungan dengan orang tuanya. Hubungan-hubungan sosial ini terus dilanjutkan dan semakin luas seiring dengan bertambahnya usia dan luasnya pergaulan hidup manusia. Ketika memasuki usia sekolah, manusia berhubungan secara sosial dengan teman-teman sekolahnya. Begitu juga ketika manusia memasuki dunia kerja dan selanjutnya masa pensiun. Bahkan ketika kematian menjemput, ia mampu mengundang orang lain untuk memberikan penghormatan terakhir. Fakta semacam itu pada gilirannya juga berdampak pada keber-iman-an seseorang.
Memang benar bahwa iman adalah suatu hal yang pribadi sifatnya. Iman merupakan tanggapan manusia atas wahyu Illahi.[1] Ia tumbuh dari suatu pengalaman religious personal antara orang beriman dengan Tuhan. Kendati demikian iman tidak melulu bersifat personal. Ia juga bersifat sosial dan kultural. Iman selalu dihayati dan dikembangkan dalam suatu komunitas dan budaya tertentu. Iman juga tidak pernah lepas dari ‘campur tangan’ komunitasnya. Sebab pengalaman religious tidak pernah dialami dalam kesendirian manusia. Pengalaman religious selalu dialami di dalam tradisi religious tertentu dan diungkapkan dalam bahasa-bahasa komunitasnya.[2] Konsekuensinya spritualitas pribadi tak bisa dilepaskan dari spiritualitas orang lain, dosa-dosa pribadi tak bisa dilepaskan dari dosa-dosa struktural, dan keselamatan pribadi tak dapat dilepaskan dari keselamatan keluarga umat manusia.
Kesadaran bahwa manusia adalah mahluk sosial dan bahwa sosialitas itu turut berjasa dalam membentuk keber-iman-an seseorang mempunyai dua konsekuensi bagi teologi. Pertama berbagai asumsi yang dulu diandaikan dan diterima begitu saja (taken for granted), kini semakin dipertanyakan baik pendasaran maupun relevansinya bagi masyarakat konkret. Kedua, kesadaran itu mendorong lahir dan berkembangnya teologi sosial.[3]

Teologi Sosial: Baru sekaligus Lama
Dilihat dari etimologi-nya, teologi berarti ilmu (logos) tentang Tuhan (theos). Meski demikian, secara luas, kini disadari bahwa pribadi Tuhan sendiri tidak pernah menjadi objek dari penyelidikan teologi. Jika pribadi Tuhan dijadikan sebagai objek penyelidikan teologi, maka akan terjadi suatu reifikasi (pembendaan) terhadap Tuhan sehingga merendahkan harkat dan martabat Tuhan sendiri. Oleh karena itu yang menjadi objek penyelidikan teologi bukan lagi Tuhan, tetapi penyataan atau wahyu Tuhan yang ditanggapi manusia melalui iman. Dari sini, teologi lantas bisa dipahami sebagai “suatu studi, yang melalui partisipasi dan refleksi dalam suatu komunitas iman, berusaha untuk mengekspresikan inti iman itu di dalam bahasa yang sejelas dan yang sesepadan mungkin.”[4]
Pemahaman akan teologi yang demikian itu, memperlihatkan bahwa berteologi akan selalu mempersyaratkan adanya iman.[5] Di dalam teologi, iman menjadi prasyarat yang tak bisa ditinggalkan. Karena itulah aspek pertama dari definisi di atas adalah partisipasi-refleksi. Teologi merupakan kegiatan yang terlibat (partisipatif), dalam pengertian ia harus bergumul (berrefleksi) di dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dari iman yang sudah ada itu. Di dalam teologi, iman hendak dipahami dan dinyatakan. Karena hakekat teologi yang demikian itu, maka teologi berbeda dengan ilmu-ilmu agama yang lain, seperti filsafat agama dan sejarah agama, yang tidak mempersyaratkan iman di dalam penyelidikan dan pengembangannya.
Meski teologi berpijak pada iman dan bergumul di dalam iman, teologi tidak bisa disamakan dengan iman.  Iman adalah jawaban bebas manusia—atas dasar rahmat—kepada wahyu Tuhan. Iman, tidak atau jarang mempersoalkan kebenaran yang diyakininya, sebab kebenaran itu bersifat fondasional, dalam arti tak bisa diganggu gugat, dan diyakini sebagai representasi dari kenyataan objektif ‘diluar sana’ Yang terutama bukan benar atau tidaknya keyakinan iman, tetapi pengakuan terhadap iman itu  dan kemudian mengekspresikan dalam kehidupan sehari-hari.[6] Teologi pada dasarnya juga merupakan ekspresi iman, cuma saja ekspresi iman yang ada di dalam teologi mengambil arah yang berbeda. Di dalam teologi, iman di bawa ke tataran ilmu—sehingga teologi juga disebut sebagai ilmu iman—dan dirumuskan dalam suatu pemikiran (thought). Hal ini pada gilirannya menjadikan teologi tidak berbeda dengan ilmu-ilmu yang lainnya.
Ketidakberbedaan antara teologi dan ilmu-ilmu lainnya itu, telah menjebak teologi klasik atau teologi tradisional, untuk melihat dirinya sebagai sejenis ilmu pengetahuan yang objektif tentang iman. Teologi dipahami sebagai “sebuah refleksi dalam iman menyangkut dua loci theologici (sumber teologi), yakni Kitab Suci dan tradisi, yang isinya tidak bisa dan tidak pernah berubah, dan berada di atas kebudayaan serta ungkapan yang dikondisikan secara historis.”[7] Dengan pemahaman semacam ini, teologi klasik melihat dirinya sebagai ilmu pengetahuan yang objektif dan universal.  Akan tetapi, pemahaman yang semacam itu, kini, telah bangkrut. Ada dua alasan yang bisa diberikan, pertama terkait dengan objektifitas teologi dan yang kedua terkait dengan universalitas teologi.

1.       Keraguan terhadap objektifitas teologi muncul seiring dengan terjadinya revolusi dalam cara berpikir dan memahami dunia, yang dicirikan sebagai kembali ke subjek. Revolusi ini semakin menyadari kenyataan bahwa manusia yang berpikir dan memahami dunia adalah mahluk yang terikat secara kultural dan historis. Mahluk semacam ini tidak pernah bisa berpikir secara objektif, dalam arti bebas nilai dan bebas budaya. Ketika manusia mencoba untuk memikirkan dan memahami dunia, maka pemikiran dan pemahaman itu akan sangat dipengaruhi oleh budaya dan periode historis di mana manusia itu berada. Contoh konkret dari hal ini dapat kita lihat ketika kita membandingkan orang Amerika dan Indonesia ketika melihat padi. Orang Amerika menyebut rice untuk padi, entah itu padi yang hendak dituai, sedang dijemur atau yang sudah ditanak dan dihidangkan di atas meja makan. Orang Indonesia menyebut padi hanya untuk bulir-bulir padi, entah yang masih berada pohon padi (jerami) maupun yang sudah dituai tapi belum digiling. Sementara untuk padi yang sudah digiling, disebut beras dan padi yang ditanak dan dihidangkan di meja makan disebut nasi.

2.       Universalitas teologi juga akan runtuh ketika kita memahami aspek kedua dari definisi teologi yang telah dirumuskan di atas, yaitu dimensi ekspresi. Definisi diatas menyatakan bahwa teologi “berusaha untuk mengekspresikan inti iman itu di dalam bahasa yang sejelas dan yang sesepadan mungkin.” Ketika iman berkembang dalam teologi, maka iman berkembang dalam lingkup manusiawi, dengan menggunakan daya-daya manusiawi, dan menerima sifat-sifat manusiawi seperti antara lain kelahiriahan, ruang dan waktu.[8] Karenanya ketika teologi hendak merumuskan kebenaran iman dalam suatu pandangan, maka pandangan tersebut perlu diekspresikan dalam bahasa yang jelas dan yang sepadan yang tersedia. Ketika hal ini terjadi, maka teologi tidak lagi sebatas pada pemikiran teoritis transcendental, tetapi sekaligus juga mengandung aspek dan sifat historis, praktis dan kontekstual.[9]

Kedua argumen di atas tidak saja menggoyang kemapanan teologi klasik, tetapi juga memperlihatkan bahwa sudah sedari awal teologi adalah teologi sosial. Teologi sosial bukan merupakan bagian atau cabang dari teologi tertentu.[10] Ia juga tidak menunjuk pada teologi tentang kehidupan sosial atau masyarakat. Teologi sosial menunjuk pada teologi itu sendiri.[11]
Berteologi merupakan tugas penting dari setiap umat beriman. Kegiatan itu tidak hanya berfungsi kritis untuk mengarahkan seluruh lapangan pengalaman orang beriman untuk kembali ke horizon yang mutlak (Tuhan), tetapi juga sangat menentukan ketika orang-orang beriman ingin mengungkapkan kesaksiannya tentang injil di tengah-tengah situasi dunianya yang konkret.[12] Ketika umat beriman menghayati dan mengembangkan suatu teologi, ia melakukannya bukan sebatas pada sifat individualitasnya, tetapi juga mencakup sifat sosialitasnya. Teologi selalu dikerjakan dalam kerangka komunitas atau persekutuan hidup beriman. Oleh karena itu, teologi apapun pada ujung-ujungnya akan selalu mempunyai aspek, sifat, orientasi dan arah dasar yang sosial pula.[13]
Ketika semua teologi adalah teologi sosial, maka teologi sosial sesungguhnya merupakan teologi yang sangat tradisional. Teologi ini telah dijalankan oleh umat beriman pada zaman Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Berbagai penyelidikan terhadap Alkitab yang kontemporer, berhasil memperlihatkan bahwa di dalam Alkitab tidak hanya terdapat satu teologi, namun banyak teologi. Di Perjanjian Lama kita bisa menjumpai teologi, seperti teologi Yahwist, Teologi Elohist, Teologi Priestly, Teologi Deuteronomy, teologi para nabi dan teologi-teologi para bijak Israel. Di Perjanjian Baru, kita bisa menemukan teologi Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Paulus dll. Teologi-teologi itu semuanya berbeda-beda. Bahkan tidak sedikit dari teologi-teologi itu yang saling menegasikan. Teologi-teologi itu mencerminkan jaman dan dunia sosial yang berbeda-beda serta perhatian dan keprihatinan yang berbeda-beda pula. 
Hal yang sama juga berlaku bagi setiap teologi yang dikembangkan oleh umat beriman pasca zaman Alkitab. Setelah era kitab suci, kita bisa melihat bahwa umat beriman berusaha menjelaskan imannya dalam bahasa dan kebudayaan yang dominan dan berlaku umum di dunia sosialnya. Klemens dari Aleksandria misalnya, menggunakan wawasan-wawasan dari kaum Stoik, Origenes menggunakan pemikiran Plato, dan Agustinus sangat kuat dipengaruhi baik oleh Plato maupun oleh kaum neo-Platonis pada zamannya. Para uskup diperlakukan sebagai anggota istana kerajaan,mengenakan pakaian yang menandingi busana kaisar, dan memimpin divisi-divisi politik kekaisaran yang disebut keuskupan. Konsili-konsili perdana yang diselenggarakan Gereja menggunakan istilah-istilah dari bahasa Yunani untuk mengungkapkan hal-hal tertentu dari iman Kristen. Pada abad pertengahan, Thomas Aquinas memanfaatkan karya-karya Aristoteles yang baru ditemukan sebagai wahana untuk memformulasikan teologinya. Ketika zaman modern mulai merekah, Martin Luther tampil dengan formula sola fide, sola Scriptura dan Sola Gratia. Formula itu sangat selaras dengan suasana zaman itu dan karena itu disambut dengan hangat oleh manusia-manusia pada zaman itu. Dan masih banyak contoh lain yang bisa diangkat untuk menunjukkan bahwa teologi sosial merupakan teologi yang sangat tradisional.
Teologi Sosial bukan saja tradisional, tetapi juga sesuatu yang baru. Istilah teologi sosial baru muncul dalam literatur-literatur teologi, baik Katolik maupun Protestan di Prancis, Amerika Utara dan Jerman pada tahun 1895,[14] sebagai pengembangan lebih lanjut dari apa yang semula disebut dengan etika sosial Kristen. Teologi sosial semakin mendapat tempat ketika sejak decade 1970-an berbagai bentuk teologi kontekstual dijadikan sebagai primadona di dalam pengembangan teologi. Ketika digunakan untuk pertama kalinya, teologi sosial dikembangkan sebagai usaha untuk memahami dan memecahkan berbagai masalah sosial yang ada di masyarakat dalam terang Injil atau pengajaran Kristen secara utuh dan menyeluruh.[15] Pemahaman yang demikian masih berlanjut hingga kini.[16]
Apa yang baru di dalam teologi sosial tidak sebatas pada istilah yang baru dipakai pada tahun 1895 dan popularitasnya pada decade 1970-an. Lebih penting dari itu, kebaruan teologi sosial terletak pada keinginannya untuk mentransformasi kehidupan sosial. Sebagai yang demikian itu teologi sosial, sangat mengedepankan aspek praksis. Kata “praksis” merupakan istilah teknis yang berakar pada pemikiran marxisme, Mazhab Frankfrut dan filsafat pendidikan Paulo Freire. Kata tersebut dipinjam oleh teologi Sosial untuk menunjuk pada suatu cara berteologi yang dilakukan bukan semata-mata untuk menyediakan berbagai ungkapan yang relevan bagi iman Kristen, namun terutama oleh komitmen pada suatu tindakan Kristen. Para teolog yang berkecimpung dalam teologi sosial berkeyakinan bahwa teologi menemukan pemenuhannya bukan melulu pada “pemikiran yang benar” (orto-doxy) melainkan terutama dalam “tindakan yang benar” (orto-praxy). Keyakinan semacam itu menggemakan kembali pemikiran Karl Marx bahwa “kebenaran tidak terletak pada bidang ide-ide atau teori, namun dalam tindakan.”[17] Bersandar pada keyakinan semacam itu, teologi sosial lantas dipahami sebagai produk dari dialog yang berkesinambungan antara ortodoksi dan ortopraksi. Dalam kata-kata Paulo Freire, teologi semacam itu merupakan teologi yang dibangun berdasarkan “aksi dengan refleksi.”[18] Ia mengadakan refleksi atas aksi dan mengadakan aksi atas refleksi. Keduanya berdialektik dan membentuk “spiral pelayanan kaum beriman.”[19] Para praktisi teologi sosial yakin bahwa dalam gagasan tentang praksis ini mereka telah menemukan sebuah cara berteologi yang baru lagi mendasar, sebuah cara, yang lebih dari semua cara lainnya, mampu menggubris secara memadai pengalaman masa lampau (Injil, tradisi), serta pengalaman masa kini (pengalaman manusia, kebudayaan,lokasi sosial dan perubahan sosial).

Teologi Sosial Kritis: Keprihatianan dan wilayah kerjanya
Sebagai sebuah cara berteologi yang beroperasi di tiga loci maka pengembangan teologi sosial mempersyaratkan sebuah kompetensi baru: pemahaman yang memadahi terhadap tatanan sosial/ kemasyarakatan. Kompetensi semacam ini sering disebut dengan analisis sosial. Analisis sosial dapat didefinisikan sebagai usaha untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang sebuah situasi sosial lewat mempelajari struktur sosial yang ada dan mendalami berbagai institusi sosial yang ada di dalamnya.
Ilmu-ilmu sosial mengenal banyak cara dan perspektif dalam melakukan analisis sosial. Cara dan persepktif itu semuanya bersifat relative, sebab tidak ada tempat berdiri yang mutlak. Ketika seseorang memakai salah satu cara dan perspektif analisis sosial, sudah tentu ia punya alasan tersendiri. Pun demikian halnya dengan teologi sosial. Ketika teologi sosial memanfaatkan analisis sosial, analisis itu senantiasa didedikasikan untuk mentransformasikan kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi. Untuk kepentingan tersebut, analisis sosial yang dikembangkan oleh mazhab Frankfrut merupakan perspektif yang sangat berguna.
Mazhab Frankfrut merupakan salah satu aliran di dalam ilmu-ilmu sosial yang didirikan di Institut fur Sozialforschung di Frankfurt, German pada akhir tahun 1920-an dan awal tahun 1930-an. Teori-teori sosial yang dihasilkan oleh Mazhab ini dikenal dengan nama teori kritis. Para teoritisi Mazhab Frankfrut atau teori kritis, sangat berhutang pada Karl Marx namun bergerak jauh melampaui Marx. Sama seperti Karl Marx, Mazhab Frankfrut juga berusaha untuk menemukan penyebab dari dehumanisasi. Jika Karl Marx hanya melihat sumber tersebut pada struktur ekonomi, maka mazhab Frankfrut bergerak lebih jauh. Bagi mazhab Frankfrut dehumanisasi tidak hanya terletak pada struktur ekonomi, tetapi juga terletak pada kebudayaan dan ideology (system kepercayaan). Salah satu kekuatan dari mazhab Frankfrut adalah bahwa ia menganalisa masyarakat dari perspektif para korbannya.
Teologi sosial yang berdialog dengan teori Kritis itu disebut disebut sebagai teologi sosial kritis. Teologi ini mempunyai tugas utama untuk melihat berbagai konsekuensi structural dari tindakan-tindakan keagamaan, menilai mereka dalam terang pengajaran gereja yang normative dan mengarahkan kembali kehadiran gereja di tengah-tengah dunia sosial yang konkret sehingga kehadirannya semakin sesuai dengan kehendak Tuhan.[20]  Sebagai langkah awal bagi pelaksanaan tugas tersebut, teologi sosial kritis  berupaya untuk menerapkan berbagai teori tentang alienasi terhadap pemahaman iman gereja. Belajar dari teori-teori sosial dan berbagai kritik agamawi, para teolog akan dibantu untuk dapat memahami kecenderungan-kecenderungan yang ideologis dan pathologis dalam tradisi agamawi mereka sendiri dan juga dalam masyarakat sehingga dapat mengaktualisasikan Injil sebagai kabar baik yang membebaskan dan mendamaikan di tengah-tengah kehidupan sosial.[21], 
Teologi sosial kritis mempunyai tiga area kerja:[22]

1.      Kritik Ideologi

Teologi sosial Kritis mempunyai asumsi dasar bahwa ‘banyak masalah di dalam masyarakat timbul karena adanya hubungan yang dicirikan oleh hubungan dominasi antara yang kuat terhadap yang lemah.   Dalam melihat berbagai persoalan yang dicirikan oleh hubungan yang bersifat dominative itu, teologi sosial tidak hanya berhenti pada apa yang kelihatan (manifest), namun bergerak lebih jauh dengan menyingkapkan apa-apa yang tidak kelihatan (laten) yang disebut dengan dimensi ideologis. Oleh teologi sosial, dimensi ideologis yang mendasari setiap hubungan yang dominative itu diangkat kepermukaan untuk dikritik dengan tujuan agar memampukan pihak yang didominasi itu tiba pada kesadaran/pencerahan dan dengan demikian berjuang untuk membebaskan dirinya dari hubungan yang bersifat dominasi tersebut. Itulah sebabnya ciri utama dari teori kritis adalah ‘kritik ideologi’ yakni usaha untuk menelanjangi berbagai bentuk kesadaran atau cara berpikir yang distortif atau membodohi atau menipu.

2.      Pengharapan Utopia
Dalam rangka melakukan kritik ideologi, teologi sosial terus mengembangkan berbagai pemikiran teologi dengan berdialog dengan para pemikir teori kritis. Dalam dialog tersebut mereka mendapatkan wawasan yang sangat berharga dari Ernst Bloch dan Karl Manheim. Dari kedua orang itu, teologi sosial belajar tentang arti penting dari pengharapan utopia.[23]
Dari Bloch, teologi sosial kritis belajar tentang dua jenis utopia, yaitu utopia yang konkrit dan yang abstrak. Utopia abstrak juga disebut utopia peyoratif adalah sebuah jenis pengharapan yang membuat manusia menjadi pasif dan hanya menunggu saja pemenuhan dari apa yang ia harapkan. Teologi sosial kritis, menolak utopia semacam ini. Sebab utopia abstrak ini membuat manusia terlena dengan keadaannya (bersikap menerima, menyetujui dan mempertahankan keadaan walau sangat sulit), kehilangan kepekaan terhadap dunia sekitar, dan hilang kepedulian. Orang-orang seperti ini kemudian menjadi tidak kritis karena tidak merasa perlu memberikan sumbangsih bagi keadaan dunia sekarang.Teologi sosial kritis memilih utopia konkrit atau praksis, yaitu suatu pengharapan yang memberikan daya dorong bagi manusia untuk bertindak dalam mewujudkan apa yang diharapkan di dalam kehidupan kekinian. Utopia konkrit akan membuat manusia untuk terlibat aktif ditengah dunianya, punya kepekaan dalam memandang sesuatu dan kemudian membangun sikap kritis untuk memberikan sumbangan bagi dunia/ masyarakat di mana dia hadir. Sementara itu, dari Mannheim, teologi sosial belajar tentang pentingnya kesadaran utopis. Menurut Manheim, kesadaran utopis akan membuat manusia sensitif terhadap system masa kini yang tak manusiawi dan menumbuhkan dalam diri mereka suatu kerinduan akan masyarakat baru yang lebih manusiawi.

Para teolog sosial kemudian menerapkan gagasan Bloch dan Mannheim itu pada pengharapan eskatologis dalam kekristenan didasarkan pada pemberitaan Tuhan Yesus tentang Kerajaan Allah. Gregory Baum, salah seorang teolog sosial yang berdialog dengan Bloch dan Manheim, memahami Kerajaan Allah sebagai sebuah utopia yang dinyatakan. Menurutnya, amanat kerajaan Allah yang sebagian sudah hadir di antara kita menawarkan sebuah visi tentang kehidupan masa depan. Di masa depan, manusia akan hidup dalam keadilan dan kedamaian, menyatu dalam persahabatan dan penyembahan bersama kepada Tuhan. Kerajaan Allah tidak dibayangkan sebagai penaklukan oleh sebuah dunia superior tetapi sebagai penyelesaian dari kebebasan yang segera dimulai. Kerajaan Allah merupakan perwujudan yang nampak dari anugerah Allah yang sekarang berpengaruh dalam upaya orang-orang untuk menciptakan persaudaraan dalam masyarakat.

3.      Praksis Pembebasan
Gagasan tentang Kerajaan Allah yang ditafsirkan dalam kerangka utopia konkrit tersebut kemudian mendorong para teolog sosial kritis untuk senantiasa bersikap kritis terhadap berbagai institusi yang ada sekarang ini demi sebuah pengharapan untuk memperoleh kehidupan sosial yang lebih adil dan sederajad. Amanat sorgawi ini mendorong mereka untuk melakukan sebuah praksis pembebasan masyarakat. Bagi para teolog sosial kritis, amanat sorgawi itu merupakan kekuatan penggerak sejarah demi mengubah realitas masa kini menuju kepada apa yang diharapkan. Para teolog sosial kritis percaya bahwa pengharapan eskatologis itu, tak akan pernah sempurna kalau hanya dilakukan oleh manusia saja. Jika hanya mengandalkan  manusia,. Praksis pembebasan itu tak akan bertahan lama. praksis tersebut akan dihadang oleh keputusasaan. Supaya keputusasaan tidak menghadang manusia, teolog sosial kritis menyandarkan praksisnya pada janji Tuhan. Sebab hanya bersandar kepada janji Tuhan sajalah manusia bisa bertahan dalam praksis transformasi sosial.





[1] Pemahaman akan iman yang semacam ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman Kristen
[2] Bdk. Nico Syukur Diester,Pengantar Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991) 31
[3] Baskara T. Wardaya, Spiritualitas pembebasan: refleksi atas iman Kristiani dan praksis pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 16
[4] John Macquarrie, Principles of Christian Theology (London: SCM Press), p. 1-3
[5] Orang yang tak beriman, memang bisa berteologi, dalam arti melakukan penyelidikan dan mengeksplisitkan arti yang objektif dari wahyu. Hal ini dimungkinkan karena di satu pihak wahyu diberikan kepada manusia lewat tanda-tanda dan pernyataan-pernyataan manusiawi yang objektif (wahyu umum), dan di lain pihak di dalam diri setiap orang, secara apriori, ada keterbukaan asasi dan konstitutif terhadap wahyu. Dalam berteologi, orang yang tidak beriman mendasarkan teologinya pada assensus fidei (gema iman) yang potensial (hipotetis). Konsekuensinya, orang yang tak beriman, dalam pemikirannya tidak akan dapat memahami objek teologi secara penuh.  Bahwa orang yang tidak beriman bisa berteologi, lih. Soegeng Hardiyanto, Pengantar Ke Teologi Lambaran (Salatiga: Fakultas Teologi dan PPSAM UKSW, 1998),  p. 40
[6] Nico Syukur-Diester, Pengantar Teologi p. 69; Sebenarnya  Syukur-Diester memahami iman Kristen adalah iman yang kritis dalam arti iman Kristen mendorong dan merangsang umat untuk mengetahui dan dan mengerti apa yang telah kita percayai. Dan seluruh tugas teologi adalah untuk mengetahui apa yang diimani.  Dengan ini Syukur-Diester ingin menyatakan bahwa iman dan teologi saling berkaitan. Lih. P. 146-147.  Akan tetapi, ketika pengetahuan dan pengertian yang dicari oleh iman itu dirumuskan teologi, ia tidak bisa disebut lagi sebagai pengetahuan atau pengertian iman, tetapi pengetahuan dan pengertian teologi, sehingga ketika pengetahuan dan pengertian teologi ini, suatu ketika keliru atau dinyatakan keliru tidak berarti apa yang diyakini oleh iman menjadi keliru juga.
[7] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual  (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006)
[8] Soegeng Hardiyanto,  Pengantar Ke Teologi Lambaran (Salatiga: Fakultas Teologi dan PPSAM UKSW, 1998), 37
[9] Soegeng Hardiyanto, Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan Sumbangsih Gereja-gereja di Barat terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia, (Salatiga: Widya Sari Press, 2004),
[10] Banawiratma & Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Kanisius, 1993),  25
[11]Bdk. Pendapat Banawiratma dan Muller yang membedakan teologi sosial dalam dua pengertian: luas dan sempit.  Dalam pengertian yang luas teologi sosial disamakan dengan teologi kontekstual atau teologi fundamental. Sedangkan teologi sosial dalam pengertian sempit diartikannya sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-masalah masyarakat,
[12] Ibid.
[13] Ibid. lih. Juga Banawiratma dan Johanes Muller, p. 26
[14] Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan Sumbangsih Gereja-gereja di Barat terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia, (Salatiga: Widya Sari Press, 2004)
[15] Ibid.
[16] Lih. Misalnya definisi yang dibuat oleh Banawiratma dan Muller yang menyatakan: “Teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-masalah masyarakat”
[18] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas,(Jakarta:  LP3ES,  1985)
[19]Banawiratma, “Analisis Sosial dan Pembebasan: Refleksi Teologis” dalam Banawiratma (ed), Kemiskinan dan Pembebasam, (Yogyakarta: Kanisius, 1987)
[20] Gregory Baum,  Religion and Alienation (New York: Paulist Press,1975), 194
[21] Ibid,
[22] Daniel Nuhamara, “Kritik, Utopia dan Praksis Pembebasan Unsur-Unsur dalam Berteologi Sosial Transformatif” dalam Jurnal KRITIS vol XVI no. 3 2004, 326-343
[23] Kata Utopia berasal dari bahasa Yunani “ού” yang berarti tidak dan  “τόπος” yang berarti daerah atau tempat. Penggunaan paling modern mengasumsikan istilah "Utopia" sebagai tempat yang sempurna dan bukan tempat yang mengandung arti ketiadaan. Dari kata dasar tersebut, utopia lantas dipahami sebagai sebuah masyarakat hipotetis yang sempurna.  Dia juga digunakan untuk menggambarkan komunitas nyata yang didirikan dalam usaha menciptakan masyarakat di atas. Kata sifat utopis digunakan untuk merujuk ke sebuah proposal yang baik namun (secara fisik, sosial, ekonomi, atau politik) tidak mungkin terjadi, atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan. . Lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Utopia diakses 25 Maret 2010.  Istilah Utopia ini kemudian menjadi nama sebuah masyarakat ideal, diambil dari judul buku yang ditulis tahun 1516 oleh Sir Thomas More menjelaskan tentang sebuah pulau fiksi di samudera atlantik, memiliki sistem hukum sosial politik sempurna. Istilah ini dipakai untuk menyatakan sebuah masyarakat yang berusaha menciptakan masyarakat ideal, dan masyarakat fiksi dalam sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar