Minggu, 09 Februari 2014

Ilmu Seni dan Ilham Pengantar Ke dalam Hermeneutika Alkitab

Ilmu Seni dan Ilham
Pengantar Ke dalam Hermeneutika Alkitab
Oleh: Chlaodhius Budhianto

1.      Pendahuluan
Hermeneutika Alkitab merupakan suatu kegiatan yang telah lama dilakukan oleh orang-orang percaya. Dalam arti tertentu, Kegiatan tersebut telah dimulai di dalam Alkitab sendiri.  Lewat apa yang sekarang dikenal dengan penafsiran di dalam alkitab (inner-biblical interpretation) para penulis Alkitab menggunakan bahan-bahan yang lebih tua sebagai dasar bagi karya-karyanya. Bahan-bahan yang lebih tua itu mereka kutip, baik secara langsung maupun tidak langsung, mereka singgung dan juga diberi komentar untuk kemudian dikonstruksi ulang sesuai dengan teologi mereka dan juga konteks yang mereka hadapi.
Meski menjadi kegiatan yang telah lama dilakukan, hemeneutika Alkitab tetap saja menjadi kegiatan yang menarik dan menantang. Banyak ahli memusatkan perhatiannya pada bidang ini. Uniknya, mereka datang ke jagad hemeneutika  Alkitab tidak dengan membawa perspektif yang monolitik, namun dengan beragam perspektif dan pendekatan. Bahkan tidak sedikit dari para ahli itu yang menggunakan perspektif dan pendekatan yang berasal dari luar disiplin ilmu agama, filsafat, antropologi, sosiologi, dan ilmu sastra.
Keragaman perspektif dan pendekatan itu sering membuat orang-orang yang baru memasuki bidang ini harus berjuang keras untuk memahami konsep-konsep yang ada dan kemudian menerapkannya. Salah satu contoh dari kesulitan itu, dapat dilihat ketika mereka berusaha memahami apa itu hemeneutika ? Oleh para ahli, kata tersebut sering digunakan secara bebas dan merepresentasikan sesuatu yang berbeda pula. Selain itu, pemaknaan kata tersebut sering dikacaukan dengan penggunaan konsep-konsep lain yang bersinonim, yaitu interpretasi dan eksegese. Oleh karena itu, pada bagian ini, penggunaan berbagai istilah tersebut perlu dijernihkan terlebih dahulu.


2.      Interpretasi, Hermeneutika, dan Eksegese
Secara heuristik,[1] interpretasi, hermeneutika, dan exegese adalah tiga istilah yang sama-sama menunjuk pada “studi dan perkembangan berbagai metode atau prinsip-prinsip yang menolong seseorang dalam menemukan arti dan makna dari suatu teks.”[2]
Kata ‘interpretasi’ merupakan serapan dari kata berbahasa Inggris: interpretation. Jika ditelusuri lebih lanjut, kata tersebut berasal dari bahasa latin ‘interpretatio’ (yang adalah terjemahan Latin dari kata Yunani hermeneutike). Makna dasar dari kata ‘interpretatio’ adalah mengatakan (to say), menjelaskan (to explain) dan menerjemahkan (to translate). Dari makna dasar tersebut, Randolp Tate mendefinisikan interpretasi sebagai “tugas untuk menjelaskan atau menarik keluar implikasi pemahaman tersebut bagi pembaca dan pendengar di masa kini. Jadi transformasi dari kesimpulan tersebut kepada aplikasi atau signifikansi bagi dunia si penafsir adalah interpretasi”[3]
Istilah yang kedua, ‘hermenautika’ (Ing: hermeneutics) berasal dari istilah dalam bahasa Yunani yaitu hermeneutike (kata sifat) yang berasal dari kata kerja hermenoio. Sama seperti kata interpretasi, kata hermenoio juga mempunyai arti dasar ‘mengatakan’ (to say), ‘menjelaskan’ (to explain) dan ‘menerjemahkan’ (to translate). Dari pengertian tersebut hermeneutika secara luas dapat didefinisikan sebagai “usaha untuk memahami segala yang dikatakan atau ditulis oleh seseorang.”[4] Meskipun demikian, secara tradisional, hermeneutika dipahami sebagai ilmu yang memformulasikan berbagai pedoman, hukum dan metode untuk menafsirkan makna asli suatu teks.[5] Untuk maksud tersebut, penafsir didorong untuk memulai proses penafsirannya dengan memahami bahasa yang digunakan oleh penulis teks, termasuk gramatika, kosakata dan gaya bahasanya. Dia memeriksa konteks linguistik, literer dan historis. Dengan kata lain, hermeneutika tradisional dimulai dengan mengenali bahwa sebuah teks itu dikondisikan oleh konteks sejarah.[6] Oleh karena itu, tak berlebihan jika dikatakan bahwa hermeneutika tradisional lebih terkait dengan persoalan metodologi.
Pergeseran yang sangat berarti terjadi pada abad ke-19, ketika berbagai teori filsafat tentang pemahaman dan makna dibawa masuk ke dalam pelbagai teori interpretasi kesusasteraan. Di tangan Schleirmacher, Wilhalm Dilthey, Martin Heidegger dan Hans-George Gadamer, dan Paul Ricoeur, hermeneutika berubah wajah dari sekedar metodologi menjadi filsafat. Di tangan tokoh-tokoh tersebut, tugas hermeneutika tidak lagi menyusun sekumpulan dalil untuk memahami sebuah teks, namun mengidentifikasi bagaimana sesuatu yang berasal dari masa lalu bisa ‘bermakna’ pada hari ini atau menjadi berarti secara eksistensial di dunia modern.[7] Dengan mengeksplorasi gagasan lingkaran hermeneutika (hermeneutic circle),[8] para pemikir tersebut tidak hanya berkutat pada teks dan maknanya, tapi juga menaruh perhatian pada si penafsir. Bagi mereka, teks dan penafsir adalah dua entitas yang berhubungan secara dialogis. Sebab setiap teks pada dasarnya ditulis dengan suatu horison atau cakrawala pemahaman tertentu yang terikat dengan sejarah.  Hal yang sama juga terjadi pada si penafsir, si penafsir juga terikat dengan horison tertentu. Karena penafsir dan teks sama-sama memiliki horison, maka tindakan penafsiran adalah proses peleburan dua horison lewat cara yang dialogis. Berpijak pada konsep lingkaran hermeneutis itulah maka pada masa kini “hermeneutika dimulai dengan pengakuan bahwa kondisi historis mempunyai dua sisi: penafsir modern, tidak lebih dari sebuah teks, berada diatas konteks sejarah dan tradisi.”[9] Dari situ hermeneutika kemudian didefinisikan dalam pengertian yang terbatas yaitu “penjelasan tentang makna sebuah teks bagi pembaca masa kini.”[10]
Istilah yang ketiga, eksegese, juga berasal dari Yunani exegesis. Kata benda exegesis berasal dari kata kerja exegeomai yang berarti ‘memimpin’, ‘menuntun’, ‘mengeluarkan.’  Secara literal, eksegese berarti ‘membawa keluar’ atau ‘mengeluarkan.’ Apabila dikenakan pada tulisann, kata tersebut berarti "membaca atau menggali" arti tulisan-tulisan itu.[11] Sama halnya dengan kata interpretasi dan hermeneutika, kata eksegese juga dipahami sebagai “artikulasi atau penemuan makna teks yang didasarkan pada pemahaman akan maksud dan tujuan dari penulis teks tersebut.”[12]
Kemiripan makna dari istilah interpretasi, hermeneutika dan eksegese tersebut membuat konsep-konsep tersebut sering disamakan. C.F. Evans, misalnya, mengatakan bahwa “hermeneutika hanyalah kata lain dari eksegese atau interpretasi.”[13] Hal yang sama juga dilakukan oleh Robert M. Grant dan David Tracy. Keduanya berpendapat:

karena kata ini [hermeneutika] kalihatannya telah hilang dalam penggunaan bahasa Inggris umum, maka kita memakai kata penafairan/interpretasi, kata yang lebih luas, untuk menggantikannya. . . . Perbedaan kadang-kadang dibuat antara penafsiran/interpretasi dan eksegesis. . . . Dalam studi kita, kita cenderung untuk menolak perbedaan ini dan memakai dua istilah ini dengen arti yang sama.[14]

Karena kemiripan dan penyamaan tersebut, tak mengherankan jika makna dari ketiga istilah tersebut sulit ditentukan. Padahal pembedaan di antara ketiganya sangat penting untuk memahami hakekat penyelidikan Alkitab dan apa yang hendak dicapai oleh para peneliti ketika menggunakan prosedur-prosedur penyelidikan yang khusus.
Hermeneutika adalah ilmu tentang interpretasi. Sebagai ilmu, hermeneutika menyelidiki interpretasi dari tiga sisi.: ontologis, epistemologis dan metodologis.[15] Oleh karena itu Hermeneutika tidak melulu bicara soal teks dan maknanya. Ia juga mempersoalkan interpretasi (apa itu interpretasi), pengetahuan yang dihasilkan interpretasi , dan metode interpretasi. Selain itu hermeneutika juga menyelidiki “keberadaan si penafsir—apa asumsi-asumsinya, prakondisinya, apakah kondisinya sedang berada dalam kondisi yang baik atau tidak, apa aktifitasnya, komitmen utama dan komponen manusiawinya, dll. yang masuk dan bahkan menentukan setiap tindak pemahaman manusia.”[16] Oleh karena itu hermeneutika akan selalu mengatakan “proses penafsiran dijalankan dengan teknik dan pra-paham berikut ini.”[17]
Sementara itu, interpretasi dipahami sebagai proses dan produk.[18] Sebagai proses, interpretasi adalah sebuah kegiatan untuk menjelaskan dan memahami (explanation and understanding) sebuah teks. Ia adalah jalan menuju makna suatu teks.[19] Sementara itu sebagai produk, ia menunjuk pada makna yang berhasil ditetapkan dan yang hendak dikomunikasikan kepada pembaca/pendengar masa kini.[20]
Penjelasan (eksplanasi) dan pemahaman (undersanding) adalah dua momen yang berbeda dari proses interpretasi, tapi berhubungan secara dialektis. Penjelasan adalah momen yang menunjuk pada proses penyelidikan teks secara metodis dengan menggunakan teknik-teknik tertentu dengan tujuan untuk menemukan makna sebuah teks dan menjernihkannya dari unsur-unsur yang mengaburkannya.[21] Sedangkan pemahaman adalah istilah yang lebih kompleks lagi. Ia punya dimensi ontologis dan epistemologis.[22] Di tataran epistemologis, pemahaman menunjuk pada bekerjanya kognisi manusia untuk mengetahui sesuatu. Dimensi epistemologis ini bersifat sekunder. Ia perlu ditransformasikan ke arah yang lebih primer, yaitu dimensi ontologis dari pemahaman, sebab pada dimensi ini, pemahaman menjadi karakteristik manusia yang fundamental. Ia adalah mode of being atau cara berada manusia di dunia: “menjadi, manusia, adalah untuk menjadi paham (to be, humanly, is to understand).” Pada dimensi ontologis, pemahaman itu tidak sekedar usaha kognisi, tapi juga penghayatan. Saat memahami, manusia tidak hanya tahu, tapi juga menghayati apa yang ia ketahui itu. Oleh karena itu, ketika dimensi epistemologis dari pengetahuan ditransformasikan ke dimensi ontologism, maka akan terjadi pula transformasi eksistensi manusia. [23]
Jika hermeneutika dipahami sebagai ilmu, interpretasi sebagai proses dan produk, maka eksegese dipahami sebagai praktek, prosedur dan metode yang digunakan oleh sesorang untuk memahami dan menentukan makna sebuah teks. Eksegese adalah momen penjelasan (eksplanasi) dari proses interpretasi.

 
 
3.      Ilmu, Seni dan Ilham: Hermeneutika Alkitab yang Adil
Sebagai sebuah teks yang menjadi area penyelidikan hermeneutika, Alkitab diselidiki lewat beragam konsepsi.[24] Di satu sisi ada penafsir yang mengkonsepsikan Alkitab sebagai teks yang ditulis oleh individu-individu yang diinsipirasi oleh Tuhan secara langsung, segera dan verbal. Konsepsi semacam ini melihat Alkitab, secara literal adalah Firman Allah. Setiap kata di dalam Alkitab berasal dari Tuhan dan memiliki otoritas yang sama dan mutlak. Tugas penafsir karena itu hanyalah menguraikan arti teks secara literal (yaitu arti secara leksikal, gramatikal dan atau yang dimaksudkan oleh penulis Alkitab.). Pada umumnya konsepsi ini dipegang oleh kaum fundamentalis.
Di sisi yang lain, ada penafsir yang mengkonsepsikan Alkitab sebagai teks yang sama dengan teks-teks lain. Para penafsir di kelompok ini melihat Alkitab sebagai kumpulan tulisan yang ditulis oleh manusia dengan bahasa manusia dan berbicara tentang pengalaman manusia. Oleh karena itu, Alkitab hanya bisa ditafsirkan dengan menerapkan semua metode, baik metode literer maupun historis, yang digunakan untuk menginterpretasikan teks-teks kuno lainnya.
Di antara kedua spektrum yang ekstrem tersebut, ada posisi yang ketiga, yaitu posisi yang melihat Alkitab adalah teks-teks yang unik. Alkitab memiliki dua dimensi, yaitu dimensi Illahi dan dimensi manusiawi. Dimensi illahi artinya, Alkitab mengkomunikasikan apa yang menjadi kehendak Allah kepada umat percaya. Kehendak Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab punya relevansi kekal. Ia relevan bagi seluruh umat manusia, di segala tempat, era dan budaya. Sekalipun begitu, kehendak Allah itu disampaikanNya lewat perantaraan manusia yang memiliki bahasa tertentu dan terbatas dengan ruang dan waktu tertentu pula. Inilah yang disebut dimensi manusiawi dari Alkitab. Dengan dimensi ini, Alkitab punya partikularitas sejarah (historical particularity). Ia dikondisikan oleh bahasa, ruang dan waktu, serta budaya para penulis-penulisnya.
Hakekat Alkitab yang ber-dwidimensi ini menjadikan Alkitab sebagai ‘ruang pertemuan.’[25] Ia menjadi tempat di mana manusia dan Tuhan saling berjumpa dan bercakap-cakap. Dalam perjumpaan tersebut, Allah menyampaikan kehendak-Nya kepada manusia, dan manusia menjadi semakin paham akan apa yang menjadi kehendak Allah. Lewat cara demikian, manusia akan menjadi semakin paham apa artinya menjadi umat Allah.
Pemahaman akan Alkitab yang demikian itu pada gilirannya juga menentukan pemahaman kita akan hermeneutika Alkitab. hermeneutika Alkitab adalah hermenutika yang khas. Ke-khas-an hermenutika Alkitab, tidak saja terletak pada wilayah kajiannya, yaitu Alkitab. Ke-khas-an hermenutika Alkitab terletak pada kesediaannya untuk memasukkan unsur lain, yaitu keterbukaannya pada dimensi Illahi. Keterbukaan pada dimensi Illahi ini disebut Illham. Dimensi Illahi di dalam Alkitab itu bersifat rahasia. Rahasia itu tidak bisa dipaksakan keluar dari teksnya, tetapi harus ditunggu. Saat menafsirkan sebuah teks, penafsir perlu merenungkan teks itu dengan sabar, penuh dengan ketenangan jiwa dan terbuka pada pimpinan Roh Kudus, sampai teks tersebut menyingkapkan dirinya kepada penafsir.
Aspek ilham ini, berjalan beriringan dengan aspek-aspek lain dari hermeneutika Alkitab. Sebagaimana telah disebutkan, hermenutika adalah ilmu tentang penafsiran teks. Hermeneutika disebut ilmu karena ia memiliki berbagai aturan, prinsip, metode dan taktik yang diklasifikasikan ke dalam suatu system yang tersusun rapi.[26] Dengan sistem yang tersusun rapi itu, seorang penafsir mendekati teks-teks Alkitab. Ia menggunakan seluruh pengetahuan yang dihasilkan oleh disiplin keilmuannya untuk memahami dan mengungkapkan makna teks-teks Alkitab. Pengetahuan itu bisa berupa pengetahuan kebahasaan (Ibrani dan Yunani), kesusasteraan, sejarah, budaya, sosial, dan keagamaan. Tanpa semua pengetahuan itu, tafsiran yang dihasilkan penafsir menjadi spekulatif dan dangkal.
Sebenarnya, disamping ilmu, hermeneutika juga memiliki aspek seni. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, teks-teks Alkitab bukan sekumpulan dalil yang pasti dan dapat dihitung. Makna yang hendak dikomunikasikan di dalam Alkitab itu bersifat dinamis. Misalnya, ketika Yesus menyebut dirinya sebagai ‘Anak Allah.’ Perkataan ini tidak bisa kita pahami bahwa Yesus adalah orang yang dilahirkan oleh Allah sendiri. Juga bukan berarti bahwa Yesus adalah sosok yang diangkat sebagai anak oleh Allah (anak angkat). Sifat dinamis dari teks-teks Alkitab ini, menjadikan hermeneutika sebagai ilmu, tidak secara otomatis bisa diterapkan untuk memahami makna teks Alkitab. Tidak jarang, prinsip-prinsip hermenutika yang diterapkan secara kaku dan mekanis membuat makna teks-teks alkitab menjadi terdistorsi.[27]  Di sinilah jalan bagi seni untuk masuk di dalam hermeneutika. Setiap tindak penafsiran teks membutuhkan imaginasi, originalitas dan kreatifitas. Tanpa semua itu semua tafsiran menjadi objektif dan dingin. Setiap penafsir perlu melibatkan semua ciri kehidupannya dalam setiap penafsiran.  Sebagaiman seorang seniman yang menemukan dan mengemukakan hal-hal istimewa dalam seninya, seperti itu pula seorang penafsir dipanggil untuk menemukan dan mengemukakan hal-hal yang istimewa yang terdapat di dalam teks yang ditafsirkannya.
Ilmu, seni dan ilham, ketiga aspek ini menjadi unsur  utama yang membentuk hermeneutika Alkitab. Hanya dengan melibatkan ketiga aspek ini, penafsir Alkitab bisa menghargai kedua dimensi alkitab: dimensi Illahi dan dimensi manusiawi. Hanya dengan cara itu, penafsir bisa memperlakukan Alkitab secara adil. 

4.      Kesimpulan
Interpretasi, hermeneutika, dan exegese adalah tiga istilah yang sering dipertukartempatkan, sebab ketiganya sama-sama menuntuk pada usaha untuk menemukan arti dan makna dari suatu teks. Tulisan ini memperlihatkan bahwa ketiga istilah itu berbeda makna. Meski bisa dibedakan, ketiganya tetap satu kesatuan. Interpretasi menunjuk pada makna suatu teks yang berhasil ditetapkan dan yang hendak dikomunikasikan kepada pembaca dan pendengar masa kini. Hermeneutika adalah ilmu tentang penafsiran, dan eksegese adalah praksis penafsiran atau tindakan yang dibimbing oleh teori.
Hermeneutika Alkitab, adalah hermeneutika yang khas. Ia adalah sejenis hermeneutika yang mencoba memperlakukan Alkitab secara adil. Untuk tujuan tersebut, hermeneutika Alkitab  bertumpu kepada tiga aspek yaitu ilmu, seni dan ilham.




[1]Kata Heuristik berasal dari kata Yunani, heuriskein yang berarti menemukan. Selain itu, kata heuriskein juga dapat berarti penemuan intelektual yang didasarkan pada refeksi, observasi, pengujian dan penyelidikan.
[2]Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, "What Is Exegesis? An Analysis of Various Definitions" dalam Stanley E. Porter (ed), Handbook to the Exegesis of the New Testament, Leiden: Brill, 1997,hlm. 4-5
[3] Randolp Tate, Biblical Interpretation An Integrated Approach Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, Inc., 199,  hlm. xv
[4]I. Howard Marshall, New Testament Interpretation  Essays on Principles and Methods,(Grand Rapids: B. Eerdmans Publishing Co., 1979), hlm. 11
[5]Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, . . .hlm, 5 
[6]Anthony Thieselton,  The Two Horizons, New Testament Hermeneutics and Philosophical Description with Special Reference to Heidegger, Bultmann, Gadamer, and Wittgenstein, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1980, hlm. 11
[7] William W. Klein, Robert L. Hubbard, Jr., Craig L. Blomberg, Introduction to Biblical Interpretation, Dallas: Word Publishing, 1993, hlm. 6.note 4
[8]Sebenarnya, konsep lingkaran hermeneutis (hermeneutic Circle) adalah konsep yang dipakai oleh banyak pemikir. Konsep tersebut telah dikumandangkan oleh Ast dan Schleirmacher, Dilanjutkan oleh Dilthey dan diperkembangkan lebih lanjut oleh Heidegger dan Gadamer. Lih. Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2 2005, hlm. 133. Ada dua gagasan yang tercakup dalam konsep ini. Pertama proses penafsiran teks yang menempatkan ‘bagian’ (the part) dan ‘keseluruhan’ (the whole) suatu teks sebagai suatu mata rantai yang saling terhubung tanpa putus. Sebab itu untuk memahami suatu “bagian” dari teks, perlu memahami keseluruhan teks tersebut, pun demikian sebaliknya. Kedua, proses penafsiran yang meleburkan dua horison, yaitu horison teks dan penafsir dalam proses yang dialogis. Mengenai kedua gagasan dalam konsep ‘lingkaran hermeneutika’ ini lih. Anthony Thieselton, ‘Hermeneutics Circle’ dalam Kevin J. Vanhoozer (General Editor) Dictionary for Theological Interpretation of the Bible, Grand Rapids: Baker Book House Company, 2005, hlm. 281-282
[9]Anthony Thieselton, The Two Horizon . . . , hlm. 11
[10]Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, . . .hlm, 5
[11]John. H. Hayes & Carl. R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK  Gunung Muliah, 2006, hlm. 1
[12]Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, . . .hlm, 5
[13] Dikutip dalam Stanley E. Porter and Kent D. Clarke, . . .hlm, 6.
[14]Robert M. Grant dan David Tracy dalam Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. 2. 2000, 4-5
[15] Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 18
[16] Porter  “Biblical Hermeneutics and Theological Responsibility” dalam Stanley E. Porter and Matthew R. Malcolm (ed) The Future of Biblical Interpretation, Downers Grove: InterVarsity Press, 2013, hlm. 31
[17]D.A. Carson, Exegetical Fallacy Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1994, hlm. 20
[18]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text: Interpreting the New Testament as Sacred Scripture, Liturgical Press, 1999, p. 157-161.; bdk. 159; David J. A Clines ‘Biblical Hermeneutics in Theory and Practice’ dalam Christian Brethren Review 31, 32 (1982): 65-76.
[19]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . , .hlm. 18
[20]Band. pendapat J Paul Achtemeier sebagaimana dikutip oleh Anthony Thieselton, The Two Horizon . . . , hlm. 10. Dan juga pendapat Randolph Tate, Biblical Interpretation . . . hlm. xv. Untuk maksud yang sama, beberapa penulis menggunakan istilah yang berbeda. Grant R. Osborne menggunakan istilah kontekstualisasi. Menurutnya, kontekstualisasi adalah komunikasi lintas budaya dari signifikansi teks bagi masa kini. Sementara itu Roy B. Zuck dan Bruce Corley menggunakan istilah eksposisi, yaitu makna teks bagi pendengar masa kini. Pendapat ketiga orang ini lih. Grant R. Osborne, The hermeneutical Spiral A Comprehensif introduction to Biblical Interpretation, Downers Grove, Illinois:  Intervarsity Press, 1991, p. 5. Roy B. Zuck, Basic Biblical Interpretation, Wheaton, Illinois: Victor Books, 1991,  p. 19; Bruce Corley, “A Student’s Primer for Exegesis” dalam Bruce Corley, Steve W. lemke & Grant I Lovejoy (ed), Biblical Hermeneutics A Comprehensive Introduction to Interpreting Scripture 2nd, Nashville : Broadman and Holman; 2002, p. 6
[21] Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 18, 126
[22]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 18, 126
[23]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text:. . . hlm. 159
[24]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text: . . . p. 12-13; Gordon Fee dan Douglas Stuart, How to Read the Bible for all its Worth, Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1993,  hlm.  19-20
[25]Sandra Marie Schneiders, The Revelatory Text . . . hlm. xix;
[26]William W. Klein, et.al., Introduction to Biblical . . . hlm. 5;  Henry A. virkler and Karelynne gerber Ayayo, Hermeneutics Principles and Processes of Biblical Interpretation, 2nd ed. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House Company, 2007, hlm. 16
[27] Virkler, Hermeneutics:Principles and Processes of Biblical Interpretation, 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar