Minggu, 16 Februari 2014

Pendekatan Historis-Kritis



Pendekatan Historis-Kritis
Oleh: Chlaodhius Budhianto

But the underlying motivation of 'historical' criticism is to free the text to speak. Where it has failed to do this, that is, in my judgement, because it has continued to be too hidebound by tradition and by the expectations of the wider religious community; and the cure is more criticism, not less.
(John Barton)

1.        Pendahuluan
Metode Historis-kritis merupakan pendekatan yang sempat merajai jagad studi biblika pada pertengahan abad ke-19 sampai seperempat abad terakhir dari abad ke-20. Pada masa kini, banyak orang menganggap pendekatan historis-kritis telah mengalami kebangkrutan. Kekuasaannya pendekatan yang memusatkan perhatian pada dunia dibelakang teks ini, telah digerogoti oleh pendekatan-pendekatan lain yang memusatkan perhatian pada dunia teks dan dunia di depan (pembaca) teks. Walau demikian, pendekatan historis kritis masih tetap menjadi pendekatan standar diberbagai fakultas atau sekolah teologi di berbagai belahan dunia. Para pakar studi biblika juga masih menggunakan pendekatan ini dan bahkan memperbaharuinya. Metode historis-kritis bahkan disebut-sebut sebagai pendekatan yang paling akademis. Oleh karena itu, akan menjadi tidak adil kalau di dalam perkuliahan hermeneutika Alkitab, kita mengabaikan pendekatan ini.

2.        Pengertian Pendekatan Historis Kritis.
Apa itu pendekatan Historis-Kritis ? Menjawab pertanyaan ini bukan pekerjaan yang mudah. Di samping kontroversial, berbagai istilah dilabelkan kepada pendekatan ini, seperti metode historis-kritis,’metode historis,’ kritik historis, ‘kritik Alkitab, ‘Kritik Tradisional’ (Traditional Criticism) dan gramatico-historis.[1] Sama seperti istilahnya yang beragam, para pengguna dan pembela pendekatan ini memberikan definisi yang begitu bebas dan dengan beragam cara. Moore-Jumonville memetakan keragaman tersebut pada tiga aspek: definisi, objek dan tujuan.[2]
Dilihat sari segi definisi, ada tiga kelompok pemahaman. Pertama, kelompok yang memandang pendekatan ini sebagai ilmu penafsiran, yang mengklarifikasi, menggambarkan dan menganalisa literature Alkitab. Kedua, kelompok yang melihat pendekatan ini sebagai usaha untuk mengevaluasi--mengestimasi otentisitas dan bahkan validitas dari konsep-konsep dan materi-materi yang ada di dalam Alkitab.  Ketiga, kelompok yang melihat pendekatan ini sebagai usaha untuk menentukan asal-usul dari teks-teks Alkitab dan untuk merekonstruksi berbagai peristiwa yang terjadi dibelakang teks Alkitab. 
Dilihat dari segi objek dimana pendekatan ini diarahkan  terdapat dua kelompok. Pertama, kelompok konservative dan moderat yang menyatakan bahwa objek dari pendekatan ini adalah Alkitab yang Kanonik. Kedua, kelompok liberal dan radikal yang menggunakannya untuk menyelidiki kesadaran religius setiap individu yang percaya, atau seluruh lingkungan sosio-politik yang menghasilkan teks-teks keagamaan. 
Sementara itu, dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, ada tiga kelompok. Pertama, kelompok konservatif yang menggunakan metode ini untuk mempertahankan dogma yang ortodox dan pandangan tradisional tentang kepenulisan dan komposisi Alkitab. Kedua, kelompok moderat, memanfaatkan metode ini untuk membangun suatu teologi yang lebih alkitabiah dengan cara membersihkan lapisan-lapisan tradisi yang salah yang telah ditambahkan ke dalam Alkitab selama berabad-abad. Ketiga, kelompok yang menggunakan pendekatan ini dengan maksud untuk memodernisasikan keyakinan-keyakinan yang telah usang.
Kesulitan untuk mendefinisikan apa itu metode historis kritis, semakin bertambah karena pendekatan ini selalu mengalami perkembangan. Sama seperti disiplin akademis yang lain, pendekatan historis kritis adalah pendekatan yang kritis terhadap dirinya sendiri. Ia adalah disiplin yang senantiasa mempertanyakan hakekat dirinya, asumsi-asumsinya dan juga metode-metode penyelidikannya. Karena karakternya itu, metode historis-kritis tidak malu-malu untuk meminjam metode-metode yang lain dan kemudian memodifikasi yang dirinya. Oleh karena itu, sangatlah tepat ketika John Rogerson berkata bahwa pendekatan historis-kritis adalah pendekatan yang mempunyai “banyak aliran yang membuat metode historis-kritis bukan metode yang monolitik dan fenomena yang tidak pernah berubah.”[3] 
Sadar dengan berbagai kesulitan tersebut maka disini, historis kritis akan dipahami sebagai sebuah payung istilah bagi sekelompok metode dan pendekatan yang saling berhubungan. Metode atau pendekatan itu terentang dari kritik teks, kritik bentuk, kritik sumber, kritik redaksi, kritik tradisi, kritik sejarah sampai kritik ilmu-ilmu sosial. Berbagai metode dan pendekatan yang berbeda-beda itu dijalin sedemikian rupa dan digunakan untuk merekonstruksi sejarah Israel, gereja perdana dan proses pembentukan teks-teks Alkitab, genrenya, sastranya, dan juga teologinya.

3.        Perkembangan Pendekatan Historis-Kritis
Dalam batas-batas tertentu, pendekatan historis-kritis bermula dari model penafsiran yang dikembangkan oleh mashab Antiokhia (awal abad ke-3).[4] Untuk melawan mashab Aleksandria yang menerapkan model penafsiran alegoris, mashab Anthiokia menggunakan berbagai analisis linguistuk untuk memahami keragaman bacaan, gaya, diksi, etimologi dan berbagai figure ucapan dan kemudian mencari berbagai informasi yang melatarbelakangi teks-teks Alkitab.[5] Lewat penafsiran semacam itu, Mashab Antiokhia disebut-sebut sebagai pioneer bagi pendekatan historis-kritis yang modern.[6]
Perkembangan yang sangat berarti bagi pendekatan historis-kritis terjadi pada masa renaisanse, reformasi gereja dan pencerahan.[7] Para pemikir Kristen di zaman renaisanse yang membawa semangat untuk ‘kembali ke sumber’ (back to the sources) telah dengan sungguh-sungguh berusaha memperbaharui studi tentang teks-teks Alkitab yang berbahasai Ibrani dan Yunani. Kemudian, pada era reformasi gereja, semangat ‘sola scriptura’ telah mendorong para reformator untuk melepaskan diri dari tradisi gerejawi yang telah mendominasi pemaknaan kitab suci. Dalam rangka mencari makna teks Alkitab, para pemikir dari gerakan reformasi, dengan bebas menggunakan prinsip-prinsip penafsiran yang rasional.[8] Selanjutnya, para pemikir era pencerahan semakin mematangkan pendekatan historis-kritis. Di bawah pengaruh pemikiran Cartesian, skeptisisme dari Pyrhonian dan Deisme di Inggris, para para pemikir pencerahan mulai mempertanyakan historisitas dari mujizat-mujizat yang ada di dalam kitab suci, menyelidiki kebersejarahan Yesus, mengeksplorasi berbagai jenis teks dan sumber-sumber Alkitab, serta mengajukan berbagai pertanyaan historis, seperti kepengarangan, waktu dan tempat penulisan, tujuan penulisan, penerima, dan lain sebagainya.[9]
Frederich Schleirmacher—yang dikenal sebagai bapa hermeneutika modern--merespon semangat era pencerahan itu dengan memperkenalkan suatu jenis penafsiran yang terfokus pada pikiran penulis dan lokasi sosio-historisnya. Jejak Schleirmacher kemudian diikuti oleh William Dilthey yang menambahkan satu aspek lagi dari teori penafsiran Schleirmacher, yaitu relasi antara penulis dengan teks dalam proses penafsiran.
Setelah era pencerahan, pendekatan historis-kritis terus berkembang dengan pesat. Untuk mencapai tujuannya, Ia terus mengalami pembaharuan dan penghalusan metodologi.[10] Pada awalnya, pendekatan ini hanya berkutat pada soal-soal pengantar (seperti otentisitas, kesatuan dan isi tulisan, maksud dan tujuan tulisan dan latar belakangnya) dan kritik teks. Namun ia kini berkembang lebih lanjut. Perkembangan tahap pertama, terjadi ketika pendekatan ini memasukan pendekatan literer untuk memahami isi dan karakter literer serta gaya dari sebuah teks. Setelah itu pendekatan ini mengalami penghalusan kembali dengan memasukkan pendekatan (kritik) sumber yang bermaksud untuk menentukan pra-sejarah dari teks-teks Alkitab. Modifikasi terjadi kembali ketika ia memasukan pendekatan kritik bentuk, kritik redaksi dan juga kritik ilmu-ilmu sosial. Hasil dari semua perkembangan tersebut adalah pendekatan historis-kritis disebut-sebut sebagai pendekatan yang paling akademis dan menjadi penguasa jagat studi biblika selama lebih dari satu abad.

4.        Tujuan Pendekatan Historis-Kritis.
Pendekatan historis kritis, yang sangat beragam dan terus berkembang membuat pendekatan ini sering dituduh sebagai pendekatan yang tidak jelas dan kegunaannya dipertanyakan. Tuduhan tersebut tidaklah tepat. Sekalipun beragam dan dinamis, berbagai pendekatan dan metode yang bernaung dibawah payung historis kritis, disatukan oleh tujuan dan prinsip yang sama. Adapun yang menjadi tujuan dari pendekatan historis-kritis adalah:

a.      Rekonstruksi Sejarah Teks
Pendekatan historis-kritis punya interes tentang asal-usul setiap teks Alkitab.[11] Interes ini didasarkan pada anggapan bahwa teks-teks Alkitab itu bersifat historis.[12] Sekalipun Alkitab dipercaya memiliki dimensi Illahi, ia tidak jauh berbeda dengan berbagai aspek lainnya dalam kehidupan, yaitu punya sejarah dan perkembangan. Alkitab punya masa lalu. Ia ditulis dalam bahasa Ibrani, Yunani dan beberapa dalam bahasa Aram. Bentuk dan isinya berhutang pada bahasa, berbagai bentuk pemikiran, dan juga pandangan dunia yang ada di dunia Mesopotamia dan Yunani Kuno. Ia ditulis oleh orang atau sekelompok orang di masa lalu yang juga punya berbagai kepentingan historis.

Untuk sampai pada bentuknya yang sekarang, Alkitab telah melewati sejarah yang sangat panjang. Bentuk awal dari Alkitab adalah berbagai tradisi, baik lisan maupun tulisan, yang terpisah-pisah dan berasal dari berbagai komunitas dan era yang berbeda-beda. Berbagai tradisi itu, kemudian diseleksi, diedit, disusun dan diturunalihkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Proses ini tidak hanya terjadi sekali, namun berkali-kali dan dalam tempo yang sangat lama.

Berdasarkan anggapan tersebut, pendekatan historis kritis berhasrat untuk merekonstruksi sejarah teks-teks Alkitab. Pendekatan ini bertanya: bagaimana teks tersebut muncul ? mengapa, di mana, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana teks-teks tersebut ditulis ? Siapa penulisnya dan untuk siapa teks-teks tersebut ditulis, disunting, dihasilkan dan dipelihara ? mengapa sampai teks itu muncul, lalu apa saja yang mempengaruhi kemunculannya, pembentukannya, perkembangannya, pemeliharaannya dan penyebarluasannya ?

b.      Rekonstruksi Sejarah di belakang Teks
Teks-teks Alkitab tidak hanya memiliki sejarah (sejarah teks). Ia juga menuturkan sebuah sejarah.[13] Tuturan sejarah itu secara eksplisit dapat ditemukan didalam Alkitab sendiri. Di Alkitab ditemukan banyak sekali kisah tentang tokoh, peristiwa, kondisi sosial dan gagasan-gagasan tertentu. Secara implisit, tuturan sejarah itu bisa ditemukan dalam proses penyeleksian, pengeditan, penyusunan dan penurun-alihan. Proses-proses ini juga mencerminkan situasi dan kondisi sosial-budaya dan politis yang secara nyata dihadapi oleh komunitas-komunitas yang memiliki hubungan dengan Alkitab. Disiplin Sosiologi Pengetahuan, telah memperlihatkan hubungan timbal balik antara teks yang disusun dan berkembang dengan sejarah dari komunitas penghasil dan penerus suatu teks, termasuk teks-teks Alkitab.  

Pendekatan historis-kritis memanfaatkan tuturan sejarah tersebut untuk melihat dunia di balik teks.[14] Teks dijadikan sebagai jendela yang memberikan akses kepada penafsir untuk melihat berbagai peristiwa, baik itu sosial, politik, ekonomi, maupun budaya yang terjadi di masa lalu. Pendekatan Historis Kritis berusaha merekonstruksi berbagai peristiwa tersebut untuk menerangi makna dari teks.

c.       Makna Asli dari Teks.
Menemukan makna asli dari teks menjadi tujuan utama dari pendekatan historis kritis. Untuk tujuan tersebut, pendekatan historis memusatkan perhatiannya pada aras semantik (studi tentang makna) dari teks pada semua tingkatan, baik itu ditataran kata, frase, kalimat, perikop dan bahkan keseluruhan kitab. Selain semantik, pencarian makna asli tersebut juga dilakukan dengan menempatkan teks dalam konteks sejarahnya. Saat pendekatan historis kritis mencoba merekonstruksi sejarah teks dan sejarah dibelakang teks, mereka sedang mencoba untuk memahami teks seturut dengan apa yang hendak dikatakan oleh teks bagi pembaca perdana. 

5.        Prinsip-prinsip pendekatan Historis-Kristis.
Seperti telah disebutkan, pendekatan historis-kritis yang beragam dan dinamis tersebut, selain disatukan oleh tujuan juga disatukan oleh prinsip-prinsip yang sama. Prinsip tersebut diartikulasikan dengan jelas oleh Ernst Troelsch, seorang teolog dan sosiolog agama berkebangsaan Jerman.[15] Prinsip-prinsp tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Otonomi sejarawan.
Otonomi sejarawan menjadi prinsip pertama dari pendekatan historis kritis. Prinsip yang diasosiasikan dengan filsuf pencerahan, Immanuel Kant ini merepresentasikan adanya perubahan dalam apa yang disebut dengan moralitas pengetahuan (morality of knowledge). Budaya ilmiah abad pertengahan, para ilmuwan menganggap kepercayaan (belief) sebagai sebuah kebajikan dan keraguan dianggap sebagai dosa. Sejak Kant moralitas pengetahuan semacam itu ditentang. Keraguan tidak lagi dianggap sebagai dosa, tapi justru dipandang sebagai langkah yang diperlukan di dalam menguji suatu pengetahuan. Hal yang sama juga berlaku bagi kepercayaan. Keinginan untuk percaya dipandang sebagai ancaman bagi pemikiran rasional.

Dalam konteks studi biblika, prinsip otonomi ini menyatakan diri dalam bentuk pemberontakan terhadap otoritas gerejawi. Jika sebelumnya, tradisi penafsiran Alkitab sangat dikendalikan oleh gereja, maka dengan adanya prinsip otonomi, gereja tidak lagi punya hak untuk mengontrol dan mengendalikan para penafsir Alkitab. Para penafsir Alkitab punya kebebasan untuk menafsirkan Alkitab dan tidak takut-takut lagi untuk dianggap dosa dan sesat.

b.      Analogi
Prinsip analogi ingin menyatakan bahwa pengetahuan historis itu mungkin sebab pada prinsipnya semua peristiwa itu sama. Prinsip ini didasarkan pada keyakinan bahwa teks-teks kuno, termasuk Alkitab adalah produk manusia dan bahwa hakekat manusia itu tidak pernah mengalami perubahan yang berada diluar jangkauan pemahaman. Oleh karena itu manusia dapat mengetahui apa yang masuk akal di masa lalu karena manusia tahu apa yang dia mampu.

Dalam studi biblika, prinsip ini telah melahirkan sejumlah persoalan berkaitan dengan cerita-cerita mujizat. Sekalipun begitu, prinsip ini juga menjadikan kisah-kisah tersebut menjadi semakin hidup dengan digunakakannya berbagai pengalaman modern sebagai analogi.

c.       Kritis
Prinsip kritis didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang terus berproses. Hasil-hasil ilmu pengetahuan itu bersifat sementara. Hasil-hasil Ilmu pengetahuan akan senantiasa diperbaharui seiring dengan ditemukannya bukti-bukti baru. Oleh karena itu, apa yang coba dikembangkan oleh setiap ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang paling mendekati kebenaran, bukan kebenaran akhir. Dalam kaitannya dengan sejarah, ilmu sejarah berupaya merekonstruksi masa lalu berdasarkan data-data yang paling mendekati kenyataan dan tersedia.

Berdasarkan pada prinsip semacam ini, pendekatan historis kritis tidak pernah puas dengan berbagai pengetahuan yang telah dihasilkannya, ia senantiasa meragukan temuannya itu dan kemudian mengujinya kembali. Karena sikapnya tersebut, pendekatan historis-kritis dan juga para penggunanya sering dianggap sebagai pembuat onar, terutama bagi gereja-gereja yang konservatif. Sebab sikap kritisnya tersebut dianggap telah menggerogoti otoritas gereja dan juga kitab suci.

6.        Kesimpulan
Berbagai pendekatan yang bernaung dibawah nama historis-kritis, adalah sebuah pendekatan penafsiran yang tujuan utamanya adalah merekonstruksi sejarah teks-teks Alkitab, merekonstruksi sejarah dibelakang teks-teks Alkitab dan menemukan makna asli dari teks-teks tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatan ini bekerja berdasarkan prinsip otonomi, analogi dan kritis.




[1] Pelabelan yang berbeda-beda ini lih. Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, Philadelphia: Fortress Press, 1975, hlm. 33; Stanley Porter dan Beth M. Stowll, ‘Introduction Trajectories in Biblical Hermeneutics’ dalam Stanley Porter dan Beth M. Stowll, (ed.),  Biblical Hermeneutics Five Views, Downer Grove: InterVarsity Press, 2012, hlm. 12-13; John Barton, The Nature of Biblical Criticism, Louisville and London: Westminster John Knox Press, 2007, hlm 1,39, 56; David. W. Aune, ‘Historical Criticism’ dalam David. W. Aune (ed.) The Blackwell Companion to the New Testament, West Sussex:Wiley-Blackwell, 2010
[2]Moore-Jumonville The Hermeneutics of Historical Distance: Mapping the Terrain of American Biblical Criticism, 1880-1914, xxi
[3]John Rogerson, ‘Historical Criticism and Authority of the Bible’, dalam J. W. Rogerson and Judith M. Lieu  (ed.) Oxford Handbooks of Biblical Studies, Oxford: Oxford University Press, 2006, hlm. 842
[4]Stanley Porter dan Beth M. Stowll, ‘Introduction Trajectories in Biblical Hermeneutics’, hlm 13
[5] Kurt A. Richardson, 'The Antochen School' dalam Stanley A. Porter (ed.), Dictionary of  Biblical Criticism and Interpretation, London: Routledge, 2007, hlm. 15
[6] Ibid.
[7]David. W. Aune, ‘Historical Criticism’,
[8]Barton, hlm, 16
[9]Stanley Porter dan Beth M. Stowll, ‘Introduction Trajectories in Biblical Hermeneutics’, hlm 13
[10] Joseph A. Fitzmyer, ‘Historical Criticism: Its Role in Biblical Interpretation and Church Life.’ Dalam Theological Studies vol. 50 th. 1989, hlm. 250-251.
[11]John Barton (ed.), The Cambridge Companion to Biblical Interpretation, Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 11
[12]John H. Hayes, Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006, hlm. 52; Lih. Juga Stephen C. Barton, ‘Historical-Criticism and Social Scientific Criticism’ dalam Joel B. Green, Hearing the New Testament Strategies for Interpretation, Grand Rapid: Eerdmans, 1995, hlm. 63.
[13]John H. Hayes, Pedoman . . . ., 52
[14]John H. Hayes, 52, lih. Juga Craig L. Blomberg, ‘The Historical Critical/ Grammatical View’ dalam Stanley Porter dan Beth M. Stowll, (ed.),  Biblical Hermeneutics Five Views, Downer Grove: InterVarsity Press, 2012.
[15]John J. Collins, The Bible after Babel: Historical Criticism in a Postmodern Age, Grand Rapid: Wm. Β. Eerdmans Publishing Co., 2005,  hlm. 5-6


3 komentar:

  1. Terimakasih pencerahannya pak, saya membaca tulisan ini ketika harus menyelesaikan tugas dan mendapat manfaat dari tulisan ini.

    BalasHapus
  2. Terima kasih untuk infonya, sangat membantu. Tuhan Yesus Memberkati

    BalasHapus