Teologi Sosial
Kritis
Oleh: Chlaodhius
Budhianto
Sampai beberapa waktu yang lalu,
pesan dan ajaran kristen lebih banyak di dominasi oleh hal-hal yang sifatnya
pribadi: berurusan dengan spiritualitas pribadi, dosa-dosa yang bersifat
pribadi serta keselamatan eskatologis yang juga bersifat pribadi. Berkat
dialognya dengan ilmu-ilmu sosial, banyak orang Kristen—khususnya para
pemikir-pemikirnya—mulai menyadari bahwa pemahaman yang demikian tidak memadahi
lagi.
Sebagaimana diperlihatkan oleh
ilmu sosiologi, kehidupan manusia itu tidak semata-mata bersifat individual
tetapi juga bersifat sosial. Hal semacam itu terbukti dari fakta bahwa di sepanjang rentang kehidupannya
manusia secara konstan terlibat dalam
interaksi dengan orang lain. Ketika lahir, manusia terlahir dalam sebuah
keluarga dan menjalin hubungan dengan orang tuanya. Hubungan-hubungan sosial
ini terus dilanjutkan dan semakin luas seiring dengan bertambahnya usia dan
luasnya pergaulan hidup manusia. Ketika memasuki usia sekolah, manusia berhubungan
secara sosial dengan teman-teman sekolahnya. Begitu juga ketika manusia
memasuki dunia kerja dan selanjutnya masa pensiun. Bahkan ketika kematian
menjemput, ia mampu “mengundang” orang lain untuk memberikan penghormatan
terakhir. Fakta semacam itu pada gilirannya juga berdampak pada
keber-iman-an seseorang.
Memang benar bahwa iman adalah
suatu hal yang pribadi sifatnya. Iman merupakan tanggapan manusia atas wahyu
Illahi.[1]
Ia tumbuh dari suatu pengalaman religious personal antara orang beriman dengan
Tuhan. Kendati demikian iman tidak melulu bersifat personal. Ia juga bersifat sosial
dan kultural. Iman selalu dihayati dan dikembangkan dalam suatu komunitas dan
budaya tertentu. Iman juga tidak pernah lepas dari ‘campur tangan’
komunitasnya. Sebab pengalaman religious tidak pernah dialami dalam kesendirian
manusia. Pengalaman religious selalu dialami di dalam tradisi religious
tertentu dan diungkapkan dalam bahasa-bahasa komunitasnya.[2]
Konsekuensinya spritualitas pribadi tak bisa dilepaskan dari spiritualitas
orang lain, dosa-dosa pribadi tak bisa dilepaskan dari dosa-dosa struktural,
dan keselamatan pribadi tak dapat dilepaskan dari keselamatan keluarga umat
manusia.
Kesadaran bahwa manusia adalah
mahluk sosial dan bahwa sosialitas itu turut berjasa dalam membentuk
keber-iman-an seseorang mempunyai dua konsekuensi bagi teologi. Pertama berbagai asumsi yang dulu
diandaikan dan diterima begitu saja (taken
for granted), kini semakin dipertanyakan baik pendasaran maupun
relevansinya bagi masyarakat konkret. Kedua,
kesadaran itu mendorong lahir dan berkembangnya teologi sosial.[3]
Teologi Sosial: Baru
sekaligus Lama
Dilihat dari etimologi-nya, teologi berarti
ilmu (logos) tentang Tuhan (theos). Meski demikian, secara luas, kini
disadari bahwa pribadi Tuhan sendiri tidak pernah menjadi objek dari
penyelidikan teologi. Jika pribadi Tuhan dijadikan sebagai objek penyelidikan
teologi, maka akan terjadi suatu reifikasi
(pembendaan) terhadap Tuhan sehingga merendahkan harkat dan martabat Tuhan
sendiri. Oleh karena itu yang menjadi objek penyelidikan teologi bukan lagi Tuhan, tetapi penyataan atau wahyu Tuhan yang ditanggapi
manusia melalui iman. Dari sini, teologi lantas bisa dipahami sebagai “suatu
studi, yang melalui partisipasi dan refleksi dalam suatu komunitas iman,
berusaha untuk mengekspresikan inti iman itu di dalam bahasa yang sejelas dan
yang sesepadan mungkin.”[4]
Pemahaman
akan teologi yang demikian itu, memperlihatkan bahwa berteologi akan selalu
mempersyaratkan adanya iman.[5]
Di dalam teologi, iman menjadi prasyarat yang tak bisa ditinggalkan. Karena
itulah aspek pertama dari definisi di atas adalah partisipasi-refleksi. Teologi
merupakan kegiatan yang terlibat (partisipatif), dalam pengertian ia harus
bergumul (berrefleksi)
di dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dari iman yang sudah ada itu.
Di dalam teologi, iman hendak dipahami dan dinyatakan. Karena hakekat teologi
yang demikian itu, maka teologi berbeda dengan ilmu-ilmu agama yang lain,
seperti filsafat agama dan sejarah agama, yang tidak mempersyaratkan iman di
dalam penyelidikan dan pengembangannya.
Meski
teologi berpijak pada iman dan bergumul di dalam iman, teologi tidak bisa
disamakan dengan iman. Iman adalah
jawaban bebas manusia—atas dasar rahmat—kepada wahyu Tuhan. Iman, tidak atau
jarang mempersoalkan kebenaran yang diyakininya, sebab kebenaran itu bersifat
fondasional, dalam arti tak bisa diganggu gugat, dan diyakini sebagai
representasi dari kenyataan objektif ‘diluar sana’ Yang terutama bukan benar
atau tidaknya keyakinan iman, tetapi pengakuan terhadap iman itu dan kemudian mengekspresikan dalam kehidupan
sehari-hari.[6] Teologi
pada dasarnya juga merupakan ekspresi iman, cuma saja ekspresi iman yang ada di
dalam teologi mengambil arah yang berbeda. Di dalam teologi, iman di bawa ke
tataran ilmu—sehingga teologi juga disebut sebagai ilmu iman—dan dirumuskan
dalam suatu pemikiran (thought). Hal
ini pada gilirannya menjadikan teologi tidak berbeda dengan ilmu-ilmu yang
lainnya.
Ketidakberbedaan
antara teologi dan ilmu-ilmu lainnya itu, telah menjebak teologi klasik atau
teologi tradisional, untuk melihat dirinya sebagai sejenis ilmu pengetahuan
yang objektif tentang iman. Teologi dipahami sebagai “sebuah refleksi dalam
iman menyangkut dua loci theologici (sumber
teologi), yakni Kitab Suci dan tradisi, yang isinya tidak bisa dan tidak pernah
berubah, dan berada di atas kebudayaan serta ungkapan yang dikondisikan secara
historis.”[7]
Dengan pemahaman semacam ini, teologi klasik melihat dirinya sebagai ilmu
pengetahuan yang objektif dan universal. Akan tetapi,
pemahaman yang semacam itu, kini, telah bangkrut. Ada dua alasan yang bisa
diberikan, pertama terkait dengan objektifitas teologi dan yang kedua terkait
dengan universalitas teologi.
1.
Keraguan terhadap objektifitas teologi muncul
seiring dengan terjadinya revolusi dalam cara berpikir dan memahami dunia, yang
dicirikan sebagai kembali ke subjek. Revolusi ini semakin menyadari kenyataan
bahwa manusia yang berpikir dan memahami dunia adalah mahluk yang terikat
secara kultural dan historis. Mahluk semacam ini tidak pernah bisa berpikir
secara objektif, dalam arti bebas nilai dan bebas budaya. Ketika manusia
mencoba untuk memikirkan dan memahami dunia, maka pemikiran dan pemahaman itu
akan sangat dipengaruhi oleh budaya dan periode historis di mana manusia itu
berada. Contoh konkret dari hal ini dapat kita lihat ketika kita membandingkan
orang Amerika dan Indonesia
ketika melihat padi. Orang Amerika menyebut rice
untuk padi, entah itu padi yang hendak dituai, sedang dijemur atau yang sudah
ditanak dan dihidangkan di atas meja makan. Orang Indonesia menyebut padi hanya untuk bulir-bulir
padi, entah yang masih berada pohon padi (jerami) maupun yang sudah dituai tapi
belum digiling. Sementara untuk padi yang sudah digiling, disebut beras dan
padi yang ditanak dan dihidangkan di meja makan disebut nasi.
2. Universalitas
teologi juga akan runtuh ketika kita memahami aspek kedua dari definisi teologi
yang telah dirumuskan
di atas, yaitu dimensi ekspresi. Definisi diatas menyatakan bahwa teologi
“berusaha untuk mengekspresikan inti iman itu di dalam bahasa yang sejelas dan
yang sesepadan mungkin.” Ketika iman berkembang dalam teologi, maka iman
berkembang dalam lingkup manusiawi, dengan menggunakan daya-daya manusiawi, dan
menerima sifat-sifat manusiawi seperti antara lain kelahiriahan, ruang dan
waktu.[8]
Karenanya ketika teologi hendak merumuskan kebenaran iman dalam suatu
pandangan, maka pandangan tersebut perlu diekspresikan dalam bahasa yang jelas
dan yang sepadan yang tersedia. Ketika hal ini terjadi, maka teologi tidak lagi sebatas pada pemikiran
teoritis transcendental, tetapi sekaligus juga mengandung aspek dan sifat
historis, praktis dan kontekstual.[9]
Kedua argumen di atas tidak saja menggoyang kemapanan teologi klasik,
tetapi juga memperlihatkan bahwa sudah sedari awal teologi adalah teologi sosial.
Teologi sosial bukan merupakan bagian atau cabang dari teologi tertentu.[10]
Ia juga tidak menunjuk pada teologi tentang kehidupan sosial atau masyarakat. Teologi
sosial menunjuk pada teologi itu sendiri.[11]
Berteologi merupakan tugas penting dari setiap umat beriman. Kegiatan
itu tidak hanya berfungsi kritis untuk mengarahkan seluruh lapangan pengalaman
orang beriman untuk kembali ke horizon yang mutlak (Tuhan), tetapi juga sangat
menentukan ketika orang-orang beriman ingin mengungkapkan kesaksiannya tentang
injil di tengah-tengah situasi dunianya yang konkret.[12]
Ketika umat beriman menghayati dan mengembangkan suatu teologi, ia melakukannya
bukan sebatas pada sifat individualitasnya, tetapi juga mencakup sifat
sosialitasnya. Teologi selalu dikerjakan dalam kerangka komunitas atau
persekutuan hidup beriman. Oleh karena itu, teologi apapun pada ujung-ujungnya
akan selalu mempunyai aspek, sifat, orientasi dan arah dasar yang sosial pula.[13]
Ketika semua teologi adalah teologi sosial, maka teologi sosial
sesungguhnya merupakan teologi yang sangat tradisional. Teologi ini telah
dijalankan oleh umat beriman pada zaman Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian
Baru. Berbagai penyelidikan terhadap Alkitab yang kontemporer, berhasil
memperlihatkan bahwa di dalam Alkitab tidak hanya terdapat satu teologi, namun banyak
teologi. Di Perjanjian Lama kita bisa menjumpai teologi, seperti teologi
Yahwist, Teologi Elohist, Teologi Priestly, Teologi Deuteronomy, teologi para
nabi dan teologi-teologi para bijak Israel. Di Perjanjian Baru, kita bisa
menemukan teologi Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Paulus dll. Teologi-teologi
itu semuanya berbeda-beda. Bahkan tidak sedikit dari teologi-teologi itu yang
saling menegasikan. Teologi-teologi itu mencerminkan jaman dan dunia sosial
yang berbeda-beda serta perhatian dan keprihatinan yang berbeda-beda pula.
Hal yang sama juga berlaku bagi setiap teologi yang dikembangkan oleh
umat beriman pasca zaman Alkitab. Setelah era kitab suci, kita bisa melihat
bahwa umat beriman berusaha menjelaskan imannya dalam bahasa dan kebudayaan
yang dominan dan berlaku umum di dunia sosialnya. Klemens dari Aleksandria
misalnya, menggunakan wawasan-wawasan dari kaum Stoik, Origenes menggunakan pemikiran
Plato, dan Agustinus sangat kuat dipengaruhi baik oleh Plato maupun oleh kaum neo-Platonis
pada zamannya. Para uskup diperlakukan sebagai anggota istana
kerajaan,mengenakan pakaian yang menandingi busana kaisar, dan memimpin
divisi-divisi politik kekaisaran yang disebut keuskupan. Konsili-konsili
perdana yang diselenggarakan Gereja menggunakan istilah-istilah dari bahasa Yunani
untuk mengungkapkan hal-hal tertentu dari iman Kristen. Pada abad pertengahan, Thomas
Aquinas memanfaatkan karya-karya Aristoteles yang baru ditemukan sebagai wahana
untuk memformulasikan teologinya. Ketika zaman modern mulai merekah, Martin
Luther tampil dengan formula sola fide,
sola Scriptura dan Sola Gratia. Formula
itu sangat selaras dengan suasana zaman itu dan karena itu disambut dengan
hangat oleh manusia-manusia pada zaman itu. Dan masih banyak contoh lain yang
bisa diangkat untuk menunjukkan bahwa teologi sosial merupakan teologi yang
sangat tradisional.
Teologi Sosial bukan saja tradisional, tetapi juga sesuatu yang baru. Istilah
teologi sosial baru muncul dalam literatur-literatur teologi, baik Katolik
maupun Protestan di Prancis, Amerika Utara dan Jerman pada tahun 1895,[14] sebagai
pengembangan lebih lanjut dari apa yang semula disebut dengan etika sosial
Kristen. Teologi sosial semakin mendapat tempat ketika sejak decade 1970-an berbagai
bentuk teologi kontekstual dijadikan sebagai primadona di dalam pengembangan
teologi. Ketika digunakan untuk pertama kalinya, teologi sosial dikembangkan
sebagai usaha untuk memahami dan memecahkan berbagai masalah sosial yang ada di
masyarakat dalam terang Injil atau pengajaran Kristen secara utuh dan
menyeluruh.[15] Pemahaman yang demikian
masih berlanjut hingga kini.[16]
Apa yang baru di dalam teologi sosial tidak sebatas pada istilah yang
baru dipakai pada tahun 1895 dan popularitasnya pada decade 1970-an. Lebih
penting dari itu, kebaruan teologi sosial terletak pada keinginannya untuk
mentransformasi kehidupan sosial. Sebagai yang demikian itu teologi sosial,
sangat mengedepankan aspek praksis. Kata “praksis” merupakan istilah teknis
yang berakar pada pemikiran marxisme, Mazhab Frankfrut dan filsafat pendidikan
Paulo Freire. Kata tersebut dipinjam oleh teologi Sosial untuk menunjuk pada suatu
cara berteologi yang dilakukan bukan semata-mata untuk menyediakan berbagai
ungkapan yang relevan bagi iman Kristen, namun terutama oleh komitmen pada
suatu tindakan Kristen. Para teolog yang berkecimpung dalam teologi sosial
berkeyakinan bahwa teologi menemukan pemenuhannya bukan melulu pada “pemikiran
yang benar” (orto-doxy) melainkan terutama dalam “tindakan yang benar” (orto-praxy). Keyakinan semacam itu
menggemakan kembali pemikiran Karl Marx bahwa “kebenaran tidak terletak pada
bidang ide-ide atau teori, namun dalam tindakan.”[17] Bersandar
pada keyakinan semacam itu, teologi sosial lantas dipahami sebagai produk dari
dialog yang berkesinambungan antara ortodoksi dan ortopraksi. Dalam kata-kata
Paulo Freire, teologi semacam itu merupakan teologi yang dibangun berdasarkan
“aksi dengan refleksi.”[18]
Ia mengadakan refleksi atas aksi dan mengadakan aksi atas refleksi. Keduanya berdialektik
dan membentuk “spiral pelayanan kaum beriman.”[19]
Para praktisi teologi sosial yakin bahwa dalam gagasan tentang praksis ini
mereka telah menemukan sebuah cara berteologi yang baru lagi mendasar, sebuah
cara, yang lebih dari semua cara lainnya, mampu menggubris secara memadai
pengalaman masa lampau (Injil, tradisi), serta pengalaman masa kini (pengalaman
manusia, kebudayaan,lokasi sosial dan perubahan sosial).
Teologi Sosial Kritis: Keprihatianan
dan wilayah kerjanya
Sebagai sebuah cara berteologi yang beroperasi di tiga loci maka pengembangan teologi sosial mempersyaratkan sebuah kompetensi
baru: pemahaman yang memadahi terhadap tatanan sosial/ kemasyarakatan.
Kompetensi semacam ini sering disebut dengan analisis sosial. Analisis sosial
dapat didefinisikan sebagai usaha untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap
tentang sebuah situasi sosial lewat mempelajari struktur sosial yang ada dan
mendalami berbagai institusi sosial yang ada di dalamnya.
Ilmu-ilmu sosial mengenal banyak cara
dan perspektif dalam melakukan analisis sosial. Cara dan persepktif itu
semuanya bersifat relative, sebab tidak ada tempat berdiri yang mutlak. Ketika
seseorang memakai salah satu cara dan perspektif analisis sosial, sudah tentu
ia punya alasan tersendiri. Pun demikian halnya dengan teologi sosial. Ketika
teologi sosial memanfaatkan analisis sosial, analisis itu senantiasa
didedikasikan untuk mentransformasikan kehidupan sosial yang lebih adil dan
manusiawi. Untuk kepentingan tersebut, analisis sosial yang dikembangkan oleh
mazhab Frankfrut merupakan perspektif yang sangat berguna.
Mazhab Frankfrut merupakan salah satu aliran di dalam ilmu-ilmu sosial
yang didirikan di Institut fur
Sozialforschung di Frankfurt,
German pada akhir tahun 1920-an dan awal tahun 1930-an. Teori-teori sosial yang
dihasilkan oleh Mazhab ini dikenal dengan nama teori kritis. Para teoritisi
Mazhab Frankfrut atau teori kritis, sangat berhutang pada Karl Marx namun
bergerak jauh melampaui Marx. Sama seperti Karl Marx, Mazhab Frankfrut juga
berusaha untuk menemukan penyebab dari dehumanisasi. Jika Karl Marx hanya
melihat sumber tersebut pada struktur ekonomi, maka mazhab Frankfrut bergerak
lebih jauh. Bagi mazhab Frankfrut dehumanisasi tidak hanya terletak pada
struktur ekonomi, tetapi juga terletak pada kebudayaan dan ideology (system
kepercayaan). Salah satu kekuatan dari mazhab Frankfrut adalah bahwa ia
menganalisa masyarakat dari perspektif para korbannya.
Teologi sosial yang berdialog dengan teori Kritis itu disebut disebut
sebagai teologi sosial kritis. Teologi ini mempunyai tugas utama untuk
melihat berbagai konsekuensi structural dari tindakan-tindakan keagamaan,
menilai mereka dalam terang pengajaran gereja yang normative dan mengarahkan
kembali kehadiran gereja di tengah-tengah dunia sosial yang konkret sehingga
kehadirannya semakin sesuai dengan kehendak Tuhan.[20] Sebagai langkah awal bagi pelaksanaan tugas
tersebut, teologi sosial kritis berupaya
untuk menerapkan berbagai teori tentang alienasi terhadap pemahaman iman
gereja. Belajar dari teori-teori sosial dan berbagai kritik agamawi, para
teolog akan dibantu untuk dapat memahami kecenderungan-kecenderungan yang
ideologis dan pathologis dalam tradisi agamawi mereka sendiri dan juga dalam
masyarakat sehingga dapat mengaktualisasikan Injil sebagai kabar baik yang
membebaskan dan mendamaikan di tengah-tengah kehidupan sosial.[21],
Teologi sosial kritis mempunyai tiga area kerja:[22]
1. Kritik Ideologi
Teologi
sosial Kritis mempunyai asumsi dasar bahwa ‘banyak masalah di dalam
masyarakat timbul karena adanya hubungan yang dicirikan oleh hubungan dominasi antara yang
kuat terhadap yang lemah. Dalam melihat berbagai persoalan yang
dicirikan oleh hubungan yang bersifat dominative itu, teologi sosial tidak hanya
berhenti pada apa yang kelihatan (manifest),
namun bergerak lebih jauh dengan menyingkapkan apa-apa yang tidak kelihatan (laten) yang disebut dengan dimensi
ideologis. Oleh teologi sosial, dimensi ideologis yang mendasari setiap
hubungan yang dominative itu diangkat kepermukaan untuk dikritik dengan tujuan
agar memampukan pihak yang didominasi itu tiba pada kesadaran/pencerahan dan
dengan demikian berjuang untuk membebaskan dirinya dari hubungan yang bersifat
dominasi tersebut. Itulah sebabnya ciri utama dari teori kritis adalah ‘kritik
ideologi’ yakni usaha untuk menelanjangi berbagai bentuk kesadaran atau cara
berpikir yang distortif atau membodohi atau menipu.
2. Pengharapan Utopia
Dalam
rangka melakukan kritik ideologi, teologi sosial terus mengembangkan berbagai
pemikiran teologi dengan berdialog dengan para pemikir teori kritis. Dalam
dialog tersebut mereka mendapatkan wawasan yang sangat berharga dari Ernst
Bloch dan Karl Manheim. Dari kedua orang itu, teologi sosial belajar tentang
arti penting dari pengharapan utopia.[23]
Dari Bloch, teologi sosial kritis belajar tentang dua jenis utopia, yaitu utopia yang konkrit dan yang abstrak. Utopia abstrak juga
disebut utopia peyoratif adalah sebuah jenis pengharapan yang membuat manusia
menjadi pasif dan hanya menunggu saja pemenuhan dari apa yang ia harapkan.
Teologi sosial kritis, menolak utopia semacam ini. Sebab utopia abstrak ini
membuat manusia terlena dengan keadaannya (bersikap menerima, menyetujui dan
mempertahankan keadaan walau sangat sulit), kehilangan kepekaan terhadap dunia
sekitar, dan hilang kepedulian. Orang-orang seperti ini kemudian menjadi tidak
kritis karena tidak merasa perlu memberikan sumbangsih bagi keadaan dunia
sekarang.Teologi sosial kritis memilih utopia konkrit atau praksis, yaitu suatu
pengharapan yang memberikan daya dorong bagi manusia untuk bertindak dalam
mewujudkan apa yang diharapkan di dalam kehidupan kekinian. Utopia konkrit akan
membuat manusia untuk terlibat aktif ditengah dunianya, punya kepekaan dalam
memandang sesuatu dan kemudian membangun sikap kritis untuk memberikan
sumbangan bagi dunia/ masyarakat di mana dia hadir. Sementara itu, dari
Mannheim, teologi sosial belajar tentang pentingnya kesadaran utopis. Menurut
Manheim, kesadaran utopis akan membuat manusia sensitif terhadap system masa
kini yang tak manusiawi dan menumbuhkan dalam diri mereka suatu kerinduan akan
masyarakat baru yang lebih manusiawi.
Para
teolog sosial kemudian menerapkan gagasan Bloch dan Mannheim itu pada pengharapan
eskatologis dalam kekristenan didasarkan pada pemberitaan Tuhan Yesus tentang
Kerajaan Allah. Gregory Baum, salah seorang teolog sosial yang berdialog dengan
Bloch dan Manheim, memahami Kerajaan Allah sebagai sebuah utopia yang
dinyatakan. Menurutnya, amanat kerajaan Allah yang sebagian sudah hadir di antara
kita menawarkan sebuah visi tentang
kehidupan masa depan. Di masa depan, manusia akan hidup dalam keadilan dan kedamaian, menyatu dalam persahabatan dan penyembahan
bersama kepada Tuhan. Kerajaan Allah tidak dibayangkan sebagai
penaklukan oleh sebuah dunia superior tetapi sebagai penyelesaian dari
kebebasan yang segera dimulai. Kerajaan
Allah merupakan perwujudan yang nampak dari anugerah Allah yang sekarang berpengaruh dalam upaya orang-orang untuk menciptakan
persaudaraan dalam masyarakat.
3. Praksis Pembebasan
Gagasan tentang Kerajaan Allah yang
ditafsirkan dalam kerangka utopia konkrit tersebut kemudian mendorong para
teolog sosial kritis untuk senantiasa bersikap kritis terhadap berbagai
institusi yang ada sekarang ini demi sebuah pengharapan untuk memperoleh
kehidupan sosial yang lebih adil dan sederajad. Amanat sorgawi ini mendorong
mereka untuk melakukan sebuah praksis pembebasan masyarakat. Bagi para teolog
sosial kritis, amanat sorgawi itu merupakan kekuatan penggerak sejarah demi
mengubah realitas masa kini menuju kepada apa yang diharapkan. Para teolog
sosial kritis percaya bahwa pengharapan eskatologis itu, tak akan pernah
sempurna kalau hanya dilakukan oleh manusia saja. Jika hanya mengandalkan manusia,. Praksis pembebasan itu tak akan
bertahan lama. praksis tersebut akan dihadang oleh keputusasaan. Supaya
keputusasaan tidak menghadang manusia, teolog sosial kritis menyandarkan
praksisnya pada janji Tuhan. Sebab hanya bersandar kepada janji Tuhan sajalah
manusia bisa bertahan dalam praksis transformasi sosial.
[1] Pemahaman akan iman yang
semacam ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman Kristen
[2] Bdk. Nico Syukur Diester,Pengantar Teologi, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991) 31
[3] Baskara T. Wardaya, Spiritualitas pembebasan: refleksi atas
iman Kristiani
dan praksis pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 16
[4] John
Macquarrie, Principles of Christian
Theology (London: SCM Press), p. 1-3
[5] Orang yang tak
beriman, memang bisa berteologi, dalam arti melakukan penyelidikan dan
mengeksplisitkan arti yang objektif dari wahyu. Hal ini dimungkinkan karena di
satu pihak wahyu diberikan kepada manusia lewat tanda-tanda dan
pernyataan-pernyataan manusiawi yang objektif (wahyu umum), dan di lain pihak
di dalam diri setiap orang, secara apriori, ada keterbukaan asasi dan
konstitutif terhadap wahyu. Dalam berteologi, orang yang tidak beriman
mendasarkan teologinya pada assensus
fidei (gema iman) yang potensial (hipotetis). Konsekuensinya, orang yang
tak beriman, dalam pemikirannya tidak akan dapat memahami objek teologi secara
penuh. Bahwa orang yang tidak beriman bisa
berteologi, lih. Soegeng Hardiyanto, Pengantar
Ke Teologi Lambaran (Salatiga: Fakultas Teologi dan PPSAM UKSW, 1998), p. 40
[6] Nico
Syukur-Diester, Pengantar Teologi p. 69; Sebenarnya
Syukur-Diester memahami iman Kristen adalah iman yang kritis dalam arti
iman Kristen mendorong dan merangsang umat untuk mengetahui dan dan mengerti
apa yang telah kita percayai. Dan seluruh tugas teologi adalah untuk mengetahui
apa yang diimani. Dengan ini
Syukur-Diester ingin menyatakan bahwa iman dan teologi saling berkaitan. Lih.
P. 146-147. Akan tetapi, ketika
pengetahuan dan pengertian yang dicari oleh iman itu dirumuskan teologi, ia
tidak bisa disebut lagi sebagai pengetahuan atau pengertian iman, tetapi
pengetahuan dan pengertian teologi, sehingga ketika pengetahuan dan pengertian
teologi ini, suatu ketika keliru atau dinyatakan keliru tidak berarti apa yang
diyakini oleh iman menjadi keliru juga.
[7] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006)
[8] Soegeng
Hardiyanto, Pengantar Ke Teologi Lambaran (Salatiga:
Fakultas Teologi dan PPSAM UKSW, 1998), 37
[9] Soegeng Hardiyanto, Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan Sumbangsih
Gereja-gereja di Barat terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-gereja di
Indonesia, (Salatiga:
Widya Sari Press, 2004),
[10] Banawiratma & Muller,
Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), 25
[11]Bdk. Pendapat Banawiratma dan
Muller yang membedakan teologi sosial dalam dua pengertian: luas dan sempit. Dalam pengertian
yang luas teologi sosial disamakan dengan teologi kontekstual atau teologi
fundamental. Sedangkan teologi sosial dalam pengertian sempit diartikannya
sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-masalah
masyarakat,
[12] Ibid.
[13] Ibid. lih. Juga
Banawiratma dan Johanes Muller, p. 26
[14] Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan Sumbangsih Gereja-gereja
di Barat terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia, (Salatiga: Widya Sari Press, 2004)
[15] Ibid.
[16] Lih. Misalnya definisi
yang dibuat oleh Banawiratma dan Muller yang menyatakan: “Teologi khusus tentang keterlibatan
umat dalam masalah-masalah masyarakat”
[19]Banawiratma, “Analisis
Sosial dan Pembebasan: Refleksi Teologis” dalam Banawiratma (ed), Kemiskinan dan Pembebasam, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987)
[20] Gregory Baum, Religion and Alienation (New York: Paulist
Press,1975), 194
[21] Ibid,
[22] Daniel Nuhamara, “Kritik,
Utopia dan Praksis Pembebasan Unsur-Unsur dalam Berteologi Sosial
Transformatif” dalam Jurnal KRITIS vol XVI no. 3 2004, 326-343
[23] Kata Utopia berasal dari bahasa Yunani “ού” yang berarti tidak
dan “τόπος” yang berarti daerah atau tempat. Penggunaan paling
modern mengasumsikan istilah "Utopia" sebagai tempat yang sempurna
dan bukan tempat yang mengandung arti ketiadaan. Dari kata dasar
tersebut, utopia lantas dipahami sebagai sebuah masyarakat hipotetis yang
sempurna. Dia juga digunakan untuk
menggambarkan komunitas nyata yang didirikan
dalam usaha menciptakan masyarakat di atas. Kata sifat
utopis digunakan untuk merujuk ke sebuah proposal
yang baik namun (secara fisik,
sosial,
ekonomi,
atau politik)
tidak mungkin terjadi, atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit
dilaksanakan. . Lih.
http://id.wikipedia.org/wiki/Utopia
diakses 25 Maret 2010.
Istilah Utopia ini
kemudian menjadi nama sebuah masyarakat ideal, diambil dari judul buku yang
ditulis tahun 1516 oleh Sir Thomas More menjelaskan tentang sebuah pulau fiksi
di samudera atlantik, memiliki sistem hukum sosial politik sempurna. Istilah
ini dipakai untuk menyatakan sebuah masyarakat yang berusaha menciptakan masyarakat
ideal, dan masyarakat fiksi dalam sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar