Kamis, 21 November 2013

PERMULAAN KEKRISTENAN DI JAWA TENGAH UTARA: Jemaat-Jemaat Perdana di GKJTU



PERMULAAN KEKRISTENAN DI JAWA TENGAH UTARA:
Jemaat-Jemaat Perdana di GKJTU

Oleh: Chlaodhius Budhianto

Pendahuluan
Perjumpaan orang-orang Jawa dengan Kekristenan, telah dimulai sejak abad 16, yaitu ketika orang-orang kristen dari Portugis datang ke Pulau Jawa. Dalam kurun waktu 1585-1598, di Kerajaan Blambangan terdapat orang-orang Jawa yang dibaptis.[1]  Kekristenan perdana itu merupakan buah dari pekerjaan ordo Fransiskan dari gereja Katolik Roma. Akan tetapi, kekristenan perdana ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1599, adipati kerajaan Pasuruhan menyerang, meruntuhkan dan mengislamkan Blambangan.[2] Dalam penyerangan tersebut adipati Pasuruhan menghancurkan tempat kediaman orang-orang Kristen di Blambangan, sehingga kekristenan perdana ini musnah.
Kekristenan baru muncul kembali di antara orang-orang Jawa pada abad 19. Kali ini yang berjasa besar dalam proses pekabaran Injil adalah orang-orang Protestan yaitu orang awam Indo-Eropa, penginjil Jawa, dan misionaris Eropa. Yang pertama, berjasa besar dalam menanamkan Injil; sementara yang kedua berjasa besar dalam menyebarluaskan Injil, dan yang ketiga—karena otoritasnya—berjasa dalam menuai orang-orang Kristen Jawa.  Berkat kerja sama di antara ketiga kelompok tersebut, di seantero pulau Jawa terbentuklah pusat-pusat kekristenan protestan yang perdana.
Sejarah yang sangat menentukan bagi GKJTU terjadi di daerah Semarang, Salatiga, Kendal dan Keresidenan Pekalongan.


1.                  Semarang
Pada Tahun 1753 VOC (Vereengde Oost-Indische Compagnie) membangun sebuah gereja Indische Kerk di Semarang.[3] Jemaatnya terdiri dari orang-orang Eropa dan para serdadu VOC yang berasal dari Indonesia Timur. Ketika didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, VOC mendapat mandat dari gereja Protestan di Belanda untuk menyebarkan iman Kristen. Mandat tersebut sejalan dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman  Belanda yang bunyinya: “Juga jabatan itu (=tugas pemerintah) meliputi: mempertahankan pelayanan yang Gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan Anti-Kristus dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang.”[4] Akan tetapi, VOC mengingkari mandat tersebut. Gereja di Semarang (dan juga ditempat-tempat lain) dilarang keras untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Jawa. Pendeta yang ditugaskan di sana dikekang dengan ketat. Peranannya dibatasi pada pelayanan rohani bagi anggota gereja tersebut.
Kesadaran untuk mengabarkan Injil bagi orang-orang Jawa di Semarang baru muncul setengah abad kemudian. Pada tahun 1815, London Missonary Society (LMS) bekerjasama dengan Netherlands Missionary Society (NMS/NZG) mengutus seorang missionaris, bernama G. Bruckner, ke Semarang. Sesampainya di Semarang, Bruckner dipaksa VOC untuk bekerja di Gereja Indische Kerk, sehingga kenginannya untuk mengabarkan injil kepada orang-orang Jawa tidak terwujud. Setahun kemudian Brukner meninggalkan pekerjaannya itu dan memusatkan perhatiannya pada usaha penerjemahan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Jawa.[5]
Missionaris lain yang dikirim oleh NMS ke Semarang adalah W. Hoezoo. Hoezoo tiba di Semarang pada pada tanggal 13 November 1849. Ia tinggal di Mlaten. Setelah enam bulan belajar bahasa Jawa dengan Brukner, Hoezoo mulai bekerja mengabarkan Injil.  Hoezoo adalah misionaris “tukang baptis.” Artinya, orang-orang Jawa yang berhasil dikristenkan (dibaptis) oleh Hoezoo, bukanlah buah pemberitaan Injil yang dilakukannya, namun buah pekerjaan orang lain.
Ketika Hoezoo memulai pekerjaannya, di Semarang telah ada orang-orang Jawa yang mendengar dan tertarik dengan kekristenan. Mereka itu dikumpulkan Hoezoo dan diberi pengajaran agama Kristen di sebuah gereja yang didirikannya pada tahun 1852 di Mlaten, Semarang. Pada perayaan Natal tahun 1852, Hoezoo berhasil membaptis 10 orang Jawa dan setahun kemudian (1853), jumlah warga baptisan bertambah 9 orang lagi.[6]
Sejak tahun 1864, Hoezoo tidak bekerja sendirian lagi. Ia dibantu oleh seorang penginjil Jawa yang berasal dari Jawa Timur. Nama penginjil itu adalah Asa Kiman, salah seorang murid Jallesma. Asa Kiman tergolong ke dalam penginjil Jawa yang pandai dan menjadi salah seorang pelopor bagi pengembangan teologi kontekstual di Jawa. “Kadang-kadang Asa menghabiskan waktu luangnya untuk membuat karangan-karangan kecil yang diperdengarkan di lingkungan teman-temannya. Dan ia berlatih dalam melagukan tembang  yang diperlukan untuk itu.”[7] Salah satu karya Asa Kiman yang sampai sekarang masih tersimpan adalah sebuah tembang yang diterjemahkan oleh Hoezoo ke dalam bahasa Belanda. Tembang tersebut berjudul Wekstem. Ontwaakt en staat spodig op (Suara Membangunkan. Bangunlah dan Cepat Bangkit)
Dalam karangan tersebut Asa Kiman mewartakan Yesus sebagai guru ngelmu yang kudus dan tanpa dosa serta berperan sebagai juruselamat.[8] Asa Kiman, mengajak orang-orang Jawa untuk bangkit dan mencari ngelmu yang akan menunjukkan jalan menuju suatu negeri yang abadi. Negeri itu digambarkan sebagai negeri yang subur dan makmur, yang di mana-mana serba murah dan tempat didapatkannya keadilan dan damai. Negeri yang abadi itu hanya bisa dimasuki setelah manusia meninggal dunia. Pintu masuk ke dalam negeri itu adalah Nabi Ngisa Rohoellah.
Sangat disayangkan bahwa upaya Asa Kiman untuk mengkontekstualisasikan injil dengan budaya Jawa, tidak disertai dengan sikap-sikap yang positif terhadap orang dan budaya Jawa. Asa Kiman  menganggap orang Jawa sebagai orang “yang paling hina karena kebodohannya dan kemalasannya dalam mencari ngelmu.”[9] Sikap dan gaya berpakaian Asa juga terlalu kebarat-baratan, sehingga menyebabkan orang-orang Jawa yang Islam menaruh kebencian terhadap kekristenan dan menghalang-halangi kegiatan pekabaran injil di Semarang.[10] Bahkan, orang-orang Kristen Jawa di Semarang, juga melakukan pemboikotan.[11] Akibat dari hal ini, perkembangan kekristenan di Semarang menjadi sangat terhambat.  Selama kurang lebih empat puluh tahun pekerjaannya di Semarang,[12] Hoozoe hanya mampu membangun jemaat yang beranggotakan 120 orang[13] sebagian orang Jawa dan sebagian orang Cina.
Pekabaran Injil NZG di Semarang berakhir pada tahun 1898. Pada tahun tersebut, NZG menyerahkan kegiatan pekabaran Injil di Semarang dan juga jemaat yang didirikan oleh Hoezoo di Mlaten kepada badan Misi Salatiga Zending. Jemaat Hoezoo inilah yang sekarang mentransformasikan dirinya sebagai GKJTU Jemaat Semarang 1 (satu). Hal itu berarti GKJTU jemaat Semarang 1 adalah jemaat yang pertama kali tumbuh dilingkup GKJTU.

2.                  Salatiga
Kegiatan Pekabaran  Injil wilayah Salatiga, dipelopori oleh seorang perempuan bernama E.J. Le Jolle-de Wildt.  Perempuan ini lahir di Amsterdam pada tanggal 2 Maret 1824 dengan nama Elizabeth Jacoba de Wildt.
Pada masa mudanya, de Wildt hidup penuh dengan tekanan dan penderitaan. Di usianya yang keenam ia harus menjalani hidup di pengungsian. Ketika ia berusia 16 tahun kedua orang tuanya meninggal dunia sehingga ia harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya. Pada tahun 1841, ia memutuskan untuk pergi ke Jawa dengan maksud menemui saudaranya yang bekerja di Jawa Timur dan mengadu nasib di sana.
Keberangkatannya ke Jawa, mempertemukan de Wildt dengan seorang kepala pasukan Belanda bernama Le Jolle. Keduanya kemudian menikah dan memutuskan untuk hidup di Belanda.  Akan tetapi, pada tahun 1849, keluarga itu kembali ke Salatiga dan bekerja sebagai administrator di perkebunan kopi.
Ny. Le Jolle-de Wildt memulai aktifitas pekabaran injilnya pada tahun 1853. Aktifitas tersebut didorong oleh sebuah pengalaman rohani di mana dia merasa mendapatkan panggilan Tuhan secara khusus. Le Jolle-de Wildt menceritakan panggilan tersebut demikian: "Di sana dalam kesunyian, suara kasih begitu mendesak, Tuhan sejak lama sudah berusaha untuk membangunkan iman di hati saya. Satu perasaan berdosa saya yang mendalam membuat saya jatuh terduduk. Ketika saya kemudian membuka Alkitab saya menemukan Joh. 14 muncul ayat yang luar biasa: ‘Barangsiapa percaya kepada Allah, percaya juga kepadaKu’ Menghibur dan memberankan jiwa saya dan memenuhi saya dengan damai sejahtera, yang melampaui segala akal”.[14]  Pengalaman tersebut mendorong Le Jolle-de Wildt untuk memberitakan Injil kepada orang-orang Jawa, sebab “orang-orang Jawa juga mempunyai jiwa yang seharusya diselamatkan oleh Yesus, kalau tidak mau sesat untuk selamanya.” [15]
Aktifitas Pekabaran Injil Le Jolle-de Wildt di mulai di daerah Simo dekat Salatiga. Pada waktu itu Simo berada di wilayah Kerajaan Solo dan termasuk ke dalam tanah pemerintah.[16]  Oleh karena itu tidak mengherankan jika Le Jolle-de Wildt menghadapi beberapa hambatan, baik itu  hambatan yang datang dari orang Jawa, dari diri Le Jolle-de Wildt sendiri, maupun dari pemerintah Hindia-Belanda. Adapun hambatan-hambatan itu adalah sebagai berikut:[17]
a)      Hambatan Psikologis. Pada waktu itu orang jawa sangat takut dengan orang Belanda. Rupanya, para pendahulu Le Jolle-de Wildt di Perkebunan itu berlaku berlaku sewenang-wenang dan kejam terhadap orang-orang Jawa. Karena itu, ketika Le Jolle-de Wildt mencoba untuk mendekati orang-orang Jawa di perkebunan tersebut, mereka menjadi ketakutan.
b)      Hambatan Bahasa. Masalah bahasa juga menghambat Pekabaan Injil yang dilakukan Le Jolle-de Wildt. Ia hanya bisa berbahasa Melayu (cikal-bakal bahasa Indonesia) dan tidak bias bahasa jawa. Akibatnya, ia mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-oang Jawa di perkebunan kopi tersebut.
c)      Hambatan Politik. Sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Solo, Simo termasuk ke dalam daerah yang dengan susah payah berhasil ditenangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda setelah sebelumnya sempat terjadi gejolak akibat perang Diponegoro (1825-1830). Sebagai yang demikian itu, Pemerintah Belanda sangat ketat dalam menjalankan kebijakannya untuk membatasi aktifitas Pekabaran Injil. Pemerintah khawatir aktifitas Pekabaran Injil akan membangkitkan fanatisme dikalangan Islam terutama di antara para pemimpin-pemimpinnya sehingga akan kembali menyulut konflik di dalam masyarakat Jawa yang pada gilirannya akan merugikan kepentingan-kepentingan Belanda.
d)     Hambatan sosio-ekonomis. Pada masa pemerintahan Belanda, orang-orang Jawa selalu menundukkan dirinya kepada orang-orang Belanda. Bila mereka menjadi kristen  mereka akan merasa sederajad dengan orang-orang Belanda. Di masa depan, perasaan sederajad itu akan merugikan kepentingan Pemerintah Hindia-Belanda. Jika orang Jawa yang menjadi Kristen sadar akan hak-hak social-ekonomi mereka, corak hubungan antara orang Jawa dan Belanda yang berkarakter feudalistik-paternalistik dikhawatirkan akan berubah. Untuk mencegah hal itu, perbedaan agama antara orang Jawa dan orang Belanda harus terus dipertahankan.
e)      Hambatan keagamaan. Jika pemerintah Hindia Belanda memberi ijin kepada zending-zending Protestan, maka ijin yang sama juga perlu diberikan kepada misi Katholik. Jika zending Protestan dan Katholik sama-sama melakukan aktifitas Pekabaran Injil, hal itu akan menyebabkan kebingungan dan konflik, sebab konflik berkepanjangan antara Protestan dan Katholik masih berlangsung di Belanda.

Sama seperti Hoezoo, Le Jolle-de Wildt juga tidak bekerja sendirian. Untuk mengatasi hambatan psikologis dan kebahasaan Le Jolle-de Wildt mengirim surat kepada Ds. Jellesma. Dalam suratnya itu, Le Jolle-de Wildt meminta supaya Jellesma bersedia mengirim salah seorang muridnya untuk membantu aktifitas Pekabaran Injil Le Jolle. Jellesma kemudian mengutus muridnya yang bernama Petrus Sadoyo, yang kemudian mengajar di “perceel” keluarga D.D. Le Jolle. Dalam arti ini Petrus Sadoyo adalah saudara seperguruan dari Asa Kiman. 
Berbeda dengan Asa Kiman, saudara seperguruannya,  yang sempat meninggalkan dokumen-dokumen sejarah, Petrus Sadoyo sama sekali tidak meninggalkan dokumen sejarah. Oleh karena itu karya Petrus Sadoyo dalam mendampingi Le Jolle-de Wildt sulit untuk digambarkan. Salah satu sumber mengatakan bahwa Petrus Sadoyo tidak semata-mata mengabarkan Injil. Ia juga mengajar baca tulis bagi orang-orang Jawa di perkebunan tersebut. Di samping itu Petrus Sadoyo juga diberi kepercayaan yang sangat besar oleh Le Jolle-de Wildt, yaitu sebagai pemimpin dan pelayan jemaat. Dalam hubungannya dengan Petrus Sadoyo, Le Jolle-de Wildt berperan sebagai mentor yang mendukung dari belakang, membina dan menasehati. Setiap akhir pekan kedua orang itu bertemu untuk membicarakan satu tema Alkitab yang kemudian dikotbahkan Petrus Sadoyo pada kebaktian minggu. [18]
Jika informasi itu benar, maka kerjasama antara Le Jolle-de Wildt dan Petrus Sadoyo ini merupakan sesuatu yang sangat baru pada masa itu. Keduanya secara tidak langsung telah merobohkan tembok-tembok feodalistik-paternalistik. Usaha Petrus Sadoyo untuk mengajar baca tulis kepada para pekerja perkebunan juga merupakan sesuatu yang menarik. Jika dikaitkan dengan konteks sosio-politik saat itu, tampaknya usaha Petrus Sadoyo itu bukan semata-mata demi kepentingan praktis keagamaan (supaya orang Jawa bisa membaca kitab Suci). Tindakan Petrus Sadoyo untuk mengajar baca tulis juga menggambarkan adanya kesadaran emansipatif dikalangan orang-orang Jawa dalam hubungannya dengan orang Belanda.
Berkat kerjasama antara Le Jolle-de Wildt dan Petrus Sadoyo sejumlah orang Jawa menjadi percaya. Pada tahun 1855 “jemaat perdana” di wilayah Salatiga ini berhasil melaksanakan baptisan perdananya. Baptisan itu dilayani oleh misionaris Hoezoo dari Semarang dan diikuti oleh 12 orang.[19] Pada tahun 1856 dan 1857 terjadi baptisan lagi sehingga jumlah orang Kristen mencapai 50 orang.
Lewat pertolongan dari Hoezoo pula, Le Jolle-de Wildt mendapat ijin dari pemerintah untuk membuka sebuah hutan di dekat Salatiga dan dijadikan sebagai perkebunan dan perkampungan. Pada masa sekarang perkampungan itu disebut dengan Nyemoh dan terletak di desa Wonorejo, kab. Semarang. Ada 50 orang Kristen yang pindah ke perkampungan tersebut.
Pada tahun 1856 suami Le Jolle-de Wildt, meninggal dunia. Peristiwa ini memaksa Le Jolle-de Wildt pulang ke Belanda dan meninggalkan jemaat Nyemoh yang masih baru. Sepeninggal Le Jolle-de Wildt, jumlah jemaat di Nyemuh turun secara drastis, yaitu tinggal 19 orang.
Ada banyak usaha untuk menjelaskan penyebab dari penurunan tersebut. Th. Sumartana menyatakan bahwa penyebab dari penurunan itu adalah kondisi geografis yang tidak mendukung. Nyemoh adalah daerah yang kering dan tidak subur sehingga menyebabkan jemaat Kristen tidak sanggup untuk bertahan di sana. Sebagian dari mereka mengikuti Petrus Sadoyo ke Mojowarno, sebagian lagi pindah ke daerah-daerah yang didiami oleh orang Kristen, seperti tegal.[20] Penjelasan lain diberikan oleh Partonadi, yang menyatakan bahwa kelimapuluh jemaat itu, tidak mempunyai hak hidup lagi diperkebunan yang ditinggalkan oleh Le Jolle-de Wildt.[21]
Sebuah penjelasan yang menarik diberikan oleh C. Gossweiller. Menurutnya penurunan itu terjadi karena adanya konflik antara Petrus Sadojo dan Hoozoe (serta missionaries-misionaris Eropa lainnya), yang berdampak pada diusirnya Petrus Sadojo dari Nyemoh. Konflik itu dipicu oleh keberanian Petrus Sadoyo untuk memberkati sendiri jemaatnya yang menikah. Menurut Gossweiler, keberanian itu adalah sebuah keterpaksaan: “seandainya tidak dilayani Petroes, pasangan itu harus menunggu kedatangan si misionaris untuk beberapa bulan. Petroes berpikir bahwa untuk menjaga kesusilaan, yang selama ini sudah ditonjolkan oleh jemaat, penantian semacam itu merupakan sesuatu yang mungkin berbahaya.”
Alasan keterpaksaan memang sebuah penjelasan yang menarik dan masuk akal. Akan tetapi penjelasan semacam itu mengabaikan jaringan yang ada dikalangan para penginjil Jawa.[22] Dalam jaringan ini, para penginjil Jawa bisa datang dan pergi dari satu jemaat ke jemaat lainnya. Jaringan semacam itu membuka kesempatan bagi Petrus Sadoyo untuk menjalin kontak dengan para penginjil-penginjil Jawa lainnya, terutama Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kyai Sadreach. Waktu Le Jolle-de Wildt masih hidup, Tunggul Wulung dan Saderach, punya hubungan yang sangat baik.[23] Di tambah lagi Kyai Saderach dan Petrus Sadoyo sama-sama murid Jallesma. Dari Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kyai Sadreach inilah, Petrus Sadoyo mendapatkan berbagai ide untuk tidak tergantung pada Hoozoe.[24] Dan lagi, ketika bersama dengan Le Jolle-de Wildt, Petrus Sadoyo mendapatkan pengalaman yang sangat berharga berupa emansipasi. Oleh karena itu, sepeninggal le Jolle, Petrus Sadoyo segera mengambil inisiatif untuk mengurus sendiri jemaatnya. Keberaniannya sebagai imam dalam perkawinan adalah bukti dari kemandirian Petrus Sadojo.
           
a.         Alasan Kemandirian. Alasan ini dibangun berdasarkan pada adanya jaringan dikalangan para penginjil Jawa.[25]   Dalam jaringan ini, para penginjil Jawa bisa datang dan pergi dari satu jemaat ke jemaat lainnya. Jaringan semacam itu membuka kesempatan bagi Petrus Sadoyo untuk menjalin kontak dengan para penginjil-penginjil Jawa lainnya, terutama Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kyai Sadreach. Waktu Le Jolle-de Wildt masih hidup, Tunggul Wulung dan Saderach, punya hubungan yang sangat baik.[26] Di tambah lagi Kyai Saderach dan Petrus Sadoyo sama-sama murid Jallesma. Dari Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kyai Sadreach inilah, Petrus Sadoyo mendapatkan berbagai ide untuk tidak tergantung pada Hoozoe.[27] Dan lagi, ketika bersama dengan Le Jolle-de Wildt, Petrus Sadoyo mendapatkan pengalaman yang sangat berharga berupa emansipasi. Oleh karena itu, ketika Hoozoe lama tidak datang ke Nyemoh, Petrus Sadoyo mengambil inisiatif untuk mengurus sendiri jemaatnya.

Sangat disayangkan, kemandirian yang diupayakan oleh Petrus Sadojo itu, tidak disukai Hoozoe.  Petrus Sadoyo kemudian diusir dari Nyemoh dan kembali ke Mojowarno. Akibat lebih jauh dari tragedi ini adalah terhambatnya pertumbuhan jemaat lokal yang mandiri di Jawa. Sampai berpuluh-puluh tahun, jemaat-jemaat yang mulai tumbuh terus hidup dibawah bayang-bayang para misionaris eropa.
Jemaat di Nyemoh baru mendapatkan pemimpinnya kembali pada tahun 1869, yaitu ketika jemaat Ermelo di Belanda mengutus Reijer de Boer ke Nyemoh. Di bawah kepemimpinan Reijer de Boer Jemaat di Nyemoh terus bertumbuh dan pada masa kini bertransformasi menjadi GKJTU Jemaat Wonorejo.

3.                  Kendal dan Keresidenan Pekalongan
Jemaat-jemaat Kristen yang kemudian menjadi jemaat-jemaat GKJTU di wilayah Kendal dan Keresidenan Pekalongan bermula dari pekabaran Injil yang dilakukan oleh Kyai Sadrach dan para murid-muridnya.
Kyai Sadrach termasuk ke dalam penginjil Jawa yang sangat berbakat dan kaya dengan pengalaman. Ia punya kemampuan bicara yang istimewa dan mampu menarik khalayak Ramai.[28] Sebelum menjadi Kristen, ia pernah belajar di Sekolah Alquran dan seorang guru Ngelmu. Setelah menjadi Kristen Ia belajar pada beberapa missionaries yang ada di Jawa, seperti Jallesma dan juga para penginjil Jawa lainnya seperti Kyai Ibrahim Tunggul Wulung.
Setelah bertahun-tahun berkelana untuk berguru dan mengabarkan Injil, Sadrach memutuskan untuk menetap di Karangjasa, yang berada diwilayah Keresidenan Bagelen. Di sana Sadrach membangun sebuah jemaat Kristen yang merdeka. Dan dalam perkembangan selanjutnya, Karangjasa menjadi pusat jemaat Sadrach, penentu kebijakan dan strategi pekabaran Injil.
Sadrach mengabarkan Inijil lewat system paguron dan metode debat umum. Sistem dan metode ini sudah sangat umum dikalangan para pencari ngelmu di Jawa. Dalam upayanya untuk mendapatkan ngelmu yang lebih tinggi, para pencari ngelmu biasa berdiskusi satu sama lain. Selanjutnya, pihak yang kalah dalam diskusi itu menjadi pengikut dari pihak yang menang. Di tangan Sadrach, system dan metode ini ternyata sangat effektif. Banyak pencari ngelmu yang berhasil dikalahkan Sadrach dan menjadi pengikut-pengikutnya. Kiai Ibrahim, Kiai Kasanmetaram, Kiai Karyadikrama dan Kiai Wiradikrama adalah beberapa nama yang berhasil dikalahkan Sadrach dalam debat umum dan menjadi pengikut-pengikut pertamanya.
Kecuali hal tersebut, Kiai Sadrach juga mengembangkan sebentuk kekristenan local di Jawa. Kiai Sadrach mengambil nilai-nilai kultural Jawa untuk memperkaya kekristenan. Hasilnya Kekristenan Sadrach benar-benar njawani.  Karakter njawani tersebut dapat dilihat dari:
1.      Pengorganisasian. Jemaat-jemaat Sadrach diorganisir seturut dengan nilai-nilai tradisional Jawa, terutama dalam bentuk sistem paguron dan pesantran tradisional. Dalam sistem ini, Kyai Sadrach adalah guru/imam tertinggi. Di bawah Sadrach ada guru-guru/ imam-imam lain yang diangkat Sadrach. Sadrach dan imam-imam yang lain menjalin hubungan dengan para jemaatnya lewat suatu hubungan yang disebut sebagai hubungan antara guru dan murid.
2.        Tempat Ibadah. Sadrach dan Jemaatnya membangun tempat ibadah mereka dengan sangat sederhana dan memanfaatkan bahan-bahan yang ada disekitar mereka. Bangunan itu mirip dengan langgar atau masjid dan dibangun dihalaman rumah seorang imam.
3.        Pakaian yang digunakan dalam ibadah adalah pakaian tradisional Jawa, seperti sarung, surjan dan blankon.
4.        Jemaat Sadrach menggubah pengakuan Iman dan Doa Bapa Kami dalam bentuk tembang. Pengakuan Iman dan doa bapa kami selanjtunya dipakai dalam peribadatan, termasuk dzikiran atau ibadah pada hari Kamis malam.
5.        Jemaat-jemaat Sadrach tidak hidup terpisah dengan masyarakat Jawa lainnnya. Mereka mengembangkan adat-istiadat—misalnya, perkawinan, kehamilan, kelahiran, sunat dan kematian—yang mirip dengan adat istiadat masyarakat jawa lainnya.

Berbekal dengan kemampuannya yang istimewa dan pengikut-pengikutnya yang setia, Sadrach perlahan namun pasti, menjadi guru ngelmu yang baru. Dalam jangka waktu setahun di Karangjasa, ia telah berhasil mengumpulkan sekitar seratus pengikut dan berhasil membangun sebuah gedung gereja sendiri.
Pengikut-pengikut Sadrach, tergolong pengikut-pengikut yang aktif. Mereka dengan gembira berbagi berita injil, menceritakan pengalaman dan iman baru mereka kepada siapapun yang mereka jumpai. Hasilnya pertumbuhan jumlah orang yang bertobat sangat besar dan keluar dari batas-batas wilayah Karangjasa.
Pada tahun 1873, Yakub, salah seorang pengikut Sadrach mengabarkan Injil di daerah Kendal, yang termasuk ke dalam wilayah Keresidenan Semarang. Di sana ia berhasil mendirikan dua jemaat. Satu di Pidodo, dekat sungai Bodri dan satunya lagi di Srendeng. Pada tahun1893, jumlah orang Kristen di Srendeng dan Pidodo mencapai 200 orang. Kyai Sadrach, sesekali mengunjungi kedua jemaat ini.
Ketika badan misionaris Salatiga Zending, Pdt. Heller ditempatkan di Kendal, Kyai Sadrach menyerahkan pemeliharaan jemaat di Srendeng dan Pidodo kepada Pdt. Heller. Akan tetapi, penyerahan itu tidak berlangsung lama. Pada tahun 1893, Kyai Sadrach terlibat konflik dengan para missionaries NGZV yang berbuah pada putus hubungan Kyai Sadrach dengan NGZV. Sekalipun Pdt. Heller bukan misionaris NGZV, ia terkena getah dari konflik tersebut. Jemaat Kyai Sadrach di Kendal banyak yang tidak percaya pada Pdt. Heller.  Hanya sebagian kecil saja yang percaya pada Pdt. Heller dan dirawatnya sampai tahun 1907.
Pengikut-pengikut Kyai Sadrach juga mengabarkan Injil di wilayah Keresidenan Pekalongan. Dalam kaitanya dengan GKJTU, patut dicatat keberadaan jemaat-jemaat di daerah Pemalang yaitu: Pulosari, Batur Sari dan Kandanggotong. Orang-orang Kristen di ketiga jemaat ini, tidak memilih Kiai Sadrach maupun NGZV, namun lebih memilih diasuh oleh misionaris-misionaris Salatiga Zending.

4.                  Penutup
Sampai di sini menjadi jelas bahwa sejarah awal jemaat-jemaat yang kemudian tergabung di GKJTU tidak tumbuh dari satu titik. Jemaat-jemaat tersebut tumbuh dari beberapa titik yang terpisah-pisah secara geografis. Pada tahap selanjutnya, titik-titik tersebut dijalin dan diasuh oleh badan Misi Salatiga. Dalam proses tersebut, tiga kelompok, yaitu orang Indo-Eropa, Penginjil Jawa dan Missionaris Eropa bahu membahu dalam menanam, menyebarluaskan dan dan menuai. Akan tetapi kerjasama itu tidak bisa berjalan abadi. Upaya-upaya penginjil Jawa untuk mandiri dan mengakarkan Injil dalam kebudayaan Jawa, justru tidak disukai. Hal ini terjadi terutama pada kasus Petrus Sadoyo dan Kekristenan Sadrach. Seandainya semangat emansipatif dan mandiri dari Petrus Sadoyo dan Kyai Sadrach tidak dikebiri oleh “Penuai-Penuai” Eropa, barangkali Kekristenan di Jawa tidak dicibir sebagai “Jawa Dhurung, Jawa Dhurung.”



End Notes

[1]Menurut Muller-Krueger jumlah orang-orang Jawa yang di Baptis dalam kurun waktu tersebut mencapai ratusan. Lih. Muller-Krueger, Sedjarah Geredja  di Indonesia,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966),  hal. 27
[2] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 44;
[3]Gereja ini sekarang menjadi Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) Imanuel Semarang. Lih. Muller Krueger Sedjarah Geredja . . .,  
[4]Aritonang, Sejarah Perjumpaan . . . hal. 49-50
[5]Usaha ini diselesaikan Bruckner pada tahun 1830/31. 
[6] Wolterbeek, Babad Zending di Tanah Jawa (Yogyakarta: TPK, 1995), hal. 50
[7] Hoezoo, sebagaimana dikutip oleh Alle Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah lahirnya Teologi Protestan di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunun g Mulia1997), hlm. 57
[8] Ibid, hal. 58-59
[9] Ibid
[10]Sumartana, Mission at The Crossroads: Indigeneus Churches, European Missionaries, Islamic association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1994), hal. 25
[11]Alle Hoekema, Berpikir . . . hal. 58
[12]Menurut Sumartana, waktu yang dihabiskan oleh Hoezoo untuk menuai 120 orang tersebut adalah 20 tahun.  Penulis meragukan informasi Sumartana ini. Sebab, Hoezoo bekerja di Semarang, sampai tahun 1896, yaitu saat ia meninggal dunia. 
[13]Jumlah tersebut didasarkan dari informasi yang diberikan oleh Sumartana. Informasi tersebut berbeda dengan data yang diberikan oleh Wolterbeek. Menurut catatan Wolerbeek, jumlah orang yang berhasil di “tuai” oleh Hoezoo adalah 44 orang
[14] LP3K, Pengantar Sejarah Gereja Kristen Jawa tengah Utara (Permulaan Misi GKJTU), (Salatiga: Sinode GKJTU, tt), hal.3
[15] Ibid
[16] Sumartana, Mission at . . . hal. 19
[17] LP3K, Pengantar . .  hal. . 2-3, Sumartana, Mission at . . .19
[18] LP3K, Pengantar . . . hal. 4-5
[19]LP3K, p. 4. Menurut Sumartana dan Wolterbeek, jumlah orang yang dibaptis oleh Hozoe pada saat itu adalah 10 orang.
[20] Sumartana, Mission at . . . hal.  19
[21] Penjelasan Partonadi tersebut ditempatkan dalam konteks ketika jemaat Le-Jolle masih berada di Simo, jadi sebelum mereka pindah ke Nyemoh. Karena itu penjelasan ini cukup lemah. 
[22] C. Gulliot, Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hal, 27
[23] Alle Hoekma, Berpikir dalam . . .hal. 66
[24] Ketika Kiai Sadrach berhasil mendirikan jemaat Kristen yang merdeka di Karangjoso, Ia juga memposisikan dirinya sebagai seorang imam yang meresmikan dan memberkati pernikahan jemaatnya.
[25] C. Gulliot, Kiai Sadrach: . . .  27
[26] Alle Hoekma, Berpikir dalam . . .hal. 66
[27] Ketika Kiai Sadrach berhasil mendirikan jemaat Kristen yang merdeka di Karangjoso, Ia juga memposisikan dirinya sebagai seorang imam yang meresmikan dan memberkati pernikahan jemaatnya.
[28] S. Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar-Akar Kontekstualnya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 71