Ilmu Seni dan Ilham
Pengantar Ke dalam Hermeneutika Alkitab
Oleh: Chlaodhius
Budhianto
1.
Pendahuluan
Hermeneutika Alkitab
merupakan suatu kegiatan yang telah lama dilakukan oleh orang-orang percaya. Dalam
arti tertentu, Kegiatan tersebut telah dimulai di dalam Alkitab sendiri. Lewat apa yang sekarang dikenal dengan
penafsiran di dalam alkitab (inner-biblical
interpretation) para penulis Alkitab menggunakan bahan-bahan yang lebih tua
sebagai dasar bagi karya-karyanya. Bahan-bahan yang lebih tua itu mereka kutip,
baik secara langsung maupun tidak langsung, mereka singgung dan juga diberi
komentar untuk kemudian dikonstruksi ulang sesuai dengan teologi mereka dan
juga konteks yang mereka hadapi.
Meski menjadi
kegiatan yang telah lama dilakukan, hemeneutika Alkitab tetap saja menjadi
kegiatan yang menarik dan menantang. Banyak ahli memusatkan perhatiannya pada
bidang ini. Uniknya, mereka datang ke jagad hemeneutika Alkitab tidak dengan membawa perspektif yang
monolitik, namun dengan beragam perspektif dan pendekatan. Bahkan tidak sedikit
dari para ahli itu yang menggunakan perspektif dan pendekatan yang berasal dari
luar disiplin ilmu agama, filsafat, antropologi, sosiologi, dan ilmu sastra.
Keragaman
perspektif dan pendekatan itu sering membuat orang-orang yang baru memasuki
bidang ini harus berjuang keras untuk memahami konsep-konsep yang ada dan
kemudian menerapkannya. Salah satu contoh dari kesulitan itu, dapat dilihat
ketika mereka berusaha memahami apa itu hemeneutika ? Oleh para ahli, kata
tersebut sering digunakan secara bebas dan merepresentasikan sesuatu yang
berbeda pula. Selain itu, pemaknaan kata tersebut sering dikacaukan dengan
penggunaan konsep-konsep lain yang bersinonim, yaitu interpretasi dan eksegese.
Oleh karena itu, pada bagian ini, penggunaan berbagai istilah tersebut perlu
dijernihkan terlebih dahulu.
2.
Interpretasi,
Hermeneutika, dan Eksegese
Secara
heuristik,[1]
interpretasi, hermeneutika, dan exegese adalah tiga istilah yang sama-sama
menunjuk pada “studi dan perkembangan berbagai metode atau prinsip-prinsip yang
menolong seseorang dalam menemukan arti dan makna dari suatu teks.”[2]
Kata ‘interpretasi’
merupakan serapan dari kata berbahasa Inggris: interpretation. Jika ditelusuri lebih lanjut, kata tersebut berasal
dari bahasa latin ‘interpretatio’
(yang adalah terjemahan Latin dari kata Yunani hermeneutike). Makna dasar dari kata ‘interpretatio’ adalah mengatakan (to say), menjelaskan (to
explain) dan menerjemahkan (to
translate). Dari makna dasar tersebut, Randolp Tate
mendefinisikan interpretasi sebagai “tugas untuk menjelaskan atau menarik
keluar implikasi pemahaman tersebut bagi pembaca dan pendengar di masa kini.
Jadi transformasi dari kesimpulan tersebut kepada aplikasi atau signifikansi bagi
dunia si penafsir adalah interpretasi”[3]
Istilah yang
kedua, ‘hermenautika’ (Ing: hermeneutics) berasal dari istilah dalam bahasa
Yunani yaitu hermeneutike (kata
sifat) yang berasal dari kata kerja hermenoio.
Sama seperti kata interpretasi, kata hermenoio
juga mempunyai arti dasar
‘mengatakan’ (to say), ‘menjelaskan’
(to explain) dan ‘menerjemahkan’ (to translate). Dari pengertian tersebut
hermeneutika secara luas dapat didefinisikan sebagai “usaha untuk memahami
segala yang dikatakan atau ditulis oleh seseorang.”[4]
Meskipun demikian, secara tradisional, hermeneutika dipahami sebagai ilmu yang memformulasikan
berbagai pedoman, hukum dan metode untuk menafsirkan makna asli suatu teks.[5] Untuk
maksud tersebut, penafsir didorong untuk memulai proses penafsirannya dengan memahami bahasa yang digunakan oleh
penulis teks, termasuk gramatika, kosakata dan gaya bahasanya. Dia memeriksa
konteks linguistik, literer dan historis. Dengan kata lain, hermeneutika
tradisional dimulai dengan mengenali bahwa sebuah teks itu dikondisikan oleh
konteks sejarah.[6] Oleh karena itu, tak
berlebihan jika dikatakan bahwa hermeneutika tradisional lebih terkait dengan
persoalan metodologi.
Pergeseran yang sangat berarti terjadi pada abad ke-19, ketika berbagai
teori filsafat tentang pemahaman dan makna dibawa masuk ke dalam pelbagai teori
interpretasi kesusasteraan. Di tangan Schleirmacher, Wilhalm Dilthey, Martin
Heidegger dan Hans-George Gadamer, dan Paul Ricoeur, hermeneutika berubah wajah
dari sekedar metodologi menjadi filsafat. Di tangan tokoh-tokoh tersebut, tugas
hermeneutika tidak lagi menyusun sekumpulan dalil untuk memahami sebuah teks,
namun mengidentifikasi bagaimana sesuatu yang berasal dari masa lalu bisa
‘bermakna’ pada hari ini atau menjadi berarti secara eksistensial di dunia
modern.[7] Dengan
mengeksplorasi gagasan lingkaran hermeneutika (hermeneutic
circle),[8]
para pemikir tersebut tidak hanya berkutat pada teks dan maknanya, tapi juga
menaruh perhatian pada si penafsir. Bagi mereka, teks dan penafsir adalah dua
entitas yang berhubungan secara dialogis. Sebab setiap teks pada dasarnya
ditulis dengan suatu horison atau cakrawala pemahaman tertentu yang terikat
dengan sejarah. Hal yang sama juga
terjadi pada si penafsir, si penafsir juga terikat dengan horison tertentu.
Karena penafsir dan teks sama-sama memiliki horison, maka tindakan penafsiran
adalah proses peleburan dua horison lewat cara yang dialogis. Berpijak pada
konsep lingkaran hermeneutis itulah maka pada masa kini “hermeneutika dimulai dengan pengakuan bahwa kondisi
historis mempunyai dua sisi: penafsir
modern, tidak lebih dari sebuah teks, berada diatas konteks sejarah dan tradisi.”[9] Dari situ hermeneutika kemudian
didefinisikan dalam pengertian yang terbatas yaitu “penjelasan
tentang makna sebuah teks bagi pembaca masa kini.”[10]
Istilah yang
ketiga, eksegese, juga berasal dari
Yunani exegesis. Kata benda exegesis berasal dari kata kerja exegeomai yang berarti ‘memimpin’,
‘menuntun’, ‘mengeluarkan.’ Secara
literal, eksegese berarti ‘membawa
keluar’ atau ‘mengeluarkan.’ Apabila dikenakan pada tulisann, kata tersebut
berarti "membaca atau menggali" arti tulisan-tulisan itu.[11]
Sama halnya dengan kata interpretasi dan hermeneutika, kata eksegese juga
dipahami sebagai “artikulasi atau penemuan makna teks yang didasarkan pada
pemahaman akan maksud dan tujuan dari penulis teks tersebut.”[12]
Kemiripan makna
dari istilah interpretasi, hermeneutika dan eksegese tersebut membuat
konsep-konsep tersebut sering disamakan. C.F. Evans, misalnya, mengatakan bahwa
“hermeneutika hanyalah kata lain dari eksegese atau interpretasi.”[13] Hal
yang sama juga dilakukan oleh Robert M. Grant dan David Tracy. Keduanya
berpendapat:
karena
kata ini [hermeneutika] kalihatannya telah hilang dalam penggunaan bahasa
Inggris umum, maka kita memakai kata penafairan/interpretasi, kata yang lebih
luas, untuk menggantikannya. . . . Perbedaan
kadang-kadang dibuat antara penafsiran/interpretasi dan eksegesis.
. . . Dalam studi
kita, kita cenderung untuk menolak perbedaan
ini dan memakai dua istilah ini dengen
arti yang sama.[14]
Karena kemiripan dan penyamaan tersebut,
tak mengherankan jika makna dari ketiga istilah tersebut sulit ditentukan. Padahal
pembedaan di antara ketiganya sangat penting untuk memahami hakekat
penyelidikan Alkitab dan apa yang hendak dicapai oleh para peneliti ketika
menggunakan prosedur-prosedur penyelidikan yang khusus.
Hermeneutika
adalah ilmu tentang interpretasi. Sebagai ilmu, hermeneutika menyelidiki
interpretasi dari tiga sisi.: ontologis, epistemologis dan metodologis.[15]
Oleh karena itu Hermeneutika tidak melulu bicara soal teks dan maknanya. Ia
juga mempersoalkan interpretasi (apa itu interpretasi), pengetahuan yang
dihasilkan interpretasi , dan metode interpretasi. Selain itu hermeneutika juga
menyelidiki “keberadaan si penafsir—apa asumsi-asumsinya, prakondisinya, apakah
kondisinya sedang berada dalam kondisi yang baik atau tidak, apa aktifitasnya,
komitmen utama dan komponen manusiawinya, dll. yang masuk dan bahkan menentukan
setiap tindak pemahaman manusia.”[16]
Oleh karena itu hermeneutika akan selalu mengatakan “proses penafsiran
dijalankan dengan teknik dan pra-paham berikut ini.”[17]
Sementara itu,
interpretasi dipahami sebagai proses dan produk.[18] Sebagai
proses, interpretasi adalah sebuah kegiatan untuk menjelaskan dan memahami (explanation and understanding) sebuah
teks. Ia adalah jalan menuju makna suatu teks.[19] Sementara
itu sebagai produk, ia menunjuk pada makna yang berhasil ditetapkan dan yang
hendak dikomunikasikan kepada pembaca/pendengar masa kini.[20]
Penjelasan (eksplanasi) dan pemahaman (undersanding) adalah dua momen yang
berbeda dari proses interpretasi, tapi berhubungan secara dialektis. Penjelasan
adalah momen yang menunjuk pada proses penyelidikan teks secara metodis dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu dengan tujuan untuk menemukan makna sebuah
teks dan menjernihkannya dari unsur-unsur yang mengaburkannya.[21] Sedangkan
pemahaman adalah istilah yang lebih kompleks lagi. Ia punya dimensi ontologis
dan epistemologis.[22] Di
tataran epistemologis, pemahaman
menunjuk pada bekerjanya kognisi manusia untuk mengetahui sesuatu. Dimensi
epistemologis ini bersifat sekunder. Ia perlu ditransformasikan ke arah yang
lebih primer, yaitu dimensi ontologis dari pemahaman, sebab pada dimensi ini,
pemahaman menjadi karakteristik manusia yang fundamental. Ia adalah mode of being atau cara berada manusia
di dunia: “menjadi, manusia, adalah untuk menjadi paham (to be, humanly, is to understand).” Pada dimensi ontologis,
pemahaman itu tidak sekedar usaha kognisi, tapi juga penghayatan. Saat
memahami, manusia tidak hanya tahu, tapi juga menghayati apa yang ia ketahui
itu. Oleh karena itu, ketika dimensi epistemologis dari pengetahuan
ditransformasikan ke dimensi ontologism, maka akan terjadi pula transformasi
eksistensi manusia. [23]
Jika
hermeneutika dipahami sebagai ilmu, interpretasi sebagai proses dan produk,
maka eksegese dipahami sebagai praktek, prosedur dan metode yang digunakan oleh
sesorang untuk memahami dan menentukan makna sebuah teks. Eksegese adalah momen
penjelasan (eksplanasi) dari proses interpretasi.
3.
Ilmu, Seni dan
Ilham: Hermeneutika Alkitab yang Adil
Sebagai sebuah
teks yang menjadi area penyelidikan hermeneutika, Alkitab diselidiki lewat
beragam konsepsi.[24] Di
satu sisi ada penafsir yang mengkonsepsikan Alkitab sebagai teks yang ditulis
oleh individu-individu yang diinsipirasi oleh Tuhan secara langsung, segera dan
verbal. Konsepsi semacam ini melihat Alkitab, secara literal adalah Firman
Allah. Setiap kata di dalam Alkitab berasal dari Tuhan dan memiliki otoritas
yang sama dan mutlak. Tugas penafsir karena itu hanyalah menguraikan arti teks
secara literal (yaitu arti secara leksikal, gramatikal dan atau yang
dimaksudkan oleh penulis Alkitab.). Pada umumnya konsepsi ini dipegang oleh
kaum fundamentalis.
Di sisi yang
lain, ada penafsir yang mengkonsepsikan Alkitab sebagai teks yang sama dengan
teks-teks lain. Para penafsir di kelompok ini melihat Alkitab sebagai kumpulan
tulisan yang ditulis oleh manusia dengan bahasa manusia dan berbicara tentang
pengalaman manusia. Oleh karena itu, Alkitab hanya bisa ditafsirkan dengan
menerapkan semua metode, baik metode literer maupun historis, yang digunakan
untuk menginterpretasikan teks-teks kuno lainnya.
Di antara kedua
spektrum yang ekstrem tersebut, ada posisi yang ketiga, yaitu posisi yang
melihat Alkitab adalah teks-teks yang unik. Alkitab memiliki dua dimensi, yaitu
dimensi Illahi dan dimensi manusiawi. Dimensi illahi artinya, Alkitab
mengkomunikasikan apa yang menjadi kehendak Allah kepada umat percaya. Kehendak
Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab punya relevansi kekal. Ia relevan bagi
seluruh umat manusia, di segala tempat, era dan budaya. Sekalipun begitu,
kehendak Allah itu disampaikanNya lewat perantaraan manusia yang memiliki
bahasa tertentu dan terbatas dengan ruang dan waktu tertentu pula. Inilah yang
disebut dimensi manusiawi dari Alkitab. Dengan dimensi ini, Alkitab punya
partikularitas sejarah (historical
particularity). Ia dikondisikan oleh bahasa, ruang dan waktu, serta budaya
para penulis-penulisnya.
Hakekat Alkitab
yang ber-dwidimensi ini menjadikan Alkitab sebagai ‘ruang pertemuan.’[25]
Ia menjadi tempat di mana manusia dan Tuhan saling berjumpa dan bercakap-cakap.
Dalam perjumpaan tersebut, Allah menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia, dan
manusia menjadi semakin paham akan apa yang menjadi kehendak Allah. Lewat cara
demikian, manusia akan menjadi semakin paham apa artinya menjadi umat Allah.
Pemahaman akan
Alkitab yang demikian itu pada gilirannya juga menentukan pemahaman kita akan
hermeneutika Alkitab. hermeneutika Alkitab adalah hermenutika yang khas.
Ke-khas-an hermenutika Alkitab, tidak saja terletak pada wilayah kajiannya,
yaitu Alkitab. Ke-khas-an hermenutika Alkitab terletak pada kesediaannya untuk
memasukkan unsur lain, yaitu keterbukaannya pada dimensi Illahi. Keterbukaan
pada dimensi Illahi ini disebut Illham. Dimensi Illahi di dalam Alkitab itu
bersifat rahasia. Rahasia itu tidak bisa dipaksakan keluar dari teksnya, tetapi
harus ditunggu. Saat menafsirkan sebuah teks, penafsir perlu merenungkan teks
itu dengan sabar, penuh dengan ketenangan jiwa dan terbuka pada pimpinan Roh
Kudus, sampai teks tersebut menyingkapkan dirinya kepada penafsir.
Aspek ilham ini,
berjalan beriringan dengan aspek-aspek lain dari hermeneutika Alkitab. Sebagaimana
telah disebutkan, hermenutika adalah ilmu tentang penafsiran teks. Hermeneutika
disebut ilmu karena ia memiliki berbagai aturan, prinsip, metode dan taktik
yang diklasifikasikan ke dalam suatu system yang tersusun rapi.[26]
Dengan sistem yang tersusun rapi itu, seorang penafsir mendekati teks-teks
Alkitab. Ia menggunakan seluruh pengetahuan yang dihasilkan oleh disiplin
keilmuannya untuk memahami dan mengungkapkan makna teks-teks Alkitab.
Pengetahuan itu bisa berupa pengetahuan kebahasaan (Ibrani dan Yunani),
kesusasteraan, sejarah, budaya, sosial, dan keagamaan. Tanpa semua pengetahuan
itu, tafsiran yang dihasilkan penafsir menjadi spekulatif dan dangkal.
Sebenarnya,
disamping ilmu, hermeneutika juga memiliki aspek seni. Sebagai sebuah bentuk
komunikasi, teks-teks Alkitab bukan sekumpulan dalil yang pasti dan dapat
dihitung. Makna yang hendak dikomunikasikan di dalam Alkitab itu bersifat
dinamis. Misalnya, ketika Yesus menyebut dirinya sebagai ‘Anak Allah.’
Perkataan ini tidak bisa kita pahami bahwa Yesus adalah orang yang dilahirkan
oleh Allah sendiri. Juga bukan berarti bahwa Yesus adalah sosok yang diangkat
sebagai anak oleh Allah (anak angkat). Sifat dinamis dari teks-teks Alkitab ini,
menjadikan hermeneutika sebagai ilmu, tidak secara otomatis bisa diterapkan
untuk memahami makna teks Alkitab. Tidak jarang, prinsip-prinsip hermenutika
yang diterapkan secara kaku dan mekanis membuat makna teks-teks alkitab menjadi
terdistorsi.[27]
Di sinilah jalan bagi seni untuk masuk
di dalam hermeneutika. Setiap tindak penafsiran teks membutuhkan imaginasi,
originalitas dan kreatifitas. Tanpa semua itu semua tafsiran menjadi objektif
dan dingin. Setiap penafsir perlu melibatkan semua ciri kehidupannya dalam
setiap penafsiran. Sebagaiman seorang
seniman yang menemukan dan mengemukakan hal-hal istimewa dalam seninya, seperti
itu pula seorang penafsir dipanggil untuk menemukan dan mengemukakan hal-hal
yang istimewa yang terdapat di dalam teks yang ditafsirkannya.
Ilmu, seni dan
ilham, ketiga aspek ini menjadi unsur
utama yang membentuk hermeneutika Alkitab. Hanya dengan melibatkan
ketiga aspek ini, penafsir Alkitab bisa menghargai kedua dimensi alkitab:
dimensi Illahi dan dimensi manusiawi. Hanya dengan cara itu, penafsir bisa
memperlakukan Alkitab secara adil.
4.
Kesimpulan
Interpretasi,
hermeneutika, dan exegese adalah tiga istilah yang sering dipertukartempatkan,
sebab ketiganya sama-sama menuntuk pada usaha untuk menemukan arti dan makna
dari suatu teks. Tulisan ini memperlihatkan bahwa ketiga istilah itu berbeda
makna. Meski bisa dibedakan, ketiganya tetap satu kesatuan. Interpretasi
menunjuk pada makna suatu teks yang berhasil ditetapkan dan yang hendak
dikomunikasikan kepada pembaca dan pendengar masa kini. Hermeneutika adalah
ilmu tentang penafsiran, dan eksegese adalah praksis penafsiran atau tindakan
yang dibimbing oleh teori.
Hermeneutika
Alkitab, adalah hermeneutika yang khas. Ia adalah sejenis hermeneutika yang
mencoba memperlakukan Alkitab secara adil. Untuk tujuan tersebut, hermeneutika
Alkitab bertumpu kepada tiga aspek yaitu
ilmu, seni dan ilham.
[1]Kata Heuristik berasal dari kata
Yunani, heuriskein yang berarti menemukan. Selain itu, kata heuriskein juga dapat berarti penemuan
intelektual yang didasarkan pada refeksi, observasi, pengujian dan penyelidikan.
[2]Stanley
E. Porter and Kent D. Clarke, "What Is Exegesis? An Analysis of Various
Definitions" dalam Stanley E. Porter (ed), Handbook to the Exegesis of the New
Testament, Leiden: Brill, 1997,hlm. 4-5
[3] Randolp
Tate, Biblical Interpretation An Integrated
Approach Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, Inc.,
199, hlm. xv
[4]I. Howard Marshall, New Testament Interpretation Essays on Principles and Methods,(Grand Rapids: B.
Eerdmans Publishing Co., 1979), hlm. 11
[6]Anthony Thieselton, The Two Horizons, New
Testament Hermeneutics and Philosophical Description with Special Reference to
Heidegger, Bultmann, Gadamer, and Wittgenstein, Michigan: William B.
Eerdmans Publishing Company, 1980, hlm.
11
[7] William W. Klein, Robert L. Hubbard, Jr.,
Craig L. Blomberg, Introduction to
Biblical Interpretation, Dallas: Word Publishing, 1993, hlm. 6.note 4
[8]Sebenarnya, konsep lingkaran hermeneutis (hermeneutic
Circle) adalah konsep yang dipakai oleh banyak pemikir. Konsep tersebut
telah dikumandangkan oleh Ast dan Schleirmacher, Dilanjutkan oleh Dilthey
dan diperkembangkan lebih lanjut oleh Heidegger dan Gadamer. Lih. Richard E. Palmer,
Hermeneutika: Teori Baru mengenai
Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2 2005, hlm. 133. Ada dua
gagasan yang tercakup dalam konsep ini. Pertama
proses penafsiran teks yang menempatkan ‘bagian’ (the part) dan ‘keseluruhan’ (the
whole) suatu teks sebagai suatu mata rantai yang saling terhubung tanpa
putus. Sebab itu untuk memahami suatu “bagian” dari teks, perlu memahami
keseluruhan teks tersebut, pun demikian sebaliknya. Kedua, proses penafsiran yang meleburkan dua horison, yaitu horison
teks dan penafsir dalam proses yang dialogis. Mengenai kedua gagasan dalam
konsep ‘lingkaran hermeneutika’ ini lih. Anthony Thieselton, ‘Hermeneutics Circle’
dalam Kevin J. Vanhoozer
(General Editor) Dictionary for
Theological Interpretation of the Bible, Grand Rapids: Baker Book House
Company, 2005, hlm. 281-282
[9]Anthony Thieselton, The
Two Horizon . . . , hlm. 11
[10]Stanley E. Porter and
Kent D. Clarke, . . .hlm, 5
[11]John. H. Hayes & Carl. R.
Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab,
Jakarta: BPK Gunung Muliah, 2006, hlm. 1
[12]Stanley E. Porter and
Kent D. Clarke, . . .hlm, 5
[13] Dikutip dalam Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, . . .hlm, 6.
[14]Robert M. Grant dan David Tracy
dalam Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. 2. 2000, 4-5
[15]
Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 18
[16] Porter “Biblical
Hermeneutics and Theological Responsibility” dalam Stanley E. Porter and Matthew R.
Malcolm (ed) The Future of Biblical
Interpretation, Downers Grove:
InterVarsity Press, 2013, hlm. 31
[17]D.A. Carson, Exegetical Fallacy Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1994,
hlm. 20
[18]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text: Interpreting the New
Testament as Sacred Scripture, Liturgical Press, 1999, p. 157-161.; bdk.
159; David
J. A Clines ‘Biblical Hermeneutics in Theory and Practice’ dalam Christian
Brethren Review 31, 32 (1982): 65-76.
[19]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . , .hlm. 18
[20]Band. pendapat J Paul Achtemeier sebagaimana dikutip oleh Anthony
Thieselton, The Two Horizon . . . ,
hlm. 10. Dan juga pendapat Randolph Tate, Biblical Interpretation . . . hlm. xv. Untuk maksud yang sama, beberapa penulis menggunakan
istilah yang berbeda. Grant R. Osborne menggunakan istilah kontekstualisasi.
Menurutnya, kontekstualisasi adalah komunikasi lintas budaya dari signifikansi
teks bagi masa kini. Sementara itu Roy B. Zuck dan Bruce
Corley menggunakan istilah eksposisi, yaitu makna teks bagi pendengar
masa kini. Pendapat ketiga orang ini lih. Grant R. Osborne, The
hermeneutical Spiral A Comprehensif introduction to Biblical Interpretation, Downers
Grove, Illinois: Intervarsity Press, 1991, p. 5. Roy B. Zuck, Basic
Biblical Interpretation, Wheaton, Illinois: Victor Books,
1991, p. 19; Bruce Corley, “A
Student’s Primer for Exegesis” dalam Bruce Corley, Steve W. lemke &
Grant I Lovejoy (ed), Biblical Hermeneutics A Comprehensive Introduction to
Interpreting Scripture 2nd, Nashville : Broadman and Holman; 2002, p. 6
[21]
Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 18, 126
[22]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 18, 126
[23]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 159
[24]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text: . . . p. 12-13;
Gordon Fee dan Douglas Stuart, How to
Read the Bible for all its Worth, Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 1993, hlm. 19-20
[25]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text . . . hlm. xix;
[26]William W. Klein, et.al., Introduction to
Biblical . . . hlm. 5; Henry A. virkler and Karelynne gerber Ayayo, Hermeneutics Principles and Processes of
Biblical Interpretation, 2nd ed. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House Company, 2007, hlm. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar