Pendekatan Historis-Kritis
Oleh:
Chlaodhius Budhianto
But the underlying motivation of 'historical'
criticism is to free the text to speak. Where it has failed to do this, that
is, in my judgement, because it has continued to be too hidebound by tradition
and by the expectations of the wider religious community; and the cure is more
criticism, not less.
(John Barton)
1.
Pendahuluan
Metode Historis-kritis
merupakan pendekatan yang sempat merajai jagad studi biblika pada pertengahan
abad ke-19 sampai seperempat abad terakhir dari abad ke-20. Pada masa kini,
banyak orang menganggap pendekatan historis-kritis telah mengalami
kebangkrutan. Kekuasaannya pendekatan yang memusatkan perhatian pada dunia
dibelakang teks ini, telah digerogoti oleh pendekatan-pendekatan lain yang
memusatkan perhatian pada dunia teks dan dunia di depan (pembaca) teks. Walau
demikian, pendekatan historis kritis masih tetap menjadi pendekatan standar
diberbagai fakultas atau sekolah teologi di berbagai belahan dunia. Para pakar
studi biblika juga masih menggunakan pendekatan ini dan bahkan
memperbaharuinya. Metode historis-kritis bahkan disebut-sebut sebagai
pendekatan yang paling akademis. Oleh karena itu, akan menjadi tidak adil kalau
di dalam perkuliahan hermeneutika Alkitab, kita mengabaikan pendekatan ini.
2.
Pengertian Pendekatan Historis Kritis.
Apa itu pendekatan Historis-Kritis ? Menjawab
pertanyaan ini bukan pekerjaan yang mudah. Di samping kontroversial, berbagai
istilah dilabelkan kepada pendekatan ini, seperti ‘metode historis-kritis,’ ‘metode historis,’ kritik historis,
‘kritik Alkitab, ‘Kritik Tradisional’ (Traditional Criticism) dan gramatico-historis.[1]
Sama seperti istilahnya yang beragam, para pengguna dan pembela pendekatan ini memberikan
definisi yang begitu bebas dan dengan beragam cara. Moore-Jumonville memetakan
keragaman tersebut pada tiga aspek: definisi, objek dan tujuan.[2]
Dilihat sari segi definisi, ada tiga
kelompok pemahaman. Pertama, kelompok yang memandang pendekatan ini sebagai
ilmu penafsiran, yang mengklarifikasi, menggambarkan dan menganalisa literature
Alkitab. Kedua, kelompok yang melihat pendekatan ini sebagai usaha untuk
mengevaluasi--mengestimasi otentisitas dan bahkan validitas dari konsep-konsep
dan materi-materi yang ada di dalam Alkitab.
Ketiga, kelompok yang melihat pendekatan ini sebagai usaha untuk
menentukan asal-usul dari teks-teks Alkitab dan untuk merekonstruksi berbagai
peristiwa yang terjadi dibelakang teks Alkitab.
Dilihat dari segi objek dimana
pendekatan ini diarahkan terdapat dua
kelompok. Pertama, kelompok konservative dan moderat yang menyatakan bahwa
objek dari pendekatan ini adalah Alkitab yang Kanonik. Kedua, kelompok liberal
dan radikal yang menggunakannya untuk menyelidiki kesadaran religius setiap
individu yang percaya, atau seluruh lingkungan sosio-politik yang menghasilkan
teks-teks keagamaan.
Sementara itu, dilihat dari tujuan yang
hendak dicapai, ada tiga kelompok. Pertama, kelompok konservatif yang menggunakan
metode ini untuk mempertahankan dogma yang ortodox dan pandangan tradisional
tentang kepenulisan dan komposisi Alkitab. Kedua, kelompok moderat,
memanfaatkan metode ini untuk membangun suatu teologi yang lebih alkitabiah
dengan cara membersihkan lapisan-lapisan tradisi yang salah yang telah
ditambahkan ke dalam Alkitab selama berabad-abad. Ketiga, kelompok yang menggunakan
pendekatan ini dengan maksud untuk memodernisasikan keyakinan-keyakinan yang
telah usang.
Kesulitan untuk mendefinisikan apa itu metode
historis kritis, semakin bertambah karena pendekatan ini selalu mengalami
perkembangan. Sama seperti disiplin akademis yang lain, pendekatan historis
kritis adalah pendekatan yang kritis terhadap dirinya sendiri. Ia adalah
disiplin yang senantiasa mempertanyakan hakekat dirinya, asumsi-asumsinya dan
juga metode-metode penyelidikannya. Karena karakternya itu, metode
historis-kritis tidak malu-malu untuk meminjam metode-metode yang lain dan
kemudian memodifikasi yang dirinya. Oleh karena itu, sangatlah tepat ketika
John Rogerson berkata bahwa pendekatan historis-kritis adalah pendekatan yang
mempunyai “banyak aliran yang membuat metode historis-kritis bukan metode yang
monolitik dan fenomena yang tidak pernah berubah.”[3]
Sadar dengan berbagai kesulitan tersebut
maka disini, historis kritis akan dipahami sebagai sebuah payung istilah bagi sekelompok
metode dan pendekatan yang saling berhubungan. Metode atau pendekatan itu
terentang dari kritik teks, kritik bentuk, kritik sumber, kritik redaksi,
kritik tradisi, kritik sejarah sampai kritik ilmu-ilmu sosial. Berbagai metode
dan pendekatan yang berbeda-beda itu dijalin sedemikian rupa dan digunakan
untuk merekonstruksi sejarah Israel, gereja perdana dan proses pembentukan
teks-teks Alkitab, genrenya, sastranya, dan juga teologinya.
3.
Perkembangan
Pendekatan Historis-Kritis
Dalam
batas-batas tertentu, pendekatan historis-kritis bermula dari model penafsiran
yang dikembangkan oleh mashab Antiokhia (awal abad ke-3).[4] Untuk
melawan mashab Aleksandria yang menerapkan model penafsiran alegoris, mashab
Anthiokia menggunakan berbagai analisis linguistuk untuk memahami keragaman
bacaan, gaya, diksi, etimologi dan berbagai figure ucapan dan kemudian mencari
berbagai informasi yang melatarbelakangi teks-teks Alkitab.[5] Lewat
penafsiran semacam itu, Mashab Antiokhia disebut-sebut sebagai pioneer bagi
pendekatan historis-kritis yang modern.[6]
Perkembangan
yang sangat berarti bagi pendekatan historis-kritis terjadi pada masa
renaisanse, reformasi gereja dan pencerahan.[7] Para
pemikir Kristen di zaman renaisanse yang membawa semangat untuk ‘kembali ke
sumber’ (back to the sources) telah
dengan sungguh-sungguh berusaha memperbaharui studi tentang teks-teks Alkitab
yang berbahasai Ibrani dan Yunani. Kemudian, pada era reformasi gereja,
semangat ‘sola scriptura’ telah mendorong para reformator untuk melepaskan diri
dari tradisi gerejawi yang telah mendominasi pemaknaan kitab suci. Dalam rangka
mencari makna teks Alkitab, para pemikir dari gerakan reformasi, dengan bebas
menggunakan prinsip-prinsip penafsiran yang rasional.[8] Selanjutnya,
para pemikir era pencerahan semakin mematangkan pendekatan historis-kritis. Di
bawah pengaruh pemikiran Cartesian, skeptisisme dari Pyrhonian dan Deisme di
Inggris, para para pemikir pencerahan mulai mempertanyakan historisitas dari
mujizat-mujizat yang ada di dalam kitab suci, menyelidiki kebersejarahan Yesus,
mengeksplorasi berbagai jenis teks dan sumber-sumber Alkitab, serta mengajukan
berbagai pertanyaan historis, seperti kepengarangan, waktu dan tempat
penulisan, tujuan penulisan, penerima, dan lain sebagainya.[9]
Frederich
Schleirmacher—yang dikenal sebagai bapa hermeneutika modern--merespon semangat
era pencerahan itu dengan memperkenalkan suatu jenis penafsiran yang terfokus
pada pikiran penulis dan lokasi sosio-historisnya. Jejak Schleirmacher kemudian
diikuti oleh William Dilthey yang menambahkan satu aspek lagi dari teori
penafsiran Schleirmacher, yaitu relasi antara penulis dengan teks dalam proses
penafsiran.
Setelah
era pencerahan, pendekatan historis-kritis terus berkembang dengan pesat. Untuk
mencapai tujuannya, Ia terus mengalami pembaharuan dan penghalusan metodologi.[10] Pada
awalnya, pendekatan ini hanya berkutat pada soal-soal pengantar (seperti
otentisitas, kesatuan dan isi tulisan, maksud dan tujuan tulisan dan latar
belakangnya) dan kritik teks. Namun ia kini berkembang lebih lanjut.
Perkembangan tahap pertama, terjadi ketika pendekatan ini memasukan pendekatan
literer untuk memahami isi dan karakter literer serta gaya dari sebuah teks.
Setelah itu pendekatan ini mengalami penghalusan kembali dengan memasukkan
pendekatan (kritik) sumber yang bermaksud untuk menentukan pra-sejarah dari teks-teks
Alkitab. Modifikasi terjadi kembali ketika ia memasukan pendekatan kritik
bentuk, kritik redaksi dan juga kritik ilmu-ilmu sosial. Hasil dari semua
perkembangan tersebut adalah pendekatan historis-kritis disebut-sebut sebagai
pendekatan yang paling akademis dan menjadi penguasa jagat studi biblika selama
lebih dari satu abad.
4.
Tujuan Pendekatan
Historis-Kritis.
Pendekatan
historis kritis, yang sangat beragam dan terus berkembang membuat pendekatan
ini sering dituduh sebagai pendekatan yang tidak jelas dan kegunaannya
dipertanyakan. Tuduhan tersebut tidaklah tepat. Sekalipun beragam dan dinamis,
berbagai pendekatan dan metode yang bernaung dibawah payung historis kritis, disatukan
oleh tujuan dan prinsip yang sama. Adapun yang menjadi tujuan dari pendekatan
historis-kritis adalah:
a. Rekonstruksi Sejarah Teks
Pendekatan
historis-kritis punya interes tentang asal-usul setiap teks Alkitab.[11]
Interes ini didasarkan pada anggapan bahwa teks-teks Alkitab itu bersifat
historis.[12]
Sekalipun Alkitab dipercaya memiliki dimensi Illahi, ia tidak jauh berbeda
dengan berbagai aspek lainnya dalam kehidupan, yaitu punya sejarah dan
perkembangan. Alkitab punya masa lalu. Ia ditulis dalam bahasa Ibrani, Yunani
dan beberapa dalam bahasa Aram. Bentuk dan isinya berhutang pada bahasa,
berbagai bentuk pemikiran, dan juga pandangan dunia yang ada di dunia
Mesopotamia dan Yunani Kuno. Ia ditulis oleh orang atau sekelompok orang di
masa lalu yang juga punya berbagai kepentingan historis.
Untuk sampai
pada bentuknya yang sekarang, Alkitab telah melewati sejarah yang sangat
panjang. Bentuk awal dari Alkitab adalah berbagai tradisi, baik lisan maupun
tulisan, yang terpisah-pisah dan berasal dari berbagai komunitas dan era yang
berbeda-beda. Berbagai tradisi itu, kemudian diseleksi, diedit, disusun dan
diturunalihkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Proses ini tidak hanya
terjadi sekali, namun berkali-kali dan dalam tempo yang sangat lama.
Berdasarkan
anggapan tersebut, pendekatan historis kritis berhasrat untuk merekonstruksi
sejarah teks-teks Alkitab. Pendekatan ini bertanya: bagaimana teks tersebut
muncul ? mengapa, di mana, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana teks-teks
tersebut ditulis ? Siapa penulisnya dan untuk siapa teks-teks tersebut ditulis,
disunting, dihasilkan dan dipelihara ? mengapa sampai teks itu muncul, lalu apa
saja yang mempengaruhi kemunculannya, pembentukannya, perkembangannya,
pemeliharaannya dan penyebarluasannya ?
b. Rekonstruksi Sejarah di belakang Teks
Teks-teks
Alkitab tidak hanya memiliki sejarah (sejarah teks). Ia juga menuturkan sebuah
sejarah.[13]
Tuturan sejarah itu secara eksplisit dapat ditemukan didalam Alkitab sendiri.
Di Alkitab ditemukan banyak sekali kisah tentang tokoh, peristiwa, kondisi
sosial dan gagasan-gagasan tertentu. Secara implisit, tuturan sejarah itu bisa
ditemukan dalam proses penyeleksian, pengeditan, penyusunan dan penurun-alihan.
Proses-proses ini juga mencerminkan situasi dan kondisi sosial-budaya dan politis yang secara nyata dihadapi oleh komunitas-komunitas
yang memiliki hubungan dengan Alkitab. Disiplin Sosiologi Pengetahuan, telah
memperlihatkan hubungan timbal balik antara teks yang disusun dan berkembang
dengan sejarah dari komunitas penghasil dan penerus suatu teks, termasuk
teks-teks Alkitab.
Pendekatan
historis-kritis memanfaatkan tuturan sejarah tersebut untuk melihat dunia di
balik teks.[14]
Teks dijadikan sebagai jendela yang memberikan akses kepada penafsir untuk
melihat berbagai peristiwa, baik itu sosial, politik, ekonomi, maupun budaya
yang terjadi di masa lalu. Pendekatan Historis Kritis berusaha merekonstruksi
berbagai peristiwa tersebut untuk menerangi makna dari teks.
c. Makna Asli dari Teks.
Menemukan
makna asli dari teks menjadi tujuan utama dari pendekatan historis kritis. Untuk
tujuan tersebut, pendekatan historis memusatkan perhatiannya pada aras semantik
(studi tentang makna) dari teks pada semua tingkatan, baik itu ditataran kata,
frase, kalimat, perikop dan bahkan keseluruhan kitab. Selain semantik,
pencarian makna asli tersebut juga dilakukan dengan menempatkan teks dalam
konteks sejarahnya. Saat pendekatan historis kritis mencoba merekonstruksi
sejarah teks dan sejarah dibelakang teks, mereka sedang mencoba untuk memahami
teks seturut dengan apa yang hendak dikatakan oleh teks bagi pembaca
perdana.
5.
Prinsip-prinsip
pendekatan Historis-Kristis.
Seperti
telah disebutkan, pendekatan historis-kritis yang beragam dan dinamis tersebut,
selain disatukan oleh tujuan juga disatukan oleh prinsip-prinsip yang sama. Prinsip
tersebut diartikulasikan dengan jelas oleh Ernst Troelsch, seorang teolog dan
sosiolog agama berkebangsaan Jerman.[15] Prinsip-prinsp
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Otonomi
sejarawan.
Otonomi
sejarawan menjadi prinsip pertama dari pendekatan historis kritis. Prinsip yang
diasosiasikan dengan filsuf pencerahan, Immanuel Kant ini merepresentasikan
adanya perubahan dalam apa yang disebut dengan moralitas pengetahuan (morality of knowledge). Budaya ilmiah
abad pertengahan, para ilmuwan menganggap kepercayaan (belief) sebagai sebuah kebajikan dan keraguan dianggap sebagai
dosa. Sejak Kant moralitas pengetahuan semacam itu ditentang. Keraguan tidak
lagi dianggap sebagai dosa, tapi justru dipandang sebagai langkah yang
diperlukan di dalam menguji suatu pengetahuan. Hal yang sama juga berlaku bagi
kepercayaan. Keinginan untuk percaya dipandang sebagai ancaman bagi pemikiran
rasional.
Dalam konteks
studi biblika, prinsip otonomi ini menyatakan diri dalam bentuk pemberontakan
terhadap otoritas gerejawi. Jika sebelumnya, tradisi penafsiran Alkitab sangat
dikendalikan oleh gereja, maka dengan adanya prinsip otonomi, gereja tidak lagi
punya hak untuk mengontrol dan mengendalikan para penafsir Alkitab. Para
penafsir Alkitab punya kebebasan untuk menafsirkan Alkitab dan tidak
takut-takut lagi untuk dianggap dosa dan sesat.
b. Analogi
Prinsip analogi
ingin menyatakan bahwa pengetahuan historis itu mungkin sebab pada prinsipnya
semua peristiwa itu sama. Prinsip ini didasarkan pada keyakinan bahwa teks-teks
kuno, termasuk Alkitab adalah produk manusia dan bahwa hakekat manusia itu
tidak pernah mengalami perubahan yang berada diluar jangkauan pemahaman. Oleh
karena itu manusia dapat mengetahui apa yang masuk akal di masa lalu karena
manusia tahu apa yang dia mampu.
Dalam studi
biblika, prinsip ini telah melahirkan sejumlah persoalan berkaitan dengan
cerita-cerita mujizat. Sekalipun begitu, prinsip ini juga menjadikan
kisah-kisah tersebut menjadi semakin hidup dengan digunakakannya berbagai
pengalaman modern sebagai analogi.
c. Kritis
Prinsip kritis
didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
terus berproses. Hasil-hasil ilmu pengetahuan itu bersifat sementara. Hasil-hasil
Ilmu pengetahuan akan senantiasa diperbaharui seiring dengan ditemukannya bukti-bukti
baru. Oleh karena itu, apa yang coba dikembangkan oleh setiap ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan yang paling mendekati kebenaran, bukan kebenaran akhir.
Dalam kaitannya dengan sejarah, ilmu sejarah berupaya merekonstruksi masa lalu berdasarkan
data-data yang paling mendekati kenyataan dan tersedia.
Berdasarkan pada
prinsip semacam ini, pendekatan historis kritis tidak pernah puas dengan
berbagai pengetahuan yang telah dihasilkannya, ia senantiasa meragukan
temuannya itu dan kemudian mengujinya kembali. Karena sikapnya tersebut,
pendekatan historis-kritis dan juga para penggunanya sering dianggap sebagai
pembuat onar, terutama bagi gereja-gereja yang konservatif. Sebab sikap
kritisnya tersebut dianggap telah menggerogoti otoritas gereja dan juga kitab
suci.
6.
Kesimpulan
Berbagai pendekatan yang bernaung
dibawah nama historis-kritis, adalah sebuah pendekatan penafsiran yang tujuan
utamanya adalah merekonstruksi sejarah teks-teks Alkitab, merekonstruksi
sejarah dibelakang teks-teks Alkitab dan menemukan makna asli dari teks-teks
tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatan ini bekerja berdasarkan
prinsip otonomi, analogi dan kritis.
[1] Pelabelan yang
berbeda-beda ini lih. Edgar Krentz, The
Historical-Critical Method, Philadelphia: Fortress Press, 1975, hlm. 33;
Stanley Porter dan Beth M. Stowll,
‘Introduction Trajectories
in Biblical Hermeneutics’ dalam Stanley
Porter dan Beth M. Stowll,
(ed.), Biblical Hermeneutics Five Views, Downer
Grove: InterVarsity Press, 2012, hlm. 12-13; John Barton, The Nature
of Biblical Criticism, Louisville and London: Westminster John Knox Press,
2007, hlm 1,39, 56; David. W. Aune, ‘Historical Criticism’ dalam David. W. Aune
(ed.) The Blackwell Companion to the New
Testament, West Sussex:Wiley-Blackwell, 2010
[2]Moore-Jumonville The Hermeneutics of Historical
Distance: Mapping the Terrain of American Biblical Criticism,
1880-1914, xxi
[3]John Rogerson, ‘Historical
Criticism and Authority of the Bible’, dalam J. W. Rogerson and Judith M.
Lieu (ed.) Oxford Handbooks of Biblical Studies, Oxford: Oxford University
Press, 2006, hlm. 842
[4]Stanley Porter dan Beth M. Stowll, ‘Introduction Trajectories
in Biblical Hermeneutics’, hlm 13
[5] Kurt A.
Richardson, 'The Antochen School' dalam Stanley A. Porter (ed.), Dictionary of Biblical Criticism and Interpretation,
London: Routledge, 2007, hlm. 15
[6] Ibid.
[7]David. W. Aune, ‘Historical
Criticism’,
[8]Barton, hlm, 16
[9]Stanley Porter dan Beth M. Stowll, ‘Introduction Trajectories
in Biblical Hermeneutics’, hlm 13
[10] Joseph A. Fitzmyer, ‘Historical
Criticism: Its Role in Biblical Interpretation and Church Life.’ Dalam Theological Studies vol. 50 th. 1989, hlm. 250-251.
[11]John Barton (ed.), The Cambridge
Companion to Biblical Interpretation, Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), hlm. 11
[12]John H. Hayes, Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006, hlm. 52; Lih. Juga Stephen C. Barton, ‘Historical-Criticism
and Social Scientific Criticism’ dalam Joel B. Green, Hearing the New Testament Strategies for Interpretation, Grand
Rapid: Eerdmans, 1995, hlm. 63.
[13]John H. Hayes, Pedoman . . . ., 52
[14]John H. Hayes,
52, lih. Juga Craig L. Blomberg, ‘The
Historical Critical/ Grammatical View’ dalam Stanley Porter
dan Beth M. Stowll, (ed.), Biblical
Hermeneutics Five Views, Downer Grove:
InterVarsity Press, 2012.
[15]John J. Collins,
The Bible after
Babel: Historical Criticism in a Postmodern Age, Grand Rapid: Wm. Î’.
Eerdmans Publishing Co., 2005, hlm. 5-6